Aliansi Akademisi Peduli Indonesia yang terdiri dari 344 guru besar menilai kebijakan sejumlah pemerintah daerah yang menaikkan pajak secara drastis merupakan tindakan sewenang-wenang yang memperparah kondisi ekonomi masyarakat. Kenaikan pajak tersebut disebut sebagai imbas langsung dari pemangkasan anggaran transfer ke daerah (TKD) oleh pemerintah pusat.
Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026, alokasi TKD dipangkas dari Rp 919 triliun menjadi Rp 650 triliun, turun Rp 269 triliun dibanding tahun sebelumnya. Kondisi ini memaksa banyak daerah mencari sumber pendapatan alternatif, termasuk melalui optimalisasi pajak daerah seperti Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
“Pemerintah daerah menerjemahkan semua itu dengan membuat kebijakan sewenang-wenang seperti menaikkan pajak berlipat-lipat. Dampaknya, kehidupan ekonomi rakyat sangat memprihatinkan karena angka kemiskinan meningkat tajam,” ujar Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia, Sulistyowati Irianto, dalam konferensi pers daring, Senin (1/9/2025).
Menurut Sulistyowati, keputusan fiskal semacam ini menunjukkan absennya landasan ilmiah dan data berbasis bukti dalam perumusan kebijakan, baik di pusat maupun daerah.
“Semuanya dibuat tanpa dasar ilmiah dan data berbasis bukti. Terlihat dari banyaknya program yang salah sasaran, rawan penyimpangan, bahkan cenderung bisa ditafsirkan sebagai bentuk power build up,” tegasnya.
Ia juga menyoroti dampak nyata kebijakan pajak dan fiskal yang tidak berpihak pada rakyat. Mengutip data Bank Dunia, Sulistyowati menyebutkan bahwa 66% penduduk Indonesia atau sekitar 194 juta jiwa masuk kategori rentan atau miskin.
“Beras yang tadinya Rp 75.000 kini sudah Rp 140.000 untuk 5 kilogram. Itu pengakuan langsung dari para ibu rumah tangga. Daya beli menurun, industri tutup, pendidikan mahal. Rakyat mulai kehilangan harapan dan tidak menutup kemungkinan terjadi amuk sosial jika situasi ini dibiarkan,” ujarnya.
Sebelumnya, Ekonom LPEM-UI Teuku Riefky juga memperingatkan bahwa pemangkasan dana TKD akan berdampak serius pada keuangan daerah. Ia mencontohkan sejumlah daerah seperti Pati, Bone, dan Cirebon yang telah menaikkan PBB untuk menutup kekurangan pendapatan.
“Situasinya saat ini adalah daerah mencari sebisa mungkin berbagai sumber pendapatan baru untuk menutupi kekurangan akibat pemangkasan dari pusat,” kata Riefky.
Aliansi Akademisi menegaskan bahwa kebijakan pembangunan seharusnya menempatkan kesejahteraan rakyat sebagai prioritas utama, bukan justru membebani mereka dengan pajak tambahan yang tidak adil.
“Sudah waktunya kebijakan anggaran didasarkan pada pemenuhan hak-hak kesejahteraan rakyat atau welfare benefits, bukan sekadar charity, tetapi sebagai entitlement,” tandasnya.
Sumber : beritasatu.com
Leave a Reply