Jurus Jegal Dana Repatriasi Kabur ke Luar Negeri

Dana repatriasi program pengampunan pajak alias tax amnesty senilai Rp141 triliun berpotensi keluar Indonesia dalam beberapa waktu ke depan. Pasalnya, masa repatriasi atau penahanan dana di dalam negeri (holding period) sudah mulai berakhir.

Berdasarkan ketentuan program tax amnesty, wajib pajak yang merepatriasi dananya harus menempatkan dananya di Indonesia selama tiga tahun sejak program berjalan. Program periode pertama berlangsung pada Juli-September 2016, gelombang kedua pada Oktober-Desember 2016, dan yang terakhir pada Januari-Maret 2017.

Artinya, per bulan ini saja, dana repatriasi yang ditempatkan di berbagai instrumen investasi di dalam negeri sudah bisa ditarik kembali oleh wajib pajak. Dalam hal ini, wajib pajak bisa memindahkan dana itu ke instrumen investasi lain di Tanah Air hingga melarikannya lagi ke luar negeri.

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah Redjalam melihat potensi kaburnya dana repatriasi tax amnesty dari dalam negeri sejatinya terbuka lebar. Sebab, dana tersebut rentan terpengaruh iklim investasi yang tidak kondusif.

Iklim investasi, sambung ia, biasanya terpengaruh oleh sejumlah indikator makro ekonomi suatu negara, misalnya pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan lainnya. Selain itu, juga terpengaruh peristiwa-peristiwa internal, seperti sikap pasar dan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah.

“Apalagi ketika pemerintah tidak punya program yang menarik sebagai wadah penempatan dana-dana tersebut,” ungkap Piter kepada CNNIndonesia.com, Selasa (8/10).

Untuk itu, kata Piter, bila pemerintah tidak ingin dana repatriasi ‘kabur’ ke luar negeri lagi seperti sebelum tax amnesty berjalan, pemerintah perlu memperhatikan iklim dan instrumen investasi bagi wajib pajak. Khusus instrumen investasi, pemerintah sejatinya bisa menawarkan beberapa instrumen yang sudah ada.

“Misalnya, skema konsesi terbatas untuk proyek-proyek infrastruktur,” ucapnya.

Senada, Pengamat Perpajakan dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo juga melihat peluang dana repatriasi pergi dari dalam negeri cukup besar. Utamanya, karena pendalaman pasar keuangan belum maksimal.

Hal ini membuat instrumen investasi yang ada di dalam negeri kadang kala masih kurang mampu menarik pemilik dana. “Financial market Indonesia masih dangkal, memang dari dulu tidak dirancang dengan baik. Meski Indonesia secara umum menarik sebenarnya, tapi uncertainty (ketidakpastian) tinggi,” ujarnya.

Namun, pemerintah tidak boleh tinggal diam terhadap potensi keluarnya dana repatriasi tax amnesty. Pasalnya, bila dana itu keluar secara bersamaan dan dalam jumlah yang cukup signifikan, maka akan menimbulkan efek bagi perekonomian nasional.

Pertama, Indonesia akan kehilangan modal yang sebenarnya bisa digunakan untuk pembangunan sekaligus melangsungkan pendalaman pasar keuangan. Meski, dana repatriasi yang terparkir saat ini juga tidak cukup besar, ‘hanya’ Rp141 triliun.

Kedua, keluarnya dana repatriasi ke luar negeri bisa menimbulkan aliran modal keluar (capital outflow) yang dapat memunculkan sentimen negatif bagi calon investor.

“Masalahnya, sehari ada dana keluar Rp25 triliun saja itu sudah besar banget, apalagi kalau turut mempengaruhi persepsi investor dan pasar global,” tuturnya.

Untuk itu, pemerintah perlu mengeluarkan jurus sesegera mungkin guna ‘menjegal’ dana repatriasi ke luar negeri. Selain menjaga iklim dan menciptakan instrumen investasi yang beragam serta menarik seperti yang sudah dikatakan Piter, pemerintah juga perlu menambahnya dengan kepastian hukum.

Tujuannya, agar rasa percaya investor bertambah untuk tetap memarkirkan dananya di dalam negeri. Selain itu, tak ada salahnya pula bila pemerintah memberi bonus berupa pengurangan pungutan pajak atas instrumen investasi tertentu.

Langkah ini bisa meniru kebijakan yang sebelumnya sudah pernah diambil, yaitu pemangkasan pungutan Pajak Penghasilan (PPh) atas bunga surat utang atau obligasi dari semula sebesar 15 persen dan 20 persen menjadi 5 persen dan 10 persen. Menurutnya, cara ini setidaknya bisa menambah tajam daya tarik penempatan dana repatriasi di instrumen investasi dalam negeri.

Sekalipun, kebijakan ini akan menipiskan kantong penerimaan pajak pemerintah pusat. Terlebih, di tengah perlambatan ekonomi dan ketidakpastian saat ini.

“Tapi saat ini yang lebih penting adalah mendorong perekonomian tumbuh dan menarik investasi baru. Jadi mengorbankan pajak untuk itu masih make sense (masuk akal),” terangnya.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan Hadiyanto meyakini bahwa dana repatriasi wajib pajak tax amnesty tak akan keluar begitu saja dalam kurun waktu bersamaan meski holding period akan berakhir. Alasannya, Indonesia dirasa masih cukup menarik bagi pemilik dana repatriasi untuk memarkirkan dananya di dalam negeri.

Apalagi, kondisi ekonomi global sedang penuh ketidakpastian, baik dari sisi perdagangan hingga sentimen konflik geopolitik. Belum lagi, ada isu perlambatan ekonomi dunia dan beberapa negara tertentu.

“Kami yakin yang sudah masuk akan stay (tinggal) dan berinvestasi di Indonesia. Kami optimistis (dana repatriasi tidak keluar),” ucap Hadiyanto.

Selain karena alasan yang bersinggungan dengan kondisi ekonomi global, Hadiyanto juga melihat ada daya tarik lain di dalam negeri. Misalnya, iklim investasi yang sudah membaik.

“Pemerintah terus menggalakkan iklim investasi supaya lebih baik dari waktu ke waktu melalui berbagai kebijakan, fasilitas percepat perizinan, dan shifting melalui OSS dan sebagai macam,” pungkasnya.

Sumber : Cnnindonesia.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only