DPR Minta Pemerintah Libatkan Asosiasi dalam Penyusunan Aturan Pajak Digital

Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meminta pemerintah untuk mengadakan dialog dengan platform perdagangan elektronik (e-commerce) dalam merumuskan kebijakan tentang pungutan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 atas transaksi penjualan barang melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).

Ketua Komisi XI DPR, Misbakhun mengatakan, pemerintah harus duduk bersama dengan pelaku usaha agar bisa mencari titik tengah yang mengakomodasi kepentingan seluruh pihak terkait pungutan pajak tersebut. Baik dari sisi kepentingan pemerintah, pelaku usaha, hingga masyarakat sebagai konsumen.

“Bagaimanapun juga pemerintah butuh uang untuk bisa mendapatkan pemasukan dari pajak. Tidak boleh ada aktivitas bisnis dan aktivitas ekonomi yang tidak dipajaki. Baik itu melalui mekanisme online maupun secara offline,” ucap Misbakhun di kompleks parlemen pada Rabu (2/7/2025).

Dia mengatakan, pemerintah harus berkomunikasi dengan asosiasi, termasuk asosiasi penjual, asosiasi pedagang atau asosiasi produsen lain terkait implementasi penerapan pajak tersebut. Jangan sampai muncul anggapan bahwa wajib pajak tidak dilibatkan dalam penggodokan kebijakan tersebut.

“Namun masyarakat juga harus ingat bahwa kewajiban membayar pajak itu adalah kewajiban siapapun tanpa kecuali,” terang Misbakhun.

Sebelumnya, Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu mengatakan langkah pemerintah melibatkan platform e-commerce agar ada kesetaraan antara pedagang di lapak digital maupun konvensional.

“Untuk PMSE ini kan belum ada datanya, jadi kami menugaskan kepada platform untuk mendata siapa saja (pedagang) yang melakukan PMSE. Kami ingin melakukan dua hal yaitu pendataan dan perlakuan yang sama antara pedagang yang online sama offline,” ujar Anggito.

Saat ini Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu) sedang menggodok regulasi tentang penunjukan marketplace sebagai pemungut PPh Pasal 22 atas transaksi penjualan barang oleh merchant yang berjualan melalui PMSE. Kebijakan tersebut akan diberlakukan untuk pelaku usaha dengan omset di kisaran Rp 500 juta sampai dengan Rp 4,8 miliar.

Anggito mengatakan, hal tersebut sebenarnya sudah diberlakukan di tahun 2020 tetapi sudah ditiadakan. Pengenaan pajak ini bukan suatu hal yang baru, tetapi dia belum mau merinci lantaran regulasi tersebut belum terbit dan masih dalam tahap penggodokan.

“Tidak ada hal yang baru, tidak ada tarif pajak yang baru nanti. Ketentuan mengenai tarifnya akan kita sampaikan pada waktunya. Jadi sampai sekarang saya belum menjawab,” kata Anggito.

Sumber : Investor.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only