Dua Sisi Ekonomi Digital : Tantangan dan Peluang

Geliat ekonomi digital kian tak terbendung. Indonesia pun menjadi salah satu negara di Asia yang mencatat transaksi digital gemilang. Kini, posisinya berada di peringkat ketiga setelah China dan India.

Jumlah penduduk yang besar menjadi pengungkit yang ampuh. Dari sekitar 260 juta penduduk, 170 juta di antaranya adalah pengguna internet. Ini merupakan pasar potential bagi perusahaan berbasis teknologi. Bahkan, dari total nilai transaksi digital di Asia Tenggara tersebut, sekitar 49% ada di Indonesia.

Pesatnya ekonomi digital menawarkan banyak kemudahan, mulai dari munculnya inovasi baru hingga menciptakanprofesi baru. Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Robert Pakpahan pun mengatakan, masifnya ekonomi digital mulai dari sharing economy akomodasi atau transportasi, peer to peer lending, marketplace, crypto currency. “Banyak juga profesi baru, tanpa harus keluar rumah, youtuber, selebgram, pengembangan aplikasi, ini seperti koin memiliki dua sisi,” jelasnya di acara Taxation on Digital Economy di The Ritz Carlton, Rabu (17/7).

Sejurus, Bima Laga, Ketua Bidang Pajak, Infrastruktur & Cyber Security iDea juga menyampaikan, pesatnya pertumbuhan ekonomi digital mendorong banyak pelaku-pelaku bisnis anyar. Tidak hanya itu, sebuah kampung di Jawa Timur pun berhasil menjadi sentra industri produksi alat pengiris bawang berkat gencarnya penjualan online. “Permintaan yang terus berdatangan, berhasil mengubah sebuah kampung menjadi sentra usaha,” jelasnya pada seminar yang merupakan kerja sama apik antara KONTAN dan MUC Consulting.

Adanya potensi dan peluang yang besar ini, tentu ikut melahirkan tantangan. Terutama bagi otoritas dalam menarik pajak terhadap ekonomi digital atau pajak digital. Pertama, soal mewujudkan regulasi yang adil, kompetitif, memberi kepastian hukum, memudahkan kepatuhan pajak dan menciptakan sistem perpajakan yang lebih baik.

Kedua, bagaimana Direktur Jenderal Perpajakan (DJP) memanfaatkan teknologi digital saat ini guna menciptakan sistem administrasi yang lebih terintegrasi terkait administrasi perpajakan.

Ketiga, tantangan memungut pajak perusahaan teknologi. Pasalnya, kehadiran fisik menjadi syarat utama otoritas memungut pajak. “Nophysical presence ini karakteristik utama ekonomi digital yang membuka ruang luas untuk melakukan tax planning atau avoidance,” jelas Robert.

Usulan skema pemungutan pajak

Tak hanya Indonesia, kondisi ini juga menjadi tantangan bagi sebagian besar otoritas pajak di dunia. Dalam pertemuan negara-negara G20, telah memberi mandat OECD (Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi) untuk mencari solusi panjang atas persoalan ini.

Direktur Perpajakan Internasional Ditjen Pajak (DJP) John Hutagaol mengatakan, sudah ada titik terang terkait konsensus global. Tiga skema pungutan telah muncul sejak pembahasan OECD pada Mei 2019.

Ketiga usulan tersebut adalah skema tax participation dengan menghitung seberapa banyak pengguna suatu layanan digital. Kedua, skema marketing intangible. Ketiga, usulan pungutan berdasarkan tingkat kemanfaatan ekonomi atau significant economic presence. Inilah yang akan menjadi solusi global dalam menghadapi tantangan pemajakan ekonomi digital.

Sumber : Harian Kontan

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only