Aparat Menyigi Kepatuhan Pajak Seller Online

Beleid penunjukkan marketplace sebagai pemungut pajak penghasilan (PPh) Pasal 22 masih dalam tahap penyusunan. Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak memastikan, wajib pajak tidak akan kena pajak berganda.

Pasalnya, pemungutan PPh Pasal 22 oleh marketplace akan mempertimbangkan surat pernyataan dari wajib pajak. Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Rosmauli mengatakan, pelaku usaha yang memiliki dua usaha, yakni online sekaligus offline wajib menghitung total omzet secara kumulatif.

Jika omzet dalam satu tahun tidak melebihi Rp 500 juta, mereka dapat menyampaikan surat pernyataan bebas pajak kepada pihak marketplace.

“Ketika wajib pajak menghitung omzet online maupun offline ternyata lebih dari Rp 500 juta atau kurang dari Rp 500 juta, dia bikin surat pernyataan. Itu yang menjadi dasar bagi marketplace untuk memotong atau tidak,” ujar Rosmauli, dikutip Jumat (4/7).

Dengan mekanisme ini, ia memastikan tidak akan terjadi pemajakan berganda. Rosmauli menambahkan, PPh 22 yang nantinya dipotong marketplace tetap bisa jadi kredit pajak bagi pelaku usaha.

Rosmauli menambahkan, jumlah uang yang beredar di marketplace pada 2024 mencapai Rp 450 triliun dan diperkirakan meningkat tahun ini. Meski transaksinya menunjukan peningkatan, namun kepatuhan pajak pada pedagang online tergolong rendah.

Jumlah uang beredar di marketplace pada 2024 capai Rp 450 triliun.

“Tapi kalau dilihat kepatuhan dari para pembayar pajak ini, tentunya yang bukan pelaku usaha kecil, tapi yang di atas Rp 500 juta, itu juga masih kurang,” ujar Rosmauli.

Selama ini, pelaku usaha diwajibkan menghitung dan membayar sendiri pajak terutang melalui sistem self-assessment. Namun pendekatan ini dianggap belum optimal dalam menjangkau pelaku usaha online yang jumlahnya terus tumbuh pesat.

Karena itu, penyedia marketplace akan ditunjuk sebagai pemungut pajak. Tujuannya, memudahkan pedagang online dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya.

Sistem terpusat

Adapun pajak yang akan dipungut merupakan PPh 22 sebesar 0,5% atas transaksi penjualan barang oleh pedagang dengan omzet melebihi Rp 500 juta dalam setahun. “Pastinya pemerintah dalam hal ini berusaha meningkatkan kepatuhan para pelaku usaha dengan cara memberikan cara dipungut oleh marketplace,” kata Rosmauli.

Sebelumnya, Pengamat pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai, kebijakan ini berpotensi meningkatkan kepatuhan pajak sekaligus efektivitas penerimaan negara.

“Menurut saya, risiko ketidakpatuhan di sektor e-commerce, terutama marketplace, cukup tinggi. Namun perlu ditekankan ini bukanlah pengenaan jenis pajak baru, melainkan perubahan mekanisme pemungutan yang kini dilakukan oleh platform digital,” jelas Fajry.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Budi Primawan menilai proses verifikasi atas surat pernyataan omzet pelaku usaha seharusnya jadi tanggungjawab Ditjen Pajak, bukan marketplace.

“Platform memiliki akses aksi di sistem pedagang da yang terbatas terhadap transtidak bisa memastikan total omzet mereka dari seluruh kanal penjualan, termasuk offline,” ujar Budi kepada KONTAN, Jumat (4/7).

Agar implementasi kebijakan ini berjalan efektif tanpa membebani pelaku usaha dan platform, Budi menyarankan adanya sistem terpusat dan sederhana. Selain itu, sosialisasi yang masif kepada pelaku UMKM juga dinilai sangat penting.

Sumber : Harian Kontan

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only