Kerugian Indonesia Apabila Tak Terapkan Pajak Minimum Global

Kepala Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengingatkan Indonesia akan kehilangan potensi penerimaan pajak apabila tidak menerapkan pajak minimum global 15%.

Hal itu dikatakan oleh Fajry menanggapi pernyataan Sekretaris Menteri Koordinator Perekonomian Susiwijono yang mengindikasikan penerapan pajak minimum global masih dipertimbangan ulang.

Dia menjelaskan bahwa dalam mekanisme pajak minimum global, jika suatu perusahaan multinasional (MNE) memperoleh insentif di Indonesia sehingga tarif pajak efektifnya di bawah 15% maka otoritas pajak di negara asal perusahaan berhak memungut pajak tambahan (top-up tax).

Contohnya, perusahaan asal Singapura berinvestasi di Indonesia. Jika tarif pajaknya hanya 5% (kurang dari 15%) karena menerima insentif maka otoritas pajak Singapura bisa memungut pajak tambahan 10% (agar genap 15%).

“Jadi, yang rugi adalah Indonesia kalau tidak ikut mengimplementasikan,” ujar Fajry kepada Bisnis, Kamis (11/9/2025).

Menurutnya, implementasi Qualified Domestic Minimum Top-up Tax (QDMTT) yang merupakan bagian dari skema pajak minimum global diperlukan agar Indonesia tetap bisa memungut tambahan pajak tersebut, ketimbang harus menyerahkannya ke yurisdiksi lain.

Fajry mengakui bahwa Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengancam negara yang terapkan pajak minimum global. Kendati demikian, sambungnya, ancaman itu spesifik ke negara yang terapkan Undertaxed Payment Rule (UTPR) bukan QDMTT.

Adapun, Indonesia sudah resmi menerapkan pajak minimum global sesuai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 136/2024. Dalam beleid itu, dijelaskan bahwa Indonesia menerapkan skema DMTT dan IIR (income inclusion rules) sejak 1 Januari 2025, sementara UTPR akan mulai diberlakukan pada 1 Januari 2026.

Lebih lanjut, Fajry menekankan bahwa pemberlakuan pajak minimum global membuat sejumlah insentif pajak menjadi kurang menarik. Skema seperti tax holiday atau penurunan tarif pajak penghasilan badan akan semakin terbatas manfaatnya karena tetap ada kewajiban pajak minimal 15%.

Hanya saja, dia menilai tidak semua insentif terkena dampak signifikan. Insentif berbasis pengeluaran (expenditure-based) seperti immediate expensing maupun accelerated depreciation relatif lebih aman dibandingkan insentif berbasis penghasilan (income-based).

Selain itu, instrumen berupa Qualified Refundable Tax Credit (QRTC) juga dinilai lebih kompatibel dengan aturan pajak minimum global. Skema ini memengaruhi besaran Adjusted Globe Income alih-alih Adjusted Covered Tax sehingga tidak terlalu menekan tarif efektif perusahaan.

“Di Asean sendiri, Singapura yang bergerak paling cepat, yang pada 2024 lalu sudah mengeluarkan kebijakan QRTC bernama Refundable Investment Credit [RIC]. Saya kira, kita bisa mengikuti langkah dari Singapura tersebut,” titip Fajry.

Maju-Mundur Penerapan Pajak Minimum Global

Sebelumnya, Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso mengungkapkan pemerintah mempertimbangkan ulang penerapan pajak minimum global atau global minimum tax (GMT) 15% terutama di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).

Susi tidak menampik bahwa pemerintah sudah resmi menerapkan pajak minimum global mulai tahun ini seperti amanat PMK No. 136/2024.

Kendati demikian, Kemenko Perekonomian masih berdiskusi lebih lanjut dengan Kementerian Keuangan terkait aturan itu. Apalagi, sambungnya, banyak negara lain yang kembali mempertimbangkan ulang penerapan pajak minimum global itu.

“Terkait dengan GMT, kita sedang diskusi dengan Kemenkeu karena sudah ada PMK-nya. Cuma, kan, sama dengan negara lain, pemberlakuannya kan masih kita pertimbangkan lagi. Negara-negara lain kan juga,” ujar Susi usai konferensi pers perkembangan KEK di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Selasa (9/9/2025).

Masalahnya, dalam paparannya dalam konferensi pers perkembangan KEK, Susi menyampaikan bahwa negara-negara pesaing Indonesia menawarkan insentif pajak yang menarik di KEK-nya. Padahal, Indonesia juga tetap ingin menarik investasi asing lewat KEK.

Salah satunya Thailand, yang menawarkan penurunan tarif pajak penghasilan badan (CIT) 20% berdasarkan usahanya; pembebasan pajak usaha; insentif pajak untuk usaha pendukung industri 4.0; insentif maksimum untuk teknologi maju, litbang (R&D), robotika; dan pengurangan pajak investasi 70%—100% selama 5—10 tahun di KEK.

Kendati demikian, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyatakan Indonesia tetap menjalankan pajak minimum global 15% meski berdampak ke daya tarik investasi dalam negeri.

Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kemenkeu Febrio Nathan Kacaribu menjelaskan bahwa pihaknya sedang menyiapkan insentif pengganti untuk menarik perusahaan multinasional yang terdampak penerapan pajak minimum global.

“Masih disiapkan [insentif pengganti], tapi tentunya kita lihat nanti dampaknya terhadap investasi karena memang banyak negara menyiapkan itu,” ujar Febrio di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, dikutip Kamis (11/9/2025)

Sayangnya, eks Kepala Kajian Makro Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat FEB UI ini belum mau membeberkan jenis insentif pengganti pajak minimum global tersebut.

Dia hanya menjelaskan pemerintahan masih memantau perkembangan di negara lain. Dengan demikian, insentif pengganti yang ditawarkan Indonesia bisa tetap bersaing dibandingkan negara lain.

“Jadi kita akan selalu membandingkan dengan negara-negara lain juga. Karena kita kan pasti harus melihat ketertarikannya dibandingkan banyak negara lain,” jelas Febrio.

Sumber : bisnis.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only