Investasi Kunci Momentum Emas Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Indonesia pada 2030 diproyeksikan akan masuk ke dalam jajaran 7-10 negara perekonomian terbesar di dunia dan pada 2040-2045 naik lagi ke peringkat 4-5 di dunia. Proyeksi tersebut bukan hanya diberikan oleh institusi atau lembaga di dalam negeri, tapi juga dari institusi atau lembaga global.

Dari dalam negeri ada Bank Indonesia, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), serta Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia. Adapun dari luar ada Bank Dunia, PricewaterhouseCoopers (PwC), McKinsey Global Institute, dan The Boston Consulting Group.

Dalam acara HSBC Indonesia Economic Update bertajuk “Momentum Emas Ekonomi Indonesia” di Grand Ballroom, Hotel Kempinski, Jakarta, Selasa (30/4), terungkap bahwa untuk mencapai momentum emas tersebut, Indonesia harus segera meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan meraih lebih banyak lagi penanaman modal dalam negeri (PMDN) dan penanaman modal asing langsung (foreign direct investment/FDI) dan meningkatkan produktivitas sumber daya manusia.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution, mengatakan, Indonesia masih bisa menunjukkan pertumbuhan ekonomi di kisaran 5,2 persen pada 2018 pada saat negara-negara lain tidak mampu melakukannya akibat kondisi perekonomian global yang masih diliputi ketidakpastian.

Darmin mengakui pertumbuhan tersebut belum cukup tinggi. Tetapi pertumbuhan ekonomi Indonesia menunjukkan kualitas pertumbuhan yang semakin baik dalam tiga tahun terakhir. Hal ini ditunjukkan oleh penurunan tingkat kemiskinan menjadi 9,66 persen, tingkat pengangguran turun menjadi 5,34 persen, gini ratio turun menjadi 0,384 persen, serta inflasi rendah sebesar 3,13 persen pada 2018.

Pemerintah terus berusaha meningkatkan lagi pertumbuhan ekonomi Indonesia pasca pemilihan umum 17 April, yakni sekitar 5,3-5,6 persen pada tahun ini dan 2020. Namun, untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi, Indonesia juga membutuhkan investasi yang tinggi. Kebutuhan investasi pada 2019 sekitar Rp 5.276 triliun dan 2020 sekitar Rp 5.803-5.823 triliun. Ini akan dipenuhi dari sektor perbankan yang diharapkan bertumbuh 13,5-15 persen dan pasar modal yang diperkirakan tumbuh sebesar 10 persen.

FDI diharapkan meningkat menjadi Rp 427-429 triliun. Hal ini, kata Darmin, antara lain didukung oleh kebijakan insentif fiskal dan relaksasi Daftar Negatif Investasi, dengan tetap menjaga ketahanan usaha di dalam negeri.

Untuk menarik investasi, Darmin menjelaskan, pemerintah telah memberikan tax holiday secara besar-besaran untuk 5-20 tahun. “Tidak ada negara lain yang memberikan tax holiday maksimal sampai selama itu,” ujarnya.

Pemerintah juga telah memberikan insentif kepada lima sektor industri, yaitu makanan dan minuman, tekstil dan busana, otomotif, kimia, dan elektronik. Kelima sektor tengah disiapkan pemerintah menuju Industri 4.0.

Sementara untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang massif, pemerintah bekerja sama dengan lembaga perbankan untuk mengalokasikan dan mendistribusikan pendanaan. Bukan hanya ke pengusaha makro, tapi juga pengusaha mikro, bahkan ultra mikro, karena ekonomi Indonesia 80 persennya didominasi oleh mereka yang kesulitan mengakses perbankan.

Hal yang juga penting adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) supaya bisa menyesuaikan dengan kebutuhan industri. Untuk itu, menurut Darmin, pemerintah akan memfokuskan pendidikan di tingkat vokasi dengan tiga layer. Pertama, mengoptimalkan balai latihan kerja dengan rentang pelatihan 3-6 bulan dan maskimal satu tahun. Kedua, mengingkatkan kualitas pendidikan sekolah menengah kejuruan dengan merombak struktur belajar yang didominasi praktik dan magang. Ketiga, meningkatkan kualitas politeknik dengan menyediakan guru dan infrastruktur yang mumpuni.

Tantangan Ekonomi

Menteri Keuangan 2013-2014, Chatib Basri mengatakan tidak mudah untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 5 persen dengan situasi perekonomian global seperti sekarang. Permasalahannya, jika ingin meraih momentum emas pada 2045, pertumbuhan ekonomi harus jauh di atas 5 persen. “Jika pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 5 persen, pendapatan per kapita tetap akan rendah,” katanya pada acara yang sama.

Berdasarkan kategorisasi Bank Dunia, terdapat empat kelompok pendapatan negara-negara di dunia. Pertama, kelompok negara berpendapatan rendah dengan pendapatan per kapita per tahun sebesar 995 dolar AS, negara berpendapatan menengah-bawah di kisaran 996-3.895 dolar AS, negara berpendapatan menengah ke atas 3.896-12.055 dan negara berpendapatan tinggi atau maju di atas 12.056 dolar AS.

Pada 2018, pendapatan per kapita Indonesia sudah mencapai 4.130 dolar AS dan naik kelas ke kelompok negara berpendapatan menengah-atas. Bandingkan dengan pada posisi 2017 dengan pendapatan per kapita sebesar 3.874 dolar AS per tahun. Pemerintah Jokowi menargetkan pendapatan per kapita Indonesia akan mencapai 29 ribu dolar per tahun pada 2045 atau masuk kategori negara berpendapatan tinggi.

Jika ingin menjadi salah satu negara perekonomian terbesar di dunia pada 2045, menurut Chatib, mengandalkan kebijakan fiskal dan moneter saja tidak cukup. Harus adalah langkah lain, di antaranya menggenjot tabungan masyarakat (saving), FDI, dan reformasi ekonomi, termasuk di dalamnya revisi undang-undang ketenagakerjaan.

Proses menuju golden moment itu bisa dilakukan dalam jangka panjang berupa pembangunan infrastruktur dan peningkatan kualitas SDM. Dalam jangka pendek, dengan memperbaiki regulasi yang sifatnya top down, seperti aturan ketenagakerjaan dan kemudahan berinvestasi. “Jika semua itu sudah dilakukan, saya yakin ekonomi Indonesia akan tumbuh 7 persen,” kata Chatib.

Dia mengingatkan, Indonesia harus segera meningkatkan pertumbuhan ekonomi, karena pada 2050 Indonesia akan memasuki masa aging populations. “Jika pertumbuhan ekonomi seperti sekarang (hanya 5 persenan), bisa-bisa kita akan menjadi tua sebelum menjadi kaya,” katanya.

Dua masalah pokok yang disorot Chatib Basri, seperti kualitas SDM (termasuk di dalamnya ketenagakerjaan) dan pertumbuhan ekonomi memang krusial—sama pentingnya dengan mengenjot investasi riil/langsung. Masalah kualitas SDM, misalnya sangat strategis karena saat ini dunia sudah memasuki era Revolusi Industri 4.0. Jika bangsa Indonesia mau menjadi pemenang, khususnya pada 2045, kualitas SDM Indonesia, termasuk produktivitas pekerjanya memang harus terus ditingkatkan.

Produktivitas tenaga kerja Indonesia sudah membaik meskipun memang belum memuaskan. Data Asian Productivity Organization (APO) menunjukkan, pada 2015 produktivitas per pekerja Indonesia mencapai 24,3 ribu dolar AS, dua kali lipat lebih tinggi dibanding produktivitas pada 1990. Adapun, menurut data The Conference Board dalam Total Economy Database, produktivitas per pekerja Indonesia pada 2017 telah menembus 24,6 ribu dolar AS.

Berdasarkan data APO, peringkat Indonesia berada di urutan 11 dari 20 negara yang produktivitas pekerjanya baik. Jika dilihat dari sesama negara anggota ASEAN, produktivitas tenaga kerja Indonesia masih berada di urutan keempat. Dari sisi daya saing, Indonesia berada pada posisi ke-45 di antara 140 negara. Adapun di tingkat ASEAN, Indonesia berada pada posisi keiga di antara sembilan negara ASEAN yang tercatat dalam The Global Competitiveness Report 2018 pada komponen human capital dan indikator keahlian tenaga kerjanya. Berdasarkan fakta ini memang masalah peningkatan kualitas SDM dan produktivitas tenaga kerja masih menjadi pekerjaan rumah terbesar bangsa ini.

Adapun peringatan Chatib tentang aging population juga sangat masuk akal sebab pada 2050 Indonesia sudah tidak memiliki bonus demografi lagi. Kajian Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia bertajuk ‘Indonesia towards 2030 and beyond: A Long-Run International Trade Foresight’ dan dipublikasikan pada 5 Juni 2017 menyebutkan, jumlah tenaga kerja usia produktif akan mencapai puncaknya pada 2030 dengan proporsi sebesar 53,1 persen dari total populasi Indonesia. Kemudian akan turun dan memasuki periode ‘dividen terlambat’ dari bonus demografi mulai 2031.

Jika pada 2030 Indonesia ditargetkan masuk kelompok negara berpendapatan tinggi, maka pendapatan per kapita Indonesia harus mencapai minimal 15 ribu dolar per AS per tahun. Indonesia juga membutuhkan pertumbuhan ekonomi rata-rata 13 persen hingga 2030. Namun, proyeksi ini dianggap tidak realistis.

Skenario Pertumbuhan

Dalam studi LPEM tersebut digunakan beberapa skenario pertumbuhan ekonomi riil dalam rupiah antara 7,9-9,9 persen, pendapatan per kapita Indonesia per tahun pada 2030 diperkirakan antara 9.000-11.700 dolar AS, bukan 18 ribu dolar AS. Depresiasi rupiah hingga 2030 diestimasikan sekitar 0,8 persen per tahun dan pertumbuhan populasi sekitar 1,1 persen per tahun. Menurut proyeksi LPEM UI, sampai 2030 Indonesia masih belum mencapai kategori negara berpenghasilan tinggi. Indonesia mungkin bisa masuk kategori itu pada 2036, dengan syarat mampu mencatat pertumbuhan ekonomi riil rata-rata sekitar 8,9 persen.

Bank Indonesia (BI) lebih optimistis. Hasil riset BI memang menekankan perlunya Indonesia bekerja keras untuk mengejar posisi menjadi negara maju dan berpendapatan menengah atas, atau bahkan negara berpendapatan tinggi. Jika pertumbuhan ekonomi rata-rata bisa mencapai 5,6 persen per tahun, Indonesia baru bisa naik level pada 2045 untuk meraih pendapatan per kapita di atas 10 ribu dolar AS. Indonesia, menurut BI, bisa naik level lebih cepat pada 2040 jika pertumbuhan ekonomi ditingkatkan lebih tinggi lagi sebesar 6,4 persen.

Lalu, bagaimana caranya agar pemerintah bisa menarik lebih banyak lagi investasi masuk ke Indonesia? Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan P. Roeslani menyebutkan, iklim investasi perlu diperhatikan agar investor merasa nyaman dan mudah melakukan investasi di Tanah Air.

Pemerintah, kata Rosan, juga bisa memberikan pengampunan pajak atau tax amnesty, pemotongan pajak penghasilan, penguatan badan investasi, dan hukum ketenagakerjaan. Pemotongan pajak penghasilan akan berdampak pada perusahaan makin kompetitif dan melakukan ekspansi yang akhirnya akan membuka lapangan kerja baru.

Kepala Ekonom HSBC ASEAN Joseph Incalcaterra mengungkapkan, Pemerintah Indonesia telah melakukan kemajuan untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif. Untuk menarik FDI misalnya, pemerintah telah mengeluarkan 16 Paket Reformasi Kebijakan, tiga di antaranya fokus terhadap pengurangan regulasi bisnis.

Peringkat Indonesia, dalam survei Kemudahan Berbisnis yang dilakukan antara tahun 2014 sampai dengan 2018, naik ke peringkat 72 dari sebelumnya di peringkat 114. Sayangnya, peringkat itu kembali turun ke 73 pada 2019 ini, kemungkinan karena momentum reformasi sudah melambat. Presiden Jokowi menargetkan Indonesia bisa berada di peringkat Top 40 Dunia.

Sementara dalam Paket Reformasi Kebijakan ke-10 yang dikeluarkan pada Februari 2016, pemerintah menghilangkan batas kepemilikan asing yang masuk dalam Daftar Negatif Investasi (DNI) di 35 sektor. Namun, pembatasan itu masih ada ada, sehingga diperlukan liberalisasi lebih lanjut. Pemerintah telah memberikan sinyal untuk mengeluarkan beberapa sektor lagi dari DNI, tapi masih belum diimplementasikan.

Menteri Koordinator bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan menegaskan pemerintah sudah dan sedang memperbaiki peraturan, termasuk peraturan daerah, yang saling tumpang tindih serta merampungkan online single submission (OSS). Oleh karena itu, tidak ada keraguan lagi bagi investor untuk masuk ke Indonesia. Sebab dengan OSS, memperkecil peluang orang untuk ‘bermain’ atau korupsi. “Semua perizinan dilakukan secara online dan transparan,” ujarnya.

Sumber : Katadata.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only