Pemerintah mulai menyadari daya beli masyara kat terpuruk. Berbagai stimulus tengah disiapkan dengan harapan ekonomi bakal melaju lebih kencang.
Terbaru, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mempertimbangkan memangkas tarif pajak pertambahan nilai (PPN) pada tahun 2026. Namun, keputusan tersebut belum final dan masih akan dikaji secara mendalam.
“Nanti akan kami lihat bisa enggak kami turunkan (tarif) PPN. Itu untuk mendorong daya beli masyarakat, tapi kami pelajari dulu hati-hati, kata Purbaya dalam konferensi pers, Selasa (14/10).
Pemerintah masih memantau kondisi fiskal hingga akhir tahuri 2025 sebelum mengambil keputusan terkait kebijakan tarif PPN ke depan. Baik dari sisi pertumbuhan ekonomi, maupun pundi-pundi yang berhasil dikumpulkan pemerintah pada tahun ini.
Tak hanya itu, Purbaya juga memutuskan memperpanjang masa berlaku diskon pajak ru mah atau insentif PPN ditang gung pemerintah (DTP) untuk pembelian properti. Bahkan, perpanjangan diberikan hingga 31 Desember 2027.
beli kelas menengah dan men “Jadi untuk menjaga daya dukung sektor properti yang multiplier effect-nya besar, disediakan PPN DTP 100% untuk rumah hingga harga Rp 5 miliar, bebas PPN untuk Rp 2 miliar pertama ya,” tandas Purbaya.
Saat ini, Kementerian Keuangan tengah menyiapkan peraturan menteri keuangan (PMK) untuk menjalankan kebijakan tersebut. Kebijakan ini diharapkan memberikan kepastian bagi dunia usaha.
“Sehingga pengembang bisa merencanakan pembangunan lebih banyak dan lebih cepat, tambah Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Nathan Kacaribu.
Sebagaimana diketahui, kondisi daya beli dan konsumsi masyarakat belum pulih, tercermin dari beberapa indikator. Mulai dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) September 2025 yang berada di level 115, terendah sejak April 2022 yang saat itu di 113,1.
Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia September juga menunjukkan perlambatan ekspansi, yakni ke level 50,4, daari bulan sebelumnya 51,5.
Mengerek pendapatan
Penerimaan pajak juga masih turun. Per akhir September, penerimaan pajak terkumpul Rp 1.295,3 triliun, setara 59,17% dari target. realisasi tersebut masih kontraksi 4,4% secara tahunan.
Pajak korporasi maupun pajak konsumsi kompak merosot. Secara neto, penerimaan pajak penghasilan (PPh) badan akhir September mencapai Rp 215,10 triliun, turun 9,4% secara tahunan. Sementara PPN dan pajak penjualan atas barang mewah (PPBM) tercatat Rp 474,44 triliun, turun 13,2% secara tahunan.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celjos) Bhima Yudhistira mengusulkan agar tarif PPN sebaiknya diturunkan ke level 8% untuk menjaga daya beli. Menurut hasil simulasi yang dilakukan Celios, penurunan tarif PPN dari 11% ke 8% justru berpotensi mengerek pendapatan negara hingga Rp 1 triliun, karena peningkatan konsumsi akan memicu kenaikan pendapatan pelaku usaha, terutama di sektor ritel.
Pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai, ada sejumlah hal penting yang perlu dipertimbangkan secara matang. Pertama, menurunnya konsumsi masyarakat bukan karena tarif PPN yang tinggi, melainkan sulitnya mendapat pekerjaan. Kedua, risiko pelebaran defisit anggaran, mengingat kontribusi penerimaan PPN dan PPnBMP terhadap total penerimaan pajak dalam APBN 2026 mencapai sekitar 42,2% atau hampir setengah dari total penerimaan pajak. Ketiga, bila pengelolaan APBN tidak dilakukan secara hati-hati, kepercayaan investor bisa terganggu.
Direktur Eksekutif Indonesia Economic Fiscal Research Institute Ariawan Rahmat menilai, secara prinsip penurunan tarif PPN bisa dilakukan, asal disertai kompensasi kebijakan yang jelas. Sarannya, setelah penurunan tarif, pemerintah memprioritaskan reformasi administrasi pajak yang memiliki return on investment tinggi.
Sumber : Harian Kontan, Rabu, 15 Oktober 2025, Hal 2.

WA only
Leave a Reply