e-Commerce mulai Menghantui Bisnis Dalam negeri

JAKARTA – Beberapa sektor industri dalam negeri sedang menghadapi tantangan yang berat. Terutama, dalam menghadapi serbuan barang impor yang kian hari kian mudah masuk ke Indonesia.

Ketua Asosiasi Industri Besi dan Baja Nasional (IISIA) Silmy Karim mengatakan, pengawasan tata niaga impor seperti verifikasi surveyor di pelabuhan diperlukan untuk memastikan kesesuaian produk baja impor dengan izin yang dikeluarkan. Sebelumnya, Bank Dunia menuliskan dalam laporannya bahwa inspeksi baja impor menghambat pertumbuhan dan investasi di Indonesia, sebab prosesnya terlalu lama.

Menurut Silmy, jika izin importasi itu dihilangkan maka industri dalam negerilah yang terkena dampaknya.

“Impor produk baja yang masuk ke Indonesia menjadi tidak terkontrol dan tidak terpelihara keseimbangannya antara supply dan demand,” kata Silmy dalam keterangannya, Sabtu (28/9). Di samping itu, Standar Nasional Indonesia (SNI) yang sudah diterapkan saat ini tetap perlu ditaati. Sebab jika SNI itu diperlonggar seperti usulan Bank Dunia, maka Indonesia akan semakin dibanjiri barang impor.

Dampak lain yang ditakutkan adalah bangkrutnya perusahaan baja dalam negeri jika tidak ada perlindungan dari pemerintah dalam upaya menekan impor.

“Di antaranya pemutusan hubungan kerja (PHK) massal, mempercepat deindustrialisasi, membesarnya defisit neraca perdagangan, menurunnya penerimaan pajak dan menurunnya minat investasi di sektor industri baja,” imbuh Silmy.

Rata-rata impor besi dan baja tahun lalu mencapai 7,6 juta ton. Impor komoditas dan barang berbahan baja ini merupakan yang terbesar ke-3 dari total impor Indonesia. Jumlahnya sekitar 6,45 persen atau senilai USD 10,25 miliar.

Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Tutum Rahanta menambahkan, industri ritel dalam negeri pun juga sedang dalam keadaan sulit. Besarnya impor barang dari luar negeri karena pertumbuhan e-commerce membuat barang dagangan dalam negeri kurang dilirik.

Peritel juga berhadapan dengan pelaku bisnis jasa titipan (jastip) yang banyak menawarkan jasanya melalui media sosial. Padahal di dalam negeri, para peritel patuh membayar pajak, menginvestasikan toko dan jaringan, serta patuh pada standar kualitas barang yang dijual.

Sementara pelaku jastip banyak yang tidak patuh pada aturan. Mereka juga menghindari membayar bea masuk dengan cara mengakali berbelanja lewat perseorangan setelah menggelar pre order.

“Kami juga jual barang impor, tapi kan taat pajak. Ya akhirnya barang impor jastip itu harga barangnya lebih murah karena tidak taat aturan pajak impor,” ujarnya.

Tutum pun berharap pemerintah serius menindak pelaku jastip yang nakal. Hal ini untuk menjaga keberlangsungan industry ritel dalam negeri di tengah perubahan gaya hidup dan konsumsi masyarakat yang semakin bebas untuk mendapatkan barang dari luar negeri.

Sumber : Batampos.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only