Biar Sama dengan Tetangga Sebelah

Kata syukur berulang kali terucap dari mulut Sanny Iskandar. Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Pengembangan Kawasan Ekonomi ini begitu bersyukur, di tengah kelesuan ekonomi dalam negeri, pemerintah berencana memangkas tarif pajak penghasilan (PPh) badan usaha.

Menurut Sanny, pelaku usaha memang membutuhkan insentif berupa pengurangan PPh badan, sehingga bisa meningkatkan daya saing Indonesia di mata investor. Saat investasi masuk, tentu roda perekonomian bisa berputar cepat. “Khususnya industri padat karya, memang sangat membutuhkan insentif fiskal tersebut,” ujar dia.

Pasalnya, aliran investasi ke industri padat karya di tanah air bisa dikatakan mandek dalam beberapa tahun terakhir. Para investor lebih memilih menanamkan dananya di negara lain yang upah pekerjanya lebih rendah, tapi keterampilannya lebih tinggi. Sebut saja, Vietnam, Myanmar, Bangladesh, Sri Lanka, serta Kamboja.

Makanya, menurut Sanny, rangsangan fiskal berupa pemotongan tarif PPh badan sangatlah dibutuhkan. Jika tidak, negara kita bakal kalah bersaing. Terlebih, negara tetangga lagi getol memangkas tarif pajak itu. Contohnya, Malaysia. Sejak 2006, negeri jiran secara bertahap menggunting tarif PPh badan, dari 28% menjadi 24%.

Sedangkan tarif PPh badan Indonesia masih anteng di posisi 25%. Rencananya, pemerintah langsung memangkas tarif pajak ini jadi 20%. Tujuannya, apalagi selain meraih investasi sekaligus meningkatkan ekspor sebanyak-banyaknya.

Direktur Jenderal Pajak Robert Pakpahan mengatakan, pemerintah masih terus mematangkan pengurangan tarif PPh badan. Saat ini, kajian sedang fokus pada besaran penurunan tarif. Namun, keputusan itu ada di tangan presiden atas persetujuan DPR. Maklum, kebijakan itu harus mengubah Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.

Yang jelas, Robert mengungkapkan, Kementerian Keuangan (Kemkeu) telah menyiapkan pasal-pasal dalam revisi UU PPh. “Tentu, kami menunggu arahan dari menteri keuangan yang akan mengumumkan aturan tersebur,” ujarnya.

Hestu Yoga Saksama, Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas Direktorat Jenderal Pajak, menambahkan, penurunan PPh badan menjadi arah kebijakan fiskal pemerintah, meningkatkan daya tarik investasi yang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dari saat ini,” katanya.

Pemerintah, Hestu menjelaskan, mengeluarkan angka pemangkasan tarif PPh badan menjadi 20% dengan mempertimbangkan kebijakan pajak negara tetangga. Saat ini, Vietnam, Thailand, dan Kamboja memberlakukan tarif PPh badan sebesar 20%. Ketiga negara ini juga memiliki rasio pajak yang mirip dengan kita. Jadi, “Kami mengarahkan ke sana,” ujarnya.

Memukul penerimaan

Memang, ada masukan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) untuk menurunkan tarif lebih rendah lagi, menjadi 17%-18% seperti Singapura. Tapi, Hestu menegaskan, karakteristik Singapura sangat berbeda dengan Indonesia. “Kan tidak mungkin orang berinvestasi membangun pabrik atau perkebunan di Singapura,” tegasnya. Kondisi geografis kedua negara juga amat jauh berbeda.

Sejatinya, Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo, menuturkan, pemerintah sudah merencanakan penurunan tarif PPh badan sejak lama. Hanya, butuh proses yang panjang lantaran harus merevisi UU PPh.

Terlebih, DPR dan pemerintah mengutamakan pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP). Padahal, revisi UU PPh masuk program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2019.

Meski begitu, Mardiasmo memastikan, Kemkeu sudah menyiapkan naskah akademis perubahan UU PPh terkait penurunan tarif pajak penghasilan perusahaan. Khususnya, Pasal 25 dan 29. Kemkeu pun masih menghitung dampak pemangkasan tarif PPh badan dalam jangka pendek, menengah, dan panjang. Terutama, efeknya terhadap penerimaan negara.

Yustinus Prastowo, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), menyatakan, pengurangan tarif PPh badan menjadi 20% akan menggerus penerimaan pajak. “Potensi kehilangan sekitar 20% dari penerimaan PPh badan saat ini,” sebut dia.

Semada, Tauhid Ahmad, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), menghitung, penurunan tarif PPh badan menjadi 20% berisiko memukul penerimaan negara, dengan potensi kehilangan penerimaan pajak bisa mencapai Rp 53,16 triliun.

Perhitungan tersebut berasal dari selisih antara proyeksi penerimaan perpajakan tahun ini sebelum dan setelah penurunan tarif berlaku. Tanpa pemangkasan tarif, terget penerimaan PPh badan sepanjang 2019 sebesar Rp 265,78 triliun. “Kalau diturunkan jadi 20%, maka penerimaannya menjadi Rp 212,63 triliun,” ujar Tauhid.

Yang perlu dicatat, tanpa ada penurunan tarif saja penerimaan tahun ini sudah tertekan. Hingga akhir Mei lalu, penerimaan pajak baru terkumpul Rp 496,6 triliun atau 31,48% dari target.

Makanya, Yustinus tak sepakat dengan rencana pemerintah menyeret turun tarif pajak PPh badan langsung ke angka 20%. Sebaiknya, pemerintah melalukannya secara bertahap. Pertama-tama, penurunan tarif cukup sampai level 22% untuk waktu dua tahun. Setelah itu, pemerintah mengevaluasi tren dan pengaruhnya ke penerimaan dan investasi. Jika positif, tarif PPh badan bisa turun lagi, bahkan langsung ke posisi 18%.

Kepatuhan meninkat

Namun pemerintah punya pandangan berbeda. Walaupun masih menghitung dampaknya, memastikan, relaksasi tarif PPh badan tidak berpengaruh terhadap penerimaan negara. Sebaliknya, penurunan tarif pajak ini justru bakal mendongkrak jumlah pembayar pajak. Dengan begiru tax ratio mengalami penumbuhan. “Selain itu, insentif pajak bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang diikuti peningkatan pendapatan negara,” tambah dia.

Hariyadi Sukamdani, Ketua Umum Apindo, pun yakin penurunan tarif PPh badan tak akan mengurangi penerimaan negara. Malah, dalam jangka menengah dan panjang, penerimaan negara bisa meningkat, seiring perkembangan dunia usaha. “Tingkat kepatuhan juga meningkat karena pengusaha lebih rela membayar pajak,” kata Hariyadi.

Sejauh ini, kontribusi PPh badan ke penerimaan pajak berkisar 15%-18%. Tahun lalu, misalnya, setoran pajak penghasilan dari korporasi sebesar Rp 230,6 triliun atau 17,5% dari total penerimaan pajak.

Saat ini, tarif PPh badan negara kita memang bukan yang tertinggi di kawasan Asia Tenggara. Tengok saja, tarif PPh badan Filipina mencapai 30%. Tarif PPh badan kita setara dengan Myanmar sebesar 25%. Sedangkan tarif di Laos dan Malaysia masing-masing 24%.

Tarif rata-rata PPh badan negara-negara anggota ASEAN sebesar 22,35%. Sementara rata-rata negara-negara anggota Organisasi untuk Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) 23,69%. Jadi, “Tarif PPh 20% sudah cukup rendah sebenarnya,” ujar Sanny.

Tapi, khuhs industri padat karyam Sanny mengusulkan, penurunan tarif PPh badan bisa lebih dalam lagi. Skema pemangkasannya juga harus berbeda dari industri biasa. Misalnya, pabrik yang mempekerjakan 20.000 orang, mendapat diskon 20% dari tarif PPh sekarang. Sedangkan yang merekrut hingga 30.000 pekerja memperoleh potongan 30%. “Kalau sampai 30%, tentu akan merangsang industri padat karya,” katanya.

Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengklaim, kementeriannya sudah menampung semua usulan pengusaha termasuk pemotongan tarif PPh badan untuk sektor padat karya. Yang terang, insentif diskon pajak ini akan diberikan bersamaan dengan peluncuran paket kebijakan pengurangan pajak diatas 100% alias super deductible tax dalam waktu dekat.

Dalam paket kebijakan itu, pemerintah bakal mengurangi PPh hingga mancapai 200% dari nilai investasi bagi investor atau perusahaan yang berinvestasi untuk pengembangan vokasional dan riset di dalam negeri. “Pemerintah juga akan keluarkan insentif PPh untuk industri padat karya. Jadi, ada tax allowance (pengurangan pajak untuk periode tertentu) untuk padat karya,” uangkap Airlangga.

Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudarajat menyambut baik pengurangan tarif PPh khususnya buat industri padat karya. Tapi, kebijakan tersebut tak serta merta menjadi jawaban yang efektif untuk menarik minat investasi di Indonesia.

Ade menilai, masih ada persoalan perpajakan maupun di luar perpajakan yang jadi penghambat arus investasi masuk ke dalam negeri. “Salah satunya adalah aturan main tentang ketenagakerjaan,” ujarnya.

Sepakat, Pieter Abdullah, Direktur Riset Center of Reformon Economics (Core) Indonesia, baranggapan, insentif PPh badan hanya menambah daya tarik, tapi belum cukup untuk menarik minat menyertai stimulus tersebut dengan berbagai kemudahan izin usaha.

Selama ini, banyak pengusaha mengeluh kebijakan di luar perpajakan yang menghambat kemudahan berusaha. Selain perizinan, hambatan yang kerap pengusaha hadapi ialah pembebasan lahan, inkonsistensi kebijakan, koordinasi pusat dengan daerah, hingga bahan baku. “Jadi, itu masalah-masalah klasik, tidak cukup dengan PPh,” tegas Pieter.

Jika berbagai hambatan usaha itu bisa diatasi pemerintah, maka aliran investasi ke dalam negeri bisa meningkatkan signifikan. Tertentu, kondisi itu bisa meminimalisir potensi penurunan penerimaan pajak akibat pengurangan tarif PPh.

Pemangkasan tarif pajak saja enggak cukup, ternyata.

Sumber : Tabloid Kontan

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only