Saatnya Menimba di Sumur Baru

Otoritas pajak perlu ‘menimba di sumur baru’ untuk meningkatkan rasio pajak. Alhasil, ketergantungan pada satu sektor tertentu dapat dihindari.

Strategi ini perlu dilakukan mengingat sektor manufaktur yang menjadi sokoguru penerimaan pajak, justru dari sisi pertumbuhan maupun kontribusinya ke produk domestik bruto (PDB) terus menunjukan pelemahan.

Di sisi lain, komoditas yang menjadi andalan untuk menggerakkan ekonomi justru memiliki kontribusi yang masih kecil.

“Kalau lihat kontribusinya, industri manufaktur merupakan yang paling besar. Maka kalau industri manufaktur mengalami tekanan, akan terasa sekali di dalam penerimaan kita,” ungkap Menteri Keuangan Sri Mulyani Ind rawati di Jakarta, pekan lalu.

Laporan terbaru Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) bertajuk Revenue Statistics in Asian and Pacific Economies 2019 yang diterbitkan pekan lalu menjadi indikasi awal untuk mengurai ketidakelastisan antara pertumbuhan ekonomi dengan penerimaan pajak.

Dengan angka 11,5%, dihitung dari basis data 2017 rasio pajak Indonesia menempati posisi paling buncit dibandingkan dengan 17 negara kawasan Asia Pasifik.

Jika menilik laporan OECD, rendahnya rasio pajak Indonesia tak bisa dipisahkan dari kontribusi sektor-sektor utama ekonomi ke penerimaan pajak yang masih rendah.

Sektor pertanian masih begitu dominan dan tak banyak berkontribusi bagi penerimaan pajak. Sebagai contoh, pada 2018 size ekonomi sektor pertanian di PDB sebesar 12,81% atau Rp1.900,4 triliun. Namun kontribusinya ke penerimaan pajak hanya sebesar Rp20,69 triliun atau 1,7% dari realisasi penerimaan pajak 2018.

Rendahnya penerimaan pajak dari sektor ini merupakan implikasi dari pembebasan sejumlah komoditas pertanian dari pengenaan pajak, sebagai konsekuensi dari menjaga daya saing sektor tersebut.

Selain pertanian, besarnya porsi sektor informal dan tingginya baseline pengusaha kena pajak (PKP) sebesar Rp4,8 miliar juga menjadi pekerjaan rumah.

Pasalnya informal merupakan sektor yang hard to tax atau sulit dipajaki dan sebagian belum masuk dalam sistem administrasi perpajakan pemerintah. Kalaupun telah masuk dalam sistem, karena peredaran bruto nya masih di bawah Rp4,8 miliar, tarif pajak yang dikenakan hanya 0,5%, jauh lebih rendah dibandingkan dengan skema korporasi umumnya yang dikenakan tarif 25%.

Jika dibandingkan negara lain, dengan nilai sebesar Rp4,8 miliar, baseline PKP Indonesia tercatat sebesar Rp4,8 miliar, lebih tinggi dibandingkan dengan Malaysia, Thailand, Filipina, maupun Vietnam.

Persoalan lain yang menjadi indikasi dari rendahnya rasio pajak adalah pengenaan skema final kepada sektor-sektor tertentu, salah satunya konstruksi dan real estat.

Pengenaan tarif final bagi konstruksi diatur dalam PP No.51/2008 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi yang membagi tarif fi nal bagi jasa konstruksi dari 2%, 3%, 4% dan 6%.

Sementara itu, untuk real estat mekanisme tarifnya diatur dalam PP No.71/2008 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan Atau Bangunan yang telah diubah ke dalam PP No.34/2016.

Dengan skema final yang dikenakan kepada sektor tersebut, kontribusi konstruksi dan real estat ke penerimaan pajak pada 2018 hanya Rp83,5 triliun atau 6,9%. Padahal ukuran ekonomi di PDB mencapai 13,2% atau hampir Rp2.000 triliun.

RUMUSAN KEBIJAKAN

Di tengah persoalan itu, pemerintah sebenarnya telah menyiapkan berbagai instrumen untuk menaikan kinerja pemungutan pajak. Reformasi pajak digalakkan, meskipun dari aspek regulasi, belum ada satupun perubahan UU yang berhasil diselesaikan selama lima tahun terakhir.

Revisi UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang sempat dibahas beberapa kali di DPR tak jelas ujungnya. Revisi UU Pajak Penghasilan (PPh) sampai periode pertama Joko Widodo, tak kunjung masuk ke prolegnas.

Belakangan, isu mengenai revisi UU PPh hanya terbingkai pada penurunan tarif PPh korporasi dari 25% menjadi 20%. Padahal persoalan penghasilan tak hanya fokus kepada para pelaku usaha. Ada substansi lain misalnya perkembangan subyek dan obyek pajak, perkembangan ekonomi digital, struktur penerimaan pajak yang masih timpang, hingga persoalan pemungutan pajak yang lebih berkeadilan.

Yustinus Prastowo dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) menyebut, insentif yang diberikan harus dihitung dan diukur, dievaluasi, seberapa besar dampaknya pada perekonomian, dan harus ada trade off.

Bawono Kristiaji, Partner DDTC Fiskal Research, menegaskan adanya perubahan situasi ekonomi misalnya model bisnis digital, sumber aliran penghasilan yang semakin bervariasi, skema penghindaran pajak yang semakin kompleks memerlukan perubahan UU. “Reformasi pajak secara menyeluruh harus dilakukan demi meningkatkan tax ratio dan menjaga stabilitas fiskal,” tegasnya.

Ekonom Indef Enny Sri Hartati meminta pemerintah untuk menengok kembali konsep dasar pemungutan pajak, yakni harus menjadi alat redistribusi pendapatan.

Artinya, yang kaya bayar pajak banyak, yang kurang berdaya harus dilindungi, jika perlu dibikin berdaya. Jangan sebaliknya.

Sumber : Harian Bisnis

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only