Kalah di Pengadilan, Penerimaan PPh Pasal 26 Tergerus

JAKARTA — Kekalahan otoritas pajak di tingkat pengadilan perlu menjadi perhatian karena turut menekan penerimaan. Sampai semester 1/2019 misalnya, kekalahan otoritas pajak ikut andil dalam menggerus penerimaan PPh pasal 26 yang minus 11,5%.

Berdasarkan data yang dihimpun Bisnis, selama 2015–Juli 2019 jumlah sengketa PPh 26 yang masuk di tingkat peninjuan kembali (PK) dan telah diputus oleh Mahkamah Agung (MA) mencapai 53 perkara.

Putusan tersebut sebagian besar melibatkan korporasi besar dan sebagain menempatkan otoritas pajak sebagai pihak yang kalah.

“Awal 2019 terdapat pengembalian PPh pasal 26 yang cukup besar karena adanya putusan pengadilan yang memenangkan wajib pajak, terutama kasus 2015 sehingga meningkatkan restitusi PPh 26 hingga dua kali lipat,” kata Dirjen Pajak Robert Pakpahan, Selasa (13/8).

Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama menambahkan, meningkatnya restitusi akibat kekalahan di pengadilan merupakan konsekuensi yang harus diterima oleh otoritas pajak.

Dia mengklaim kekalahan tersebut hanya terjadi dalam beberapa kasus saja dan bukan hal yang akan berulang. Dengan demikian, kekalahan di pengadilan ini diklaim tidak akan berimplikasi ke penerimaan pajak jangka panjang.

“Ini konsekuensi putusan pengadilan pajak yang harus kami laksanakan,” tegasnya. Dalam catatan Bisnis, kabar mengenai kekalahan otoritas pajak di pengadilan pajak bukan cerita baru. Selama 2013–2018 jumlah sengketa baik terbanding maupun tergugat yang masuk ke pengadilan pajak sebanyak 63.066 berkas.

Dari jumlah tersebut, 59.352 perkara telah diselesaikan, dengan jumlah sengketa yang dikabulkan seluruhnya sebanyak 26.971 perkara dan dikabulkan sebagian 7.775 perkara.

Otoritas pajak mengantisipasi berulangnya kekalahan dengan membenahi pemeriksaan untuk meminimalisasi pekara. Menurut Yoga, kualitas pemeriksaan akan menjadi salah satu fokus utama pembenahan di hulu pemeriksaan tersebut.

“Di sisi lain perbaikan-perbaikan di regulasi yang meningkatkan kepastian hukum sehingga mengurangi potensi dispute,” ungkapnya.

Per semester 1/2019, pertumbuhan PPh Pasal 26 tercatat minus 11,5% atau lebih rendah dibandingkan dengan per tumbuhan 2018 yang mencapai 11%.

Anjloknya setoran ini disebabkan karena pada awal 2019 terdapat pengembalian PPh Pasal 26 yang cukup besar sejalan dengan adanya putusan pengadilan yang memenangkan wajib pajak (kasus tahun 2015).

MITIGASI LEMAH

Direktur Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menyebut, lonjakan sengketa dan kekalahan Ditjen Pajak ini menunjukan lemahnya proses mitigasi sengketa di Ditjen Pajak. Padahal dengan kompleksitas perpajakan saat ini, seharusnya ada kebijakan baru yang bisa mengatasi persoalan tersebut.

Mitigasi sengketa, menurutnya bisa dilakukan dengan memperkuat quality assurance dan mekanisme keberatan. Sehingga yang masuk ke pengadilan pajak adalah perkara yang tidak terkait administratif, tetapi murni sengketa yuridis. “Harusnya memang diperkuat di Ditjen Pajak, perlu keberanian dan fairness,” ujar Prastowo.

Bagi Prastowo, sengketa pajak berhubungan dengan kepercayaan wajib pajak terkait konsistensi fiskus dalam menerjemahkan ketentuan terkait perpajakan. Terkait hal itu, pemerintah disarankan belajar dari negara lain yang memiliki sistem administrasi perpajakan lebih baik.

Sumber : Harian Bisnis Indonesia

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only