Gap Antara Stabilitas Fiskal dan Sektor Riil

Kemampuan pemerintah dalam mengelola keijakan fiskal tidak bisa dipungkiri telah menciptakan stabilitas ekonomi yang baik dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini terlihat dari besarnya tekanan ekonomi.  Baik yang datang dari globab maupun domestik. Pemerintah cukup ketat menjaga kinerja kebijakan fiskal agar tetap stabil dan terkendali sehingga tidak menimbulkan gejolak dalam perekonomian.

Secara regulasi pemerintah memiliki “pagar” yang kokoh daam undang-undang (UU) No.17 tahun 2003 mengenai Keuangan Negara, yaitu bebas defisit anggaran yang tidak boleh melebihi batas 3%, serta batas rasio utang terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) yang tidak boleh melebihi ambang 60%.

beberapa indikator makro Siska menunjukkan tren membaik,diantaranya defisit anggaran terus menurun dan pernah mencapai angka tertinggi sekitar -2,59% terhadap PDB pada tahun 2015, kemudian terus menurun hingga mencapai -1,76% terhadap PDB pada tahun 2018.

begitu pula dengan keseimbangan primer yang pernah mencapai -1,24% terhadap PDB pada tahun 2015, kemudian terus menurun hingga mencapai -0,01% terhadap PDB pada tahun 2018, bahkan bisa mencapai positif pada tahun 2019. membaiknya defisit dan keseimbangan primer, tidak bisa dilepaskan dari kebijakan relokasi subsidi bahan bakar minyak (BBM) sejak tahun 2016.

membaiknya kinerja makro fiskal juga terlihat dalam beberapa indikator lainnya, seperti tergambar dalam rasio pajak (tax ratio) yang menunjukkan tren meningkat hingga mencapai 11,6% terhadap PDB,serta rasio utang yang masih terkendali pada kisaran 29% hingga 30% dari PDB hingga akhir tahun 2018.

Hanya saja, konsistensi pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan (Kemkeu) dalam menjaga stabilitas fiskal tidak diikuti oleh kinerja kementerian teknis lainnya dalam hal mendorong pertumbuhan sektor-sektor yang manjadi penggeran pertumbuhan ekonomi.

Alhasil, Stabilitas fiskal yang tergambar dalam indikator makro fiskal tidak berdampak terhadap kinerja perekonomin, khususnya sektor pertanian, dan manufaktur yang banyak menyerap tenaga kerja. Selama ini ekonomi nasional lebih banyak ditopang oleh sektor yang berbasi padat modal ketimbang padat karya.

Telah tejadi gap antara stabilitas fiskal dan pertumbuhan sektor riil yang membuat perekonomian Indonesia menhadapi dilema tersendiri. Jebakan pertumbuhan ekonomi 5% telah menjadi beban tersendiri bagi perekomomian nasional kedepan.

Bagaimana tidak, pertumbuhan ekonomi 5% relatif baik ditengah kondisi ekonomi global yang mengalami perlambatan, tetapi tidak cukup kuat untuk menghadapi ekonomi masa depan. Harus diingat periode bonus demografi yang kita miliki akan berakhir pada tahun 2036 atau kurang lebih 17 tahun lagi dari sekarang. Setelah itu rasio penduduk tidak produkti kembali membesar.

Pertumbuhan ekonomi masih ditopang oleh sektor jasa dan padat modal. Bahkan, beberapa sektor jasa mencatata pertumbuhan PDB. Sebaliknya, sektor penghasil barang (sektor riil) justru mencatatkan pertumbuhan yang lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi.

Sementara dari sisi pengeluaran, pertumbuhana konsumsi rumah tangga masih menjadi andalan. Kontribusi konsumsi rumah tangga meninggkat signifikan dari 4,49% pada 2017 menjad 5,05% di sepanjang 2018.

Kinerja ekspor terus merosot, ekspor Indonesia hanya tumuh 6,7% pada tahun 2018. Angka ini jauh di bawah target yang dipatok untuk pertumbuhan ekspor tahun 2018 yakni sebesar 11%. Neraca Perdagangan Indonesia tahun 2018 masih mengalami defisit sebesar US$ 8,6 miliar.

Dengan melihat perkembangan tersebut, secara kumulatif defisit neraca transaksi berjalan atau Current Account Defisit (CAD), masih relatif besar dan secara keseluruhan sebesar US$ 31,1 miliaratau 2,98% dari PDB. Bahkan, sampai dengan bulan April 2019, neraca perdagangan masih menunjukkan defisit yang cukup tinggi sebesar US$ 2,5 miliar.

Begitu pula dengan sektor industri. Kontribusi industri pengolahan non-migas terhadap PDB mengalami tren penurunan dalam dua tahun beruntun pada 2014 – 2018. Kontribusi sektor industri terhadap PDB mencapai 17,89% dan pertumbuhan industri mencapai 5,61% pada tahun 2014.

Sedangkan pada 2018 kontribusI sektor industri terhadap PDB hanya mencapai 17,69% dan kontribusi sektor industri terhadap PDB turun menjadi 4,77%. Kondisi inilah yang menjadi indikasí bahwa Indonesia sedang mengalami deindustrialisasi dalam kurun waktu empat. tahun terakhir ini.

Porsi sektor manufaktur dalam PDB juga kian menipis dari tahun ke tahun. Indonesia pernah masuk sebagai negara industri baru pada zaman orde baru, karena porsi manufaktur dalam PDB pernah mencapai 30%.

namun, angka kontribusinya terus terkikis menjadi tak lebih dari 20% dalam beberapa tahun terakhir. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada 2014 kontribusinya sebesar 21,08%, tahun 2015 turun menjadi 20,99%,pada 2016 kembali mengalami penurunar 20,51%, tahun 2017 terus merosot 20,16% dan 2018 sebesar turun menjadi 19,66%. Kondisi ekonomi Indonesia sepanjang empat tahun terakhir sudah cukup untuk mengatakan bahwa terjadi gap antara stabilitas fiskal dengan pertumbuhan sektor riil. Fokus pemerintah masih sebatas menjaga stabilitas sektor fiskal, menjaga stabilitas indikator makro fiskal yang ketat, tetapi di- sisi lain belum mampu mendorong pertumbuhan ekonomi lebih baik lagi.

Peran Menteri Keuangan dalam menjaga stabilitas makro fiskal ssudah berjalan dengan baik, tinggal bagaimana mendorong kinerja kementerian teknis bidang ekonomi , khususnya sektor industri, perdagangan, pertanian, kelauatan, dan perikanan agar dapat tumbuh dan berkembang. Untuk itu, diperlkan kordinasi lintas sektor yang kuat antara kementerian, dibawah Menteri koordinator Bidang Perekonomian. Peran kebijakan pemerintah tidak hana sekedar menjaga defisit aggaran agar tidak melewati angka 3%, tetapi juga memastikan belanja pemerintah berkualtas, sehingga bisa mendorong pertumbuhan ekoonomi. Begitu pula deisit perdagangan bisa diterima sebagai syarat untuk mendorong pertumbuhan ekspor lebih tinggi.

Pemerintah harus memastikan bahwa tingginya impor bahan baku dan barang modal bisa sejalan dengan pertumbuhan indrustri manufaktur. Pemerintah tinggal mengawasi, pembiayaan defisit transaksi berjalan tidak perlu ada kekhawatiran.

Selain itu, untuk mengurangi ketergantungan impor yang besar, pemerintah harus bisa mendatangkan investor yang bergerak pada sektor industri bahan baku dan barang modal yang memiliki orientasi terhadap ekspor, sehingga industri manufaktur bisa tumbuh lebih cepat

Sumber : Harian Kontan

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only