Sisa waktu yang dimiliki Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak mengejar setoran pajak makin singkat. Dengan tren kontraksi yang terjadi, risiko melebarnya penerimaan pajak makin menjadi.
Sebagai gambaran, realisasi penerimaan pajak per akhir September tercatat Rp 1.295,3 triliun, turun 4,4% dibanding periode yang sama pada tahun lalu. Angka ini juga baru mencapai 59,17% dari target dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 yang sebesar Rp 2.189,3 triliun dan mencapai 62,4% dari out-look 2025, Rp 2.076,9 triliun.
Alhasil, sepanjang kuartal IV-2025, Ditjen Pajak masih harus mengejar penerimaan Rp 894 triliun lagi untuk bisa mencapai target atau mengejar Rp 781,6 triliun lagi untuk mencapai outlook tahun ini.
Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Bimo Wijayanto mengaku telah menyiapkan langkah-langkah untuk menghadapi potensi shortfall penerimaan pajak tahun ini. Ditjen Pajak kini mengubah strategi pengawasan dan pengumpulan pajak dengan fokus pada wajib pajak yang memiliki potensi kontribusi besar terhadap penerimaan negara.
“Upayanya kami sudah mau micro management untuk collection. Jadi kami pantau betul semua wajib pajak, kami list dari semua kanwil, potensi yang paling besar siapa, kemudian kira-kira kepatuhannya seperti apa,” ujar Bimo, Rabu (22/10).
Bimo menambahkan, Ditjen Pajak juga fokus menutup kesenjangan kepatuhan pajak (compliance gap). Terutama, yang berasal dari kelompok wajib pajak besar yang memiliki kontribusi signifikan terhadap penerimaan.
Ditjen Pajak juga mengintensifkan penagihan utang pajak kepada 200 penunggak pajak terbesar. Namun, dari estimasi Rp 20 triliun, hingga saat ini, Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas Ditjen Pajak Rosmauli menyebut, pihaknya baru berhasil mencairkan piutang Rp 7,21 triliun.
Staf Ahli Bidang Kepatuhan Pajak Kementerian Keuangan Yon Arsal mengakui, periode kuartal IV menjadi fase paling menantang bagi otoritas pajak Pasalnya, sebagian besar penerimaan pajak setiap tahun terkumpul di akhir tahun.
Berkaca pada kuartal keem-pat tahun lalu, Ditjen Pajak mampu mengumpulkan penerimaansekitar Rp 500 triliun – Rp 560 triliun di tiga bulan terakhir. “Pada Oktober (2024) kami bisa kumpulkan sekitar Rp 162 triliun, November Rp 170 triliun, dan Desember sekitar Rp 240 triliun. Jadi porsi penerimaan di kuartal IV sekitar 30% dari total tahunan,” tandas Yon.
Anggap saja pada kuartal IV-2025 Ditjen Pajak berhasil meraup penerimaan dengan nominal yang sama, yakni Rp 572 triliun. Artinya, masih ada selisih penerimaan pajak Rp 322 triliun dari target atau Rp 209,6 triliun dari outlook, alias shortfall melebar.
Makin tipis
Pengamat Pajak Center of Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mempertanyakan kelompok orang kaya mana yang saat ini dinilai belum patuh? Sebab, pemerintah sebelumnya telah melaksanakan berbagai program pengungkapan harta. Mulai dari Tax Amnesty 2016, Program Pengungkapan Sukarela (PPS) 2022, hingga penerapan Automatic Exchange of Information (AEol).
Menurut Fajry, potensi tambahan penerimaan pajak dari kelompok orang kaya kian tipis seiring banyaknya data harta yang sudah dimiliki Ditjen Pajak. Ia mencontohkan, penerimaan dari program PPS hanya mencapai Rp 61 triliun.
Bila potensi itu digali lagi secara lebih spesifik hanya terhadap HWI, hasilnya kemungkinan jauh lebih kecil. “Untuk itu, saya ragu jika strategi tersebut akan mampu untuk mengejar potensi shortfall penerimaan secara signifikan,” tandas Fajry.
Ia mewanti-wanti Ditjen Pajak tidak menerapkan langkah agresif dalam penagihan pajak terhadap kalangan HWI. Praktik aggressive tax collection justru menimbulkan ketidakpastian dan mendorong para pengusaha memindahkan aset ke luar negeri.
Sumber : Harian Kontan, Jumat, 24 Oktober 2025, Hal 2.

WA only
Leave a Reply