Ekonom AEI: Tax Ratio Rendah, Indonesia Alami Defisit Prioritas Fiskal

Ekonom Aliansi Ekonom Indonesia (AEI), Talitha Chairunissa menilai Indonesia perlu lebih bijak dalam menentukan arah belanja anggaran negara di tengah tax ratio atau rasio pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang masih tergolong rendah.

Menurut Talitha, kondisi fiskal Indonesia saat ini bukan disebabkan oleh kekurangan anggaran, melainkan adanya indikasi “defisit prioritas” dalam kebijakan belanja negara.

Tax ratio Indonesia hanya berkisar antara 10,5%-11% dari PDB. Masih jauh di bawah Thailand sekitar 16%, Malaysia 17%, dan Korea Selatan 27%,” ujar Talitha dalam Plenary Session 1 Investor Daily Summit 2025, di Jakarta, Rabu (8/10/2025).

Talitha menyoroti kecenderungan kebijakan fiskal yang semakin populis, seperti program makan bergizi gratis (MBG) dan Koperasi Desa Merah Putih (KDMP), yang dinilai menyerap porsi besar dalam belanja negara.

“Pada 2026, sekitar 37% APBN kita dialokasikan untuk program-program populis, seperti MBG dan KDMP, padahal sistem dan infrastrukturnya belum siap,” jelasnya.

Ia menekankan, negara dengan tax ratio rendah tidak dapat berbelanja seolah-olah memiliki kapasitas fiskal besar.

“Masalah kita bukan defisit fiskal, tetapi defisit prioritas. Negara dengan tax ratio 11% tidak boleh berbelanja seolah-olah punya tax ratio 20%,” tegas Talitha.

Talitha menyarankan agar alokasi anggaran difokuskan pada pemenuhan kesejahteraan guru, tenaga kesehatan, akses air bersih, serta pembangunan infrastruktur di luar Pulau Jawa.

Menurutnya, arah kebijakan fiskal semestinya memperkuat fondasi ekonomi jangka panjang, bukan sekadar memberi dampak jangka pendek.

Lebih lanjut, Talitha menilai Indonesia memiliki fondasi ekonomi kuat berkat bonus demografi. Lebih dari 70% penduduk berada di usia produktif, dengan tingkat pengangguran terbuka 4,8%, terendah dalam dua dekade terakhir.

Namun, potensi besar tersebut belum sepenuhnya termanfaatkan karena produktivitas nasional masih stagnan dan kesenjangan antarwilayah belum teratasi.

“Produktivitas kita masih stagnan, koneksi antara pertumbuhan dan kesejahteraan rakyat mulai longgar,” tutur Talitha.

Talitha juga mengingatkan bahwa pertumbuhan ekonomi di atas 5% belum mencerminkan pemerataan kesejahteraan.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), kenaikan upah riil hanya sekitar 1,2%, sementara 80% lapangan kerja baru muncul di sektor rumah tangga berupah rendah.

“Kesejahteraan masyarakat di Indonesia Timur, seperti Papua dan Maluku, masih jauh tertinggal dibandingkan Pulau Jawa,” ujarnya.

Sumber : beritasatu.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only