Lagi! DPR Beri Warning ke DJP untuk Rampungkan Perbaikan Coretax

Lagi-lagi parlemen memberikan peringatan kepada Ditjen Pajak (DJP) untuk segera merampungkan pembenahan pengoperasian coretax system. Topik ini menjadi salah satu pembahasan publik dalam sepekan terakhir.

Pesan soal coretax system itu disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi XI DPR Fauzi Amro. Menurutnya, perbaikan coretax mutlak harus diselesaikan karena sistem administrasi pajak itu punya peran penting dalam optimalisasi penerimaan pajak pada semester II/2025.

“Kami berharap bahwa sistem coretax sudah berjalan efektif di kuartal III dan IV 2025 supaya wajib pajak yang periode kemarin [terkendala] bisa bayar pajaknya secara keseluruhan,” katanya.

Penerimaan pajak pada semester I/2025 tercatat masih mengalami kontraksi sebesar 6,21% dengan realisasi hanya senilai Rp837,8 triliun. Realisasi ini setara 38,26% dari target Rp2.189,3 triliun.

Apabila diperinci per jenis pajak, realisasi PPh badan pada semester I/2025 baru senilai Rp152,49 triliun atau turun 11,7% bila dibandingkan dengan penerimaan PPh badan pada semester I/2024. Adapun realisasi PPN dan PPnBM tercatat masih senilai Rp267,27 triliun atau terkontraksi 19,7%.

Berbanding terbalik, realisasi PPh orang pribadi tercatat mampu mencapai Rp14,03 triliun dengan pertumbuhan sebesar 35,6%. Sementara itu, realisasi PBB tercatat mencapai Rp11,53 triliun dengan pertumbuhan sebesar 247,2%.

Fauzi menilai masih ada ruang untuk mengakselerasi penerimaan pajak pada semester II/2025. Di bawah komando Dirjen Pajak Bimo Wijayanto, dia berharap penerapan coretax system bisa mendukung optimalisasi penerimaan pajak.

Meski demikian, pemerintah memang memperkirakan penerimaan pajak tidak akan mampu mencapai target yang ditetapkan atau shortfall. Outlook penerimaan pajak sepanjang tahun ini hanya senilai Rp2.076,9 triliun atau 94,9% dari target Rp2.189,3 triliun.

“Kami berharap seperti topangan coretax, topangan-topangan IT, adalah bagian sarana dan prasarana untuk meningkatkan pendapatan negara kita berupa dari pajak,” ujarnya.

Selain informasi soal coretax system di atas, ada lagi beberapa informasi yang menarik untuk diulas kembali. Di antaranya, ketentuan terkini soal pemungutan PPh Pasal 22 atas emas, restitusi pajak yang naik tajam, dan penunjukan platform marketplace untuk memungut pajak.

Berikut ulasan artikel perpajakan selengkapnya.
Beli Emas, Tak Dipungut PPh Pasal 22

DJP menegaskan masyarakat selaku konsumen akhir tidak dipungut pajak PPh Pasal 22 ketika membeli emas batangan maupun perhiasan.

Direktur Peraturan Perpajakan I DJP Hestu Yoga Saksama mengatakan konsumen akhir mendapatkan pengecualian pemungutan PPh Pasal 22.

Yoga mencontohkan pabrikan, pedagang, dan bank bulion selaku penjual emas biasanya memungut PPh Pasal 22 sebesar 0,25% dari harga jual. Namun, masyarakat selaku konsumen akhir yang membeli emas dari tidak dipungut PPh alias dikecualikan.

Pemrosesan Restitusi Lebih Ketat

DJP meminta para petugas pajak di daerah untuk benar-benar meneliti pengajuan pengembalian pendahuluan atau restitusi dipercepat yang diajukan oleh wajib pajak.

Penelitian diperlukan untuk memitigasi lonjakan restitusi yang menekan penerimaan pajak pada tahun ini.

“Simpelnya adalah know your taxpayer. Saya minta teman-teman unit vertikal di KPP untuk betul-betul meyakini pengaju restitusi itu memang lokasi keberadaan usahanya dan usahanya memang valid,” ujar Dirjen Pajak Bimo Wijayanto.

Transaksi Lebihi Rp600 Juta Jadi Pemungut Pajak

Dirjen Pajak akan menunjuk penyelenggara marketplace yang menggunakan rekening eskro (escrow account) sebagai pemungut PPh Pasal 22.

Penyedia marketplace akan ditunjuk bila telah memenuhi batasan kriteria tertentu sesuai Peraturan Dirjen Pajak PER-15/PJ/2025. Salah satunya, penyedia marketplace memiliki nilai transaksi dengan pemanfaat jasa di Indonesia lebih dari Rp600 juta setahun atau Rp50 juta dalam sebulan.

“Kriteria tertentu … yaitu penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik yang menggunakan rekening eskro (escrow account) untuk menampung penghasilan dan memenuhi batasan: nilai transaksi dengan pemanfaat jasa di Indonesia melebihi Rp600 juta dalam 12 bulan atau Rp50 juta dalam 1 bulan,” bunyi Pasal Pasal 4 huruf a PER-15/PJ/2025.

DJP Bisa Cabut Marketplace sebagai Pemungut Pajak

DJP dapat mencabut penunjukan penyelenggara marketplace sebagai pihak lain yang memungut dan menyetorkan PPh Pasal 22.

DJP akan mencabut penunjukan tersebut jika penyedia marketplace tidak lagi memenuhi batasan kriteria traffic dan minimal transaksi yang sudah ditentukan. Selain itu, pencabutan juga bisa didasari pada pertimbangan DJP.

Pencabutan penunjukan penyedia marketplace sebagai pemungut pajak dapat dilakukan secara jabatan oleh DJP atau berdasarkan pemberitahuan penyedia marketplace. Pencabutan penunjukan tersebut akan dilakukan ketika penyedia marketplace tidak memenuhi batasan kriteria sebagaimana telah diatur dalam Pasal 4 PER-15/PJ/2025.

Marketplace Perlu Sampaikan Nama Akun Pedagang

Penyedia marketplace selaku pihak lain wajib untuk turut menyampaikan nama akun milik pedagang dalam negeri yang berdagang di marketplace.

Kepala Seksi Peraturan Pemotongan dan Pemungutan PPh II DJP Ilmiantio Himawan mengatakan informasi nama akun diperlukan mengingat pedagang sering kali memiliki akun dengan nama yang berbeda dengan nama asli.

“Pedagang online yang listing di marketplace itu memiliki karakter yang unik. Dia bisa menamai tokonya misal rizal123 atau gatarakeren. Jadi, dia menggunakan toko yang bukan namanya aslinya,” katanya.

Sumber : ddtc.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only