Pemerintah bakal mengatur lagi pengawasan lepatuhan wajib pajak. Kementerian Keuangan (Kemkeu) tengah mematangkan penyusunan aturan baru terkait pengawasan kepatuhan wajib pajak.
Melalui Direktorat Harmonisasi Peraturan Perundangundangan (HPP) III, di bawah Direktorat Jenderal (Ditjen) Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum, proses harmonisasi rancangan peraturan menteri keuangan (RPMK) tentang pengawasan kepatuhan wajib pajak kembali dilakukan.
Rapat dibuka Direktur HPP III Unan Pribadi dan dipandu oleh Susana Oktavia, Perancang Peraturan Perundangmerupakan lanjutan dari perundangan Ahli Madya. Ini temuan 13 November 2025 yang telah membahas substansi awal mengenai mekanisme pengawasan pemenuhan kewajiban perpajakan.
Sejumlah kementerian terlibat dalam pembahasan, termasuk Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Keuangan, Kementerian Sekretariat Negara, serta jajaran internal Kementerian Hukum. Sayangnya, Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Humas Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kemkeu belum menjelaskan lebih terperinci terkait calon beleid tersebut.
Yang jelas, pengawasan kepatuhan wajib pajak selama ini belum diatur secara khusus dalam PMK tertentu, melainkan melalui Surat Edaran Ditjen Pajak Nomor SE-05/PJ/2022 tentang Pengawasan Kepatuhan Wajib Pajak.
Dalam SE-05/2022, terdapat dua kelompok wajib pajak strategis. Pertama, seluruh wajib pajak yang tercatat di kantor pelayanan pajak (KPP) di bawah naungan Kanwil Ditjen Pajak Wajib Pajak Besar, Kanwil Ditjen Pajak Jakarta Khusus, dan KPP Madya.
Kedua, wajib pajak dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pusat di KPP Pratama yang memiliki kontribusi penerimaan pajak terbesar atau memenuhi kriteria tertentu sesuai penetapan Kepala Kanwil Ditjen Pajak.
Konsultan Pajak Botax Consulting Indonesia Raden Agus Suparman bilang, hingga saat ini belum ada PMK khusus yang mengatur pengawasan kepatuhan. Berbeda dengan pemeriksaan pajak yang memiliki beberapa aturan formal, mulai dari Keputusan Menteri Keuangan hingga PMK Pemeriksaan Pajak.
Alhasil, cara kerja account represetative (AR) berbedabeda, yang diperparah dengan bergesernya interpretasi Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK). Tahun ini, SP2DK punya target rupiah. Padahal, konsep SP2DK bukan pemeriksaan dan tidak menghasilkan produk hukum.
Seharusnya, “Jika memang Ditjen Pajak melihat adanya potensi perpajakan, langsung saja menerbitkan Surat Perintah Pemeriksaan (SP2) dan menerbitkan surat ketetapan pajak,” kata Raden.
Sumber : Harian Kontan

WA only
Leave a Reply