PAJAK DIGITAL: Pemerintah Ambil Langkah Unilateral

JAKARTA – Dengan dalih kebutuhan dana untuk pembangunan, pemerintah memutuskan mengambil langkah unilateral dalam memajaki perusahaan multinasional khususnya yang bergerak di sektor digital. 

Langkah ini diambil di tengah klaim The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yang menyebutkan ada perkembangan baru terkait konsensus pemajakan ekonomi digital yang ditargetkan selesai 2020 mendatang.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, tanpa adanya regulasi baru seperti yang telah dibuat oleh Inggris misalnya dengan skema diverted profit tax atau equlisation levy dari India, pemerintah telah memiliki basis yang kuat untuk memajaki sektor tersebut. 

Terlebih, beberapa waktu lalu, pemerintah juga telah menerbitkan beleid yang mempertegas status bentuk usaha tetap (BUT) dalam rezim perpajakan di Indonesia.

“Enggak dong, kalau konsensus belum ada, penerimaan pajak juga harus ada,” kata Sri Mulyani di BPK, Rabu (12/6/2019).

Sri Mulyani kemudian menyinggung diskusi yang berkembang di pertemuan G20 di Fukuoka, Jepang pekan lalu. Menurut bekas Direktur Pelaksana Bank Dunia ini, sebelum ada konsensus yang dilakukan oleh Task Force on Digital Economy (TFDE) setiap negara berhak untuk membuat suatu pendekatan yang dianggap sebagai suatu pendekatan yang adil.

Hanya saja, langkah yang dilakukan pemerintah harus memiliki basis yang cukup kuat untuk digunakan mengumpulkan pajak dari perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor ekonomi digital.

Dengan mengambil prinsip tersebut, praktis ketika otoritas pajak nantinya melakukan estimasi, angka-angkanya harus mempunyai basis yang kuat dan bisa dipertanggung jawabkan.

“Jadi mereka harus memiliki informasi-informasi yang mendukung estimasi itu baik itu dari aspek penjualan, iklan, atau informasi yang lain,” ungkapnya.

Adapun salah satu regulasi yang menjadi dasar bagi pememerintah untuk memburu pajak dari ekonomi digital adalah PMK No.35/PMK.03/2019 tentang BUT.

Ketentuan mengenai kewajiban tersebut terdapat dalam Pasal 4 ayat 3 PMK No.32/PMK.03/2019 tentang Bentuk Usaha Tetap (BUT), yang menegaskan bahwa BUT kegiatan sebagaimana dimaksud mencakup segala hal yang dilakukan untuk mendapatkan, menagih, atau memelihara penghasilan.

Artinya, meski secara fisik tidak hadir di dalam negeri, selama badan usaha tersebut memperoleh penghasilan di Indonesia tetap menjadi subyek pajak bagi Indonesia.

Terkait pemajakan ekonomi digital, pada Januari 2019 OECD / G20 Inclusive Framework BEPS telah menerbitkan Policy Note yang berisi persetujuan untuk memeriksa dan mengembangkan proposal yang lebih konkret. Proposal ini kemudian diartikulasikan pada dua pilar utama yang saling melengkapi.

Pertama, berfokus pada alokasi hak perpajakan termasuk masalah nexus dengan tiga proposal berbeda yang akan memodifikasi aturan yang ada berdasarkan konsep partisipasi pengguna atau user participation, pemasaran tidak berwujud (marketing intangibles) dan kehadiran ekonomi yang signifikan (significant economic present). 

Ketiga proposal tersebut secara praktis mengalokasikan lebih banyak pajak hak atas yurisdiksi pasar atau dengan kata lain menguntungkan negara seperti Indonesia.

Kedua mengeksplorasi Global Anti-Base Erosion Mechanism. Kegiatan ini bertujuan untuk mengatasi risiko lanjutan dari pengalihan laba kepada entitas perpajakan yang sangat rendah.

Sumber : Bisnis.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only