Mendorong Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi telah menjadi mesin utama pengentasan kemiskinan di dunia. Namun, di banyak negara, terutama yang bertumpu pada ekonomi berbasis sumber daya, manfaat pertumbuhan tidak menyebar dalam membantu meningkatkan rata-rata pendapatan. Selain itu, tidak meningkatkan pendapatan rata-rata atau bisa dikatakan hanya mengangkat 40% termiskin dari populasi.

World Bank pun berpendapat serupa dalam Annual Report 2019Ending Poverty, Investing in Opportunity mengenai pertumbuhan global yang melambat. Median pertumbuhan pendapatan berjalan lamban pada sebagian besar negara di dunia dan terlihat berefek ekstrim menurun di banyak negara miskin. Pada negara-negara berpenghasilan menengah, pertumbuhan yang lebih lambat mengikis standar hidup kelas menengah. Hal ini pun akan menambah tantangan yang dihadapi hingga tahun 2030.

Global Outlook pun menjadi lebih rentan dan tidak menentu. Pertumbuhan global diproyeksikan melambat hingga 2,9% pada tahun 2019 dan 3% pada 2020. Hal ini merupakan tingkat pertumbuhan tahunan terendah sejak krisis keuangan, dengan risiko adanya penurunan yang berkelanjutan.

Pertumbuhan pun telah direvisi lebih rendah untuk sebagian besar ekonomi negara-negara G20 pada tahun 2019 dan 2020, dengan catatan penting bahwa ada penurunan produktivitas dan insentif untuk investasi (OECD Economic Outlook, Interim Report September 2019).

Pertumbuhan di Tiongkok pun diharapkan menjadi moderat secara bertahap, dengan adanya kemungkinan penurunan tajam atas semakin lemahnya permintaan impor yang intensif. OECD pun masih berpendapat bahwa kebijakan moneter seharusnya tetap mengakomodasi tinggi ekonomi lanjutan. Namun, keefektifan dalam mengakomodasikan kebijakan moneter dapat ditingkatkan jika dilengkapi dengan kebijakan fiskal dan dukungan kebijakan yang struktural.

Perkembangan ekonomi pun harus didorong dengan perbaikan di segala aspek. Sejak tahun 2010, lebih dari 55 negara telah membuat komitmen untuk inklusi keuangan, dan lebih dari 60 negara telah meluncurkan atau sedang mengembangkan strategi nasional. Negara-negara ini telah mengambil pendekatan strategis dan mengembangkan strategi inklusi keuangan nasional yang menyatukan regulator keuangan, telekomunikasi, kompetisi dan Kementerian Pendidikan.

Penelitian The World Bank Group menunjukkan bahwa ketika negaranegara melembagakan strategi inklusi keuangan nasional, mereka meningkatkan langkah dan dampak reformasi (Financial Inclusion, 2019).

Proyeksi Ekonomi Indonesia

Bagi Indonesia kondisi pelemahan pertumbuhan mitra dagang utama, penurunan harga komoditas global seiring perlambatan sisi permintaan, dan kekhawatiran di pasar keuangan merupakan risiko yang harus dihadapi oleh ekonomi nasional. Untuk mengantisipasi risiko tersebut, diperlukan penguatan fundamental dan stabilitas ekonomi sebagai upaya penguatan landasan pertumbuhan ekonomi ke depan. Tingkat inflasi yang terkendali dan stabilitas nilai tukar rupiah yang terjaga diyakini akan menjaga tingkat konsumsi masyarakat. Penguatan infrastruktur yang telah dilakukan juga akan mendorong investasi untuk menopang pertumbuhan ekonomi (APBN Kita, September 2019).

Menelaah langkah lanjutan, sektor perpajakan diberikan dukungan penuh dari pemerintah untuk meningkatkan daya saing. Pemberian insentif super deduction (pengurangan pajak PPh Badan) sebagai bentuk dukungan bagi penyelenggaraan kegiatan vokasi dan penelitian dan pengembangan, serta insentif investment allowance (fasilitas pajak dalam bentuk pengurangan penghasilan kena pajak) merupakan bentuk dukungan terhadap industri padat karya. Sedangkan implementasi regulasi pengurangan PPh (tax holiday) diberlakukan untuk menumbuhkan investasi domestik.

Selain itu, kebijakan kepabeanan dan cukai berperan dalam mendukung percepatan pelayanan prosedural ekspor dan impor, sehingga mendorong kemudahan berbisnis dan menurunkan waktu tunggu bongkar muat (dwelling time).

Selain itu, pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) merupakan salah satu kebijakan strategis untuk mendorong pertumbuhan ekonomi regional di Indonesia. Hal ini pun didorong oleh banyak kisah sukses pengembangan KEK di berbagai negara, terutama Tiongkok. Indonesia mulai menerapkan strategi pembentukan KEK ini pada tahun 1970-an dengan menjadikan daerah Batam, Bintan dan Karimun sebagai percontohan.

Sebagai alat kebijakan, pembentukan zona ekonomi khusus menjadi perhatian bagi beberapa negara. Zona ekonomi khusus dibuat di Irlandia pada tahun 1959 dan di Tiongkok pada tahun 1979.

Dalam perkembangannya, kebijakan zona ini telah dibentuk di lebih dari 130 negara di dunia (sebagian besar di negara berkembang). Perkembangan dari zona ekonomi khusus ini telah berkontribusi pada perekonomian suatu negara terutama dalam hal perdagangan. Zona ekonomi khusus telah memfasilitasi ekspansi kapital global yang berasal dari negara maju. (Shanti Darmastuti, Afrimadona, Andi Kurniawan, 2018).

Keberadaan KEK pun diharapkan dapat meningkatkan penanaman modal melalui penyiapan kawasan yang memiliki keunggulan geo ekonomi dan geo strategis. Optimalisasi kegiatan industri, ekspor, dan kegiatan ekonomi pun diharapkan dapat juga menghasilkan produk dengan nilai ekonomi tinggi.

Bahkan seharusnya juga mampu mewujudkan perkembangan daerah yang dapat menciptakan terobosan pengembangan kawasan pertumbuhan ekonomi. Terutama untuk sektor pariwisata dan perdagangan yang dapat terintegrasi, serta menciptakan lapangan pekerjaan.

Peran BUMD

Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) seharusnya memiliki andil besar dalam pengelolaan KEK. Peran utama BUMD sebagai administrator KEK dan salah satu sumber pendapatan asli daerah (PAD) di daerah, menyiratkan adanya wewenang yang harus sejalan dengan pemerintah pusat yang pastinya dituntut agar lebih profesional dan lebih efisien dalam menjalankan tugas serta fungsinya. Fungsi lain sebagai birokrasi penghubung dengan pemerintah daerah, membuat BUMD menjadi sosok yang penting.

Menilik kesuksesan yang dicapai oleh Tiongkok dalam mengembangkan KEK, tidak terlepas dari beberapa langkah yang diambil negara ini, seperti komitmen yang kuat dari pimpinan, kebijakan preferensial dan otonomi kelembagaan yang luas, serta dukungan kuat dan partisipasi proaktif pemerintah, terutama di bidang barang publik. Selain itu, adanya kemitraan publikswasta, investasi asing langsung dan investasi yang berasal dari diaspora Tiongkok, serta rantai nilai bisnis maupun jejaring sosial yang secara kontinu dilakukan dengan baik (Zeng, 2012:2).

Indonesia sebenarnya mempunyai potensi untuk dapat mengembangkan KEK dengan optimal. Namun, diperlukan perbaikan-perbaikan di dalam pengelolaannya. Laporan hasil studi Biro Analisa Keuangan Daerah Depkeu tentang Analisis Kinerja BUMN Non PDAM (1997) sudah memaparkan berbagai permasalahan yang dihadapi BUMD.

Antara lain adalah lemahnya kemampuan manajemen perusahaan, lemahnya kemampuan modal usaha, serta kondisi mesin dan peralatan yang sudah tua atau ketinggalan dibandingkan usaha lain yang sejenis.

Lalu, lemahnya kemampuan pelayanan dan pemasaran sehingga sulit bersaing. Selain itu, kurang adanya koordinasi antar-BUMD khususnya dalam kaitannya dengan industri hulu maupun hilir, hingga besarnya beban administrasi, akibat relatif besarnya jumlah pegawai dengan kualitas yang rendah membuat permasalahan menjadi semakin kompleks.

Sebagai contoh bahasan, Kawasan Ekonomi Khusus Sorong ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2016 sebagai Kawasan Ekonomi Khusus pertama di Papua. Penetapan KEK Sorong diharapkan dapat menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru di Indonesia timur yang turut sejalan dengan salah satu prinsip Nawacita, yakni membangun Indonesia dari pinggiran. KEK Sorong yang terletak di Selat Sele bisa memberikan keunggulan geo ekonomi, yaitu potensi di sektor perikanan dan perhubungan laut. Apalagi lokasinya yang sangat strategis untuk pengembangan industri logistik, agro industri, serta pertambangan.

Berdasarkan potensi yang dimiliki, KEK Sorong dikembangkan dengan basis kegiatan industri galangan kapal, agro industri, industri pertambangan dan logistik. KEK Sorong diperkirakan akan menarik investasi sebesar Rp 32,2 triliun hingga tahun 2025 (kek. go.id).

Potensi-potensi inilah yang mesti dikelola oleh BUMD sebagai administrator utama. Selanjutnya memang benar bahwa pengembangan zona khusus ini dirancang untuk menarik investasi asing dan modal asing dengan mempromosikan keunggulan komparatif Indonesia. Namun, kembali lagi administrasi dalam hal pendataan dan kepatuhan BUMD menjadi faktor yang tidak mungkin diabaikan.

Kepatuhan Perpajakan Optimal

Dalam hal kepatuhan kewajiban perpajakan, BUMD diharapkan menjadi role model bagi perusahaanperusahaan asing yang berada di lingkup KEK. Tak menutup pula bahwa BUMD selaku fasilitator, menjadi jembatan penghubung dengan Kementerian Keuangan maupun Otoritas Jasa Keuangan dalam mengawasi setiap investasi yang ditanam sebagai realisasi dari pemberian insentif fiskal yang telah diberikan.

Dalam hal pemberian insentif pajak yang ditawarkan oleh pemerintah daerah kepada investor asing, pemerintah pun tidak ingin mendapatkan hal yang mubazir jika melihat potensi yang besar tersebut. Potensi atas investasi tersebut harus dapat ditangkap sebagai sarana perluasan basis pajak dan menciptakan potensi penerimaan baru

Dampak luas jika administrasi ini dapat diperkuat ialah bisa untuk mengukur seberapa besar efek dari pemberian insentif fiskal yang dipergunakan. Adanya koherensi yang tercipta antara pemerintah, BUMD, dan investor (perusahaan asing) menimbulkan transparansi dalam pengambilan kebijakan selanjutnya.

Kemudian, menyusun langkah yang tepat dalam menciptakan kebijakan yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, menjaga iklim investasi yang ramah, memberdayakan SDM daerah yang semakin berkualitas dengan didukung pengawasan yang profesional.

Dukungan teknologi pun akan menambah modernisasi KEK menjadi standar yang patut diperhitungkan, karena potensi investasi ini dapat dioptimalkan, baik dari sisi mendorong pertumbuhan ekonomi dengan tetap menjaga kepatuhan administrasinya.

Sumber: investor.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only