Insentif Pajak Bisa Cegah Penurunan Industri Manufaktur

BANDUNG – Pemerintah didorong untuk segera merealisasikan kebijakan pemberian insentif pajak dan insentif pengembangan riset dan inovasi (R&D) bagi industri manufaktur. Langkah tersebut mendesak dilakukan agar tren penurunan pertumbuhan industri pengolahan tanah air tidak terus berlanjut.

Ketua Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Padjadjaran Maman Setiawan, S.E., M.T., Ph.D, mengatakan melambatnya pertumbuhan industri pengolahan selama triwulan I-2019 telah diperkirakan sebelumnya. Alasannya, berdasarkan data yang ada pertumbuhan produksi industri manufaktur di Indonesia selama periode 2013-2018 menunjukkan tren penurunan.

“Tren melambat ini yang harus diperhatikan. Upaya-upaya agar perlambatan ini tidak terus berlangsung harus segera diambil. Jangan sampai terus melambat,” ujarnya di Bandung, Senin 13 Mei 2019.

Menurut Maman, ada sejumlah langkah yang bisa dilakukan pemerintah. Langkah tersebut berkaitan  dengan peningkatan daya saing, baik internal maupun eksternal, bagi industri manufaktur tanah air. Diketahui struktur industri manufaktur Indonesia masih lemah karena bahan baku industri didominasi bahan baku impor. Oleh karena itu penting untuk melakukan pembangunan industri di sektor hulu, seperti sektor petrokimia dan industri bahan baku produksi.

Selain itu, langkah lainnya adalah dengan merealisasikan sejumlah peraturan terkait insentif yang akan diberikan kepada industri, seperti insentif pajak bagi industri yang terlibat dalam program pendidikan vokasi dan pengembangan riset dan inovasi (R&D).

“Hingga saat ini aturan tersebut belum juga direalisasikan padahal langkah ini diperlukan untuk mendorong produktivitas dan daya saing industri tanah air. Selain itu belum direalisasikannya kebijakan ini juga membuat investor memilih untuk wait and see,” ujarnya.

Jangka panjang

Lebih lanjut terkait dengan dampak pembangunan infrastruktur yang sejak beberapa waktu lalu gencar dilakukan pemerintah, Maman menilai, efek dari pembangunan infrastruktur memang baru bisa dirasakan dalam jangka panjang. Apalagi pembangunan yang dilakukan diarahkan ke wilayah timur atau bukan di kawasan-kawasan industri yang sudah ada sehingga akan membutuhkan waktu yang lebih panjang.

“Jika pertanyaannya harus seperti apa untuk mempercepat dampak infrastruktur ini maka perlu ditingkatkan konektivitas dari kawasan-kawasan yang sudah ada, namun tetapi dengan tidak melupakan pembangunan infrastruktur di daerah terpencil,” ujarnya.

Sebelumnya diberitakan Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan I-2019 mencapai 5,07 persen, atau naik tipis dibanding triwulan  I-2018 sebesar 5,06 persen. Berdasarkan sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan I-2019 (y-on-y), sumber pertumbuhan tertinggi berasal dari Lapangan Usaha Industri Pengolahan 0,83 persen; diikuti Perdagangan Besar-Eceran, Reparasi Mobil-Sepeda Motor 0,70 persen; Konstruksi 0,59 persen; dan Informasi dan Komunikasi 0,47 persen. Sementara pertumbuhan ekonomi Indonesia dari lapangan usaha lainnya 2,48 persen. Pertumbuhan industri pengolahan pada triwulan I-2019 tersebut lebih lambat dibandingkan capaian triwulan I-2018 yang sebesar 0,99%. 

Sementara di Jawa Barat, BPS Jabar mencatat perekonomian Jabar selama triwulan I-2019 tumbuh 5,43% atau melambat dibandingkan capaian triwulan I-2018 yang mencapai 5,90%. Dilihat dari penciptaan sumber pertumbuhan ekonomi, industri pengolahan masih yang tertinggi, yakni 2,73%, kemudian Perdagangan Besar-Eceran dan Reparasi Mobil-Sepeda Motor sebesar 0,77%, konstruksi 0,63%, serta Informasi dan komunikasi 0,39%.

Akan tetapi jika dibandingkan capaian triwulan I-2018, pertumbuhan industri pengolahan dan kontruksi melambat. Industri pengolahan melambat dari sebelumnya 3,13% menjadi 2,73%, sedangkan kontruksi dari 0,72% menjadi 0,63%.

Sumber : Pikiran-Rakyat.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only