Indonesia mesti mengantisipasi pemulihan perdagangan dan pertumbuhan ekonomi global dengan segera memperkuat struktur industri nasional. Sebab, kerapuhan industri nasional membuat lebih dari 75 persen impor Indonesia merupakan kelompok bahan baku dan bahan penolong, termasuk bahan pangan.
Untuk itu, pemerintah mesti bertindak cepat sekarang juga membangun industri substitusi atau pengganti impor demi kemandirian pada kelompok barang tersebut. Dengan demikian, ketika pertumbuhan global mulai bergerak, struktur industri Indonesia sudah lebih kokoh sehingga mampu bersaing secara global.
Sejumlah kalangan juga menilai pengembangan industri substitusi impor patut dipacu karena memiliki keunggulan terutama pasarnya sudah terjamin di dalam negeri. Selain itu juga menghemat devisa, menopang hilirisasi industri yang bernilai tambah, dan berpeluang membuka banyak lapangan kerja baru.
Guru Besar Ekonomi Pertanian UGM, Masyhuri, mengemukakan apabila Indonesia masih mengandalkan bahan baku dan bahan penolong impor, itu berarti pembangungan industri tidak berpijak pada kemampuan sendiri. “Padahal dengan kekayaan dan keluasan alam yang ada, sudah seharusnya industri kita ya hilirisasi produk kita sendiri,” ungkap dia, saat dihubungi, Minggu (31/3).
Oleh karena itu, Masyhuri mendukung penuh ketegasan dan komitmen kuat pemerintah untuk mengendalikan kebergantungan yang tinggi pada impor itu, dengan cara menekan peluang perburuan rente impor.
“Ancaman paling nyata dari impor adalah pada serapan lapangan kerja dan kesejahteraan masyarakat. Berbeda dengan Singapura, negara yang makmur dengan mengandalkan perdagangan, efisiensi proses dagang. Kalau kita harus dari hilir, dari petani, dihilirisasi, sehingga setiap rantai panjang itu menyerap lapangan kerja,” papar Masyhuri.
Ekonom Indef, Bhima Yudhistira, menambahkan defisit perdagangan Indonesia 2018 yang mencapai rekor sepanjang sejarah tidak terlepas dari peran impor pangan yang mencapai 13 miliar dollar AS setahun. Guna mencegah lonjakan impor tidak ada jalan lain, kecuali mendorong produktivitas pangan nasional secara masif.
“Bantuan pertanian yang selama ini belum efektif sebaiknya dievaluasi kembali. Pemerintah juga perlu menerapkan kuota dan hambatan nontarif untuk produk pangan yang bisa diproduksi dalam negeri,” kata dia.
Menurut Bhima, kunci untuk mendorong bahan baku dan penolong adalah penataan rantai pasokan industri dari hulu hingga hilir. Indonesia tidak kekurangan bahan baku yang berkualitas, tapi karena preferensi perusahaan multinasional memakai bahan baku impor akhirnya produsen bahan baku lokal dianaktirikan.
“Perlu adanya enforcement kepada pelaku industri agar serap bahan baku lokal. Bentuknya bisa pengenaan bea masuk bahan baku impor yang lebih tinggi,” ujar dia.
Sementara itu, insentif pajak juga diperlukan bagi industri hilir untuk menyerap bahan baku lokal.
Efek Berantai
Terkait dengan kebutuhan investasi, pemerintah dikabarkan giat mendorong peningkatan investasi di Indonesia, baik penanaman modal dalam negeri (PMDN) maupun penanaman modal asing (PMA), untuk menumbuhkan industri substitusi impor dan berorientasi ekspor guna menguatkan struktur perekonomian nasional saat ini.
Peningkatan investasi khususnya di sektor industri manufaktur, selama ini konsisten membawa efek berantai bagi perekonomian seperti pengoptimalan nilai tambah sumber daya alam di dalam negeri, penyerapan tenaga kerja, dan penerimaan devisa dari ekspor.
Menteri Perindustrian, Airlangga Hartarto, memaparkan pemerintah gencar memacu pertumbuhan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Tanah Air. Sebab, sektor manufaktur strategis dan prioritas dalam menopang perekonomian.
Menperin mengemukakan pada 2018, industri TPT menjadi penghasil devisa yang cukup signifikan dengan nilai ekspor 13,22 miliar dollar AS, atau naik 5,55 persen dibanding tahun sebelumnya. “Selain itu, industri TPT telah menyerap tenaga kerja sebanyak 3,6 juta orang. Ini yang menjadikan industri TPT sebagai sektor padat karya dan berorientasi ekspor,” papar dia.
Sumber : Koran-jakarta.com
Leave a Reply