Pendobrakan Hambatan Investasi

Omnibus law. Dua kata ini semakin santer terdengar. Maklum, pemerintah sedang meramu sejumlah undang-undang menjadi satu payung hukum alias omnibus law. Bukan cuma satu, tapi ada tiga: Omnibus law Ketentuan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian, Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja, dan Omnibus Law Pemberdayaan UMKM.

Meski begitu, tujuan ketiga calon beleid super itu sama, bisa menjadi paket kebijakan pendobrak hambatan investasi. Lewat Omnibus Law Perpajakan, Cipta Lapangan Kerja, dan Pemberdayaan UMKM, pemerintah bakal membabat semua yang menghalangi investasi masuk selama ini. Termasuk, pajak daerah yang sering jadi keluhan investor.

Soalnya, pemerintah daerah sering mematok tarif pajak maksimal demi mengejar pendapatan asli daerah. Itu sebabnya, pemerintah daerah berlomba-lomba menerbitkan peraturan daerah tentang pajak daerah. Nah, pemerintah pusat berencana mengatur kembali kewenangan mereka dalam menetapkan tarif dalam Omnibus Law Perpajakan.

Saat ini, mengacu Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Restibusi Daerah, kewenangan pemerintah pusat hanya sebatas menentukan jenis pajak dan tarif maksimal. Sehingga, pemerintah daerah bisa memasang tarif pajak daerah yang berbeda-beda.

Toh, Omnibus Law Perpajakn khususnya, bisa memicu potential loss penerimaan pajak. Sebab, lewat aturan ini pemerintah bakal memberikan banyak insentif untuk menyedot investasi.

Contohnya, menurunkan tarif pajak penghasilan (PPh) badan secara bertahap, dari saat ini sebesar 25% menjadi 22% pada 2021 dan 20% di 2023 mendatang. Lalu, perusahaan yang go public dapat diskon tarif PPh badan sebesar 3% dari tarif normal yang berlaku selama lima tahun.

Institute for Development of Economics and Finance (Indef) pernah menghitung, potensi kehilangan penerimaan pajak dari penurunan tarif PPh badan jadi 20% mancapai Rp 53,16 triliun. Jelas, ini bukan angka yang kecil. Dan, itu baru dari penurunan tarif PPh badan saja, belum yang lainnya.

Pemerintah mau tidak mau harus memangkas tarif PPh badan. Sebab, sejumlah negara di kawasan yang jadi pesaing utama Indonesia dalam menarik investasi sudah memasang tarif pajak lebih rendah. Singapura hanya memungut PPh badan 17%, lalu Vietnam, Thailand, dan Malaysia 20%.

Tapi, lewat Omnibus Law Perpajakan, pemerintah bisa menggali penerimaan pajak dari sumber baru. Caranya, dengan mengatur pemajakan atas subjek pajak di luar negeri yang melakukan transaksi secara elektronik di Indonesia, seperti Netflix dan Amazon. Meski berbasis di luar negeri, mereka tetap bisa memungut, menyetorkan, dan melaporkan pajak pertambahan nilai (PPN) atas penjualan produk atas jasa mereka di negara kita.

Direktorat Jenderal Pajak mencatat, tahun lalu, total konsumsi barang dan jasa tidak berwujud yang berasal dari luar negeri mencapai Rp 93 triliun. Dengan mengenakan PPN 10% maka potensi penerimaan sebesar 9,3 triliun. Di 2025, studi yang Google dan Temasek lakukan memperkirakan, konsumsi barang dan jasa tidak berwujud dari luar negeri mencapai Rp 277 triliun.

Tentu, peluang penerimaan lebih besar datang dari investasi yang masuk, seiring implementasi Omnibus Law Perpajakan, Cipta Lapangan Kerja, dan Pemberdayaan UMKM yang targetnya berlaku tahun depan. Kemudian adalah tinggal bagaimana pemerintah melaksanakan undang-undang berjulukan sapu jagad itu dengan baik hingga ke level bawah. Tidak ada lagi birokrasi yang berbelit, sekalipun semua urusan perizinan ada di satu atap.

Sumber : Tabloid Kontan

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only