Penerimaan Pajak Diperkirakan Kurang Rp 140 Triliun, Apa Sebabnya?

KOMPAS.com – Direktorat Jenderal Pajak ( Ditjen Pajak) Kementerian Keuangan memproyeksikan kekurangan penerimaan perpajakan atau shortfall hingga akhir tahun mencapai Rp 140 triliun.

Angka tersebut lebih tinggi Rp 30 triliun dari shortfall tahun lalu yang mencapai Rp 108,1 triliun.

“Tahun lalu shortfall sebesar di kisaran Rp 110 triliun, sementara di evaluasi semester I Ibu (Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati) menyampaikan watu itu (shortfall) Rp 140 triliun. Itu saja lebih besar (dari tahun lalu),” ujar Direktur Potensi, Kepatuhan dan Penerimaan Ditjen pajak Yon Arsal di Jakarta, Senin (25/11/2019).

Yon pun menjelaskan, perkiraan shortfall tersebut memperhitungkan melambatnya pertumbuhan penerimaan hingga Oktober 2019 ini yang hanya tumbuh 0,23 persen (Rp 1.018,47 triliun). Angka tersebut merosot tajam jika dibandingkan dengan penerimaan tahun lalu yang tumbuh hingga 16,21 persen.

Yon pun mengatakan, nilai kekurangan penerimaan pajak tahun ini tidak akan lebih dari akumulasi shortfall dalam dua tahun terakhir yang mencapai Rp 240 triliun.

Berdasarkan laporan kinerja Ditjen Pajak, realisasi penerimaan pajak pada 2017 mencapai Rp 1.151,12 triliun dan Rp 1.313,51 triliun pada 2018. Dengan realisasi tersebut, kekurangan penerimaan pajak pada 2017 dan 2018 masing-masing mencapai Rp 127,2 triliun dan Rp 110,78 triliun.

Pada Nota Keuangan Agustus 2019 lalu, Sri Mulyani sempat memaparkan shortfall pajak tahun ini berada di kisaran Rp 140 triliun. Dengan kinerja penerimaan perpajakan yang loyo hingga pertengahan akhir tahun ini, Yon masih belum bisa memaparkan risiko pelebaran shortfall hingga akhir tahun.

Namun demikian, dia menegaskan, berbeda dengan tahun lalu, kondisi perekonomian tahun ini masih diliputi tantangan, terutama dari segi eksternal.

“Harus dipahami betul kondisinya ekonomi sangat beda dibandingkan dengan tahun lalu,” ujar Yon.

Lebih lanjut dia menjelaskan, salah satu faktor yang menjadi penyebab seretnya penerimaan pajak adalah kinerja penerimaan PPN impor yang terus menurun.

Hal tersebut tercermin dari aktivitas impor yang kinerjanya menurun.

Di dalam APBN 2019, pemerintah menargetkan pertumbuhan penerimaan dari Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) impor tumbuh 23 persen. Namun realisasi hingga Oktober, justru kinerjanya minus hingga 7 persen. Padahal, keduanya berkontribusi hampir 18 persen dari total penerimaan pajak.

“Jadi memang kalau kita lihat perkembangan sampai Juli sebenarnya PPN impor masih tumbuh -2 persen. Tetapi di bulan Juli, Agustus, September, Oktober penurunannya makin dalam, itu terkonfirmasi dalam data BPS,” ujar dia.

Yon mengaku pihaknya sudah melakukan berbagai upaya untuk memperkecil risiko shortfall pajak. Dalam hal ini, termasuk langkah agresif yang dilandaskan pada basis data yang kuat.

“Segala macam upaya itu kita lakukan, termasuk extra effort. Sepanjang upaya tersebut dilakukan dengan prudent, data valid dan tidak terabas kanan kiri. Sampai September ini Rp 120 triliun dari extra effort,” katanya.

Hingga Oktober 2019, penerimaan pajak baru mencapai Rp 1.018,47 triliun, atau 64,56 persen dari target penerimaan dalam Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara 2019 sebesar Rp 1.577,56 triliun.

Dengan demikian, dalam dua bulan terakhir, DJP perlu mengumpulkan Rp 559 triliun untuk mencapai target penerimaan perpajakan tahun ini.

Sumber : Kompas.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only