Dalam rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara (RAPBN) tahun 2026, pemerintah menargetkan penerimaan pajak senilai Rp2.357,7 triliun.
Untuk mencapai target penerimaan pajak tahun depan, pemerintah akan mengoptimalkan compliance risk management (CRM) dalam melakukan pengawasan kepatuhan terhadap wajib pajak.
“Penerimaan pajak pada RAPBN 2026 diperkirakan Rp2.357,7 triliun yang didukung oleh proyeksi perekonomian nasional dan kebijakan teknis pajak,” tulis pemerintah dalam Buku Nota Keuangan dan RAPBN 2026, dikutip pada Minggu (7/9/2025).
Pemerintah menilai pengawasan terhadap kepatuhan wajib pajak tidak lagi mengandalkan cara konvensional yang bersifat reaktif, seragam dan menguras sumber daya. Ke depan, pemerintah perlu mengadopsi strategi pengawasan yang lebih cerdas dan berbasis risiko.
Salah satu pendekatan strategis yang terus dikembangkan ialah CRM—suatu sistem manajemen risiko yang bertujuan mengidentifikasi, menilai dan mengelola risiko ketidakpatuhan wajib pajak secara sistematis dan berkelanjutan.
CRM merupakan salah satu dari 21 proses bisnis yang diperbarui oleh DJP melalui coretax system. Berdasarkan SE-39/PJ/2021, CRM digunakan untuk mendukung kegiatan ekstensifikasi, pelayanan, edukasi, pengawasan, pemeriksaan, penagihan, hingga pengujian transfer pricing.
Untuk mengoptimalkan CRM, pemanfaatan teknologi informasi dan analisis data menjadi dua kunci penting. Pemerintah secara bertahap mengembangkan compliance risk engine, yaitu sistem yang memanfaatkan data untuk dikelola lebih lanjut.
Data yang dimaksud tersebut mencakup SPT milik wajib pajak, e-faktur, e-bupot, data perbankan, serta informasi ekspor dan impor. Serangkaian data tersebut diolah untuk mendeteksi potensi ketidakpatuhan sejak dini.
Melalui integrasi sistem coretax dan analitik berbasis machine learning, Ditjen Pajak (DJP) nantinya dapat mengenali potensi penyimpangan yang dilakukan wajib pajak, sebelum terjadi pelanggaran.
“Dengan demikian, pengawasan dapat beralih dari pendekatan reaktif menjadi preventif, mengurangi risiko pajak sebelum berkembang menjadi pelanggaran yang merugikan negara,” ulas pemerintah dalam Buku Nota Keuangan dan RAPBN 2026.
Tantangan Pelaksanaan CRM
Kendati demikian, pemerintah mengakui keberhasilan penggunaan CRM tidak hanya ditentukan oleh kecanggihan teknologi dan data. DJP juga perlu melakukan intervensi dengan menyusun pendekatan yang berbasis pada perilaku, serta kebijakan yang memadai.
Artinya, DJP perlu menyesuaikan metode penanganan dengan tingkat dan motif ketidakpatuhan wajib pajak. Contoh, wajib pajak yang tidak patuh karena kurang memahami administrasi perpajakan, hanya perlu diedukasi dan didampingi, sedangkan wajib pajak yang melakukan penghindaran pajak dapat ditindak tegas.
Meski CRM memiliki berbagai keunggulan, pemerintah melihat masih banyak tantangan penggunaan CRM untuk mengawasi kepatuhan wajib pajak. Tantangan itu antara lain kualitas data yang belum optimal, keterbatasan kapasitas SDM, dan perlunya integrasi sistem lintas fungsi.
“Untuk mengatasi hal tersebut, diperlukan penguatan infrastruktur data, pelatihan teknis bagi pegawai, serta tata kelola CRM yang kuat agar pelaksanaan strategi ini berjalan konsisten dan akuntabel,” ulas pemerintah.
Sumber : DDTC
Leave a Reply