Kontroversi soal pengenaan pajak penghasilan (PPh) atas pesangon dan uang pensiun karyawan tampaknya masih akan berlanjut. Pekan ini, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materiil beleid soal pajak atas pesangon pensiun yang diajukan sejumlah karyawan bank swasta.
Putusan ini diambil MK pada Kamis (13/11), dalam sidang Pengucapan Putusan untuk perkara Nomor 186/PUU-XXII/2024 terkait permodang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang pengujian materiil Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU 7/2021).
MK menyatakan permohonan para pemohon tidak dapat diterima. MK menilai permohonan para pemohon tidak jelas atau kabur. “Karena permohonan pemohon tidak jelas atau kabur atau obscuur, maka Mahkamah tidak mempertimbangkan kedudukan hukum dan pokok permohonan para pemohon lebih lanjut,” ujar Ketua MK Suhartoyo dalam sidang, Kamis lalu
Adapun perkara ini dimohonkan oleh karyawan dan mantan karyawan bank swasta yang tergabung dalam Forum Pekerja Bank Swasta.Para pemohon merasa mengalami kerugian langsung akibat ketentuan tersebut. Karena itu, para pemohon meminta MK menyatakan ketentuan Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 17 UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang PPh bertentangan dengan UUD 1945.
Para pemohon menilai, ketentuan tersebut menimbulkan implikasi pesangon dan uang pensiun, yang pada hakikatnya merupakan hak normatif pekerja setelah puluhan tahun bekerja, diperlakukan setara dengan tambahan penghasilan baru yang lahir dari aktivitas ekonomi.
Menurut para karyawan tersebut, secara filosofis dan sosiologis, pesangon dan pensiun sama sekali tidak dapat disamakan dengan keuntungan usaha atau laba, melainkan merupakan bentuk tabungan terakhir hasil jerih payah pekerja sepanjang hidupnya.
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa masih enggan mengomentari protes para karyawan bank swasta tersebut. Ia mengatakan akan mempelajari terlebih dahulu putusan tersebut.
Sementara Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan Rosmauli mengatakan pihaknya menghormati putusan MK tersebut. “Kami akan menjalankan ketentuan sesuai peraturan yang berlaku dan memastikan pelayanan kepada
Pesangon dan uang pensiun idealnya dipakai untuk bertahan hidup.
masyarakat tetap berjalan baik,” ujar Rosmauli kepada KONTAN, Jumat (14/11).
Rosmauli menambahkan, uang pesangon dan uang pensiun, termasuk manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua, yang dibayarkan sekaligus dikenakan pajak penghasilan (PPh) 21 bersifat final. Menurut Ditjen Pajak, penghasilan tersebut merupakan penghasilan yang diterima wajib pajak setelah tidak aktif sebagai karyawan.
Menambah beban
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai putusan MK yang menolak gugatan penghapusan pajak atas pesangon dan uang pensiun sebagai keputusan yang mengecewakan. Putusan tersebut menunjukkan logika kebijakan pajak yang diterapkan saat ini belum berpihak ke pekerja yang baru saja kehilangan sumber pendapatan.
Bhima menyebut, pesangon yang diterima pekerja setelah pemutusan hubungan kerja (PHK) idealnya digunakan untuk bertahan hidup, bukan justru dipotong pajak. Pengenaan pajak tersebut, lanjutnya, hanya menambah beban masyarakat, karena mengurangi pendapatan yang bisa langsung dibelanjakan.
Meski MK telah menolak permohonan uji materi, Bhima meminta pemerintah tetap dapat mengambil langkah bijak. Ia menilai Kementerian Keuangan dan DPR masih bisa berkoordinasi untuk melakukan revisi pasal terkait.
Menurut Bhima, upaya tersebut perlu dilakukan agar kebijakan perpajakan lebih responsif terhadap kondisi ekonomi. “Harusnya kebijakan untuk menghapus pajak pesangon dan pensiun dimaknai sebagai bentuk stimulus di tengah maraknya PHK,” tambah Bhima.
Sumber : Harian Kontan

WA only
Leave a Reply