Wacana penurunan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) belum mendapat lampu hijau. Pasalnya, otoritas fiskal masih harus berhitung ulang lantaran kebijakan itu berpotensi menggerus penerimaan negara.
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan, penurunan tarif PPN sebesar 1% saja, akan membuat negara kehilangan penerimaan sebesar Rp 70 triliun. Sebab itu, ia tidak ingin gegabah dalam memutuskan penurunan tarif.
“Begitu jadi Menteri Keuangan, setiap 1% turun, saya kehilangan pendapatan Rp 70 triliun. Wah rugi juga nih, jadi kami pikir-pikir,” ujar Purbaya, Selasa (28/10).
Purbaya menjelaskan bahwa langkah pertama yang akan ia ambil adalah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kemampuan negara dalam menghimpun pajak dan cukai. Ia menilai, sebelum mengambil keputusan besar terkait tarif, pemerintah perlu mengetahui seberapa efektif sistem yang ada saat ini.
“Dari situ saya bisa ukur sebetulnya potensi saya berapa sih yang real, nanti kalau saya turunkan kurangnya berapa, dampak pertumbuhan ekonominya berapa,” tambah Purbaya.
Kendati begitu, Purbaya menegaskan rencananya untuk menurunkan tarif PPN meski keputusannya harus dilakukan secara hati-hati. “Tapi itu sudah di atas kertas sudah direncanakan. Tapi ha-us hati-hati,” katanya.
la tak ingin keputusan pemangkasan tarif pajak membuat defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) melampaui batas maksimal 3% terhadap produk domestik bruto (PDB).
Dalam dokumen Nota Keuangan dan Rancangan APBN 2026, pemerintah mematok penerimaan PPN dan pajak penjualan atas barang mewah (PPBM) sebesar Rp 993,5 triliun. Angka ini, naik 11,7% dibanding outlook 2025 yang sebesar Rp 890,9 triliun.
Selama ini, penerimaan PPN dan PPnBM memang menjadi penopang utama penerimaan pajak secara keseluruhan. Pada tahun depan, porsi PPN dan PPnBM mencapai dengan kontribusi sebesar 42,21% terhadap total penerimaan pajak yang dipatok sebesar Rp 2.357,7 triliun.
Namun di sisi lain, pemangkasan tarif PPN dinilai menjadi salah satu cara efektif untuk mengungkit daya beli masyarakat.
Basis pajak
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengusulkan tarif PPN dipangkas dari 11% yang berlaku saat ini, ke level 8%, untuk lasi Bhima, penurunan tarif menjaga daya beli. Dari simu PPN dari 11% ke 8% berpotensi menaikkan pendapatan negara hingga Rp 1 triliun.
Ia bilang, penurunan tarif akan memicu kenaikan konsumsi dan pendapatan pelaku usaha, terutama di sektor ritel. Dengan demikian, “Penerimaan PPh badan dan PPh 21 juga naik,” ujar Bhima kepada KONTAN belum lama ini.
Kepala Laboratorium Departemen Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM) Kun Haribowo, bilang, PPN sangat sensitif terhadap konsumsi domestik. Setiap perubahan tarif PPN lanjut dia, akan langsung memengaruhi harga barang dan jasa, daya beli masyarakat, serta penerimaan negara.
Dengan tarif yang lebih rendah, konsumsi masyarakat, terutama kelompok menengah ke bawah berpotensi meningkat sehingga basis pajak melebar.
Namun, ia mengingatkan konsekuensi jangka pendek. “Penerimaan negara dapat turun signifikan karena penurunan tarif PPN belum dapat ditutup oleh peningkatan volume transaksi,” terang Kun.
Sumber : Harian Kontan, Rabu, 29 Oktober 2025.

WA only
Leave a Reply