Strategi Pajak Menarik Investor Melalui “Omnibus Law”

Jakarta –

Awal September 2019, Indonesia dibuat kecewa oleh investor-investor dari China yang lebih memilih negara lain di Asia Tenggara seperti Vietnam, Malaysia, Thailand, dan Kamboja untuk berinvestasi. Iklim investasi di Indonesia yang dinilai tidak kunjung kondusif dan tidak dilakukan perbaikan membuat para investor tidak tertarik untuk berinvestasi di Indonesia.

Hal ini tentunya merugikan Indonesia. Potensi pertumbuhan ekonomi dan penerimaan pajak hilang begitu saja. Upaya harus dilakukan oleh pemerintah untuk menarik para investor agar kembali mau berinvestasi di Indonesia. Salah satunya adalah dengan menerbitkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law terkait perpajakan.

Begitu banyak ragam Undang-Undang (UU) perpajakan di Indonesia. Sebut saja UU Ketentuan Umum Perpajakan (UU KUP), UU Pajak Penghasilan (UU PPh), UU Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN & PPnBM), dan sebagainya. Ragam jenis pajak yang diatur di masing UU ini dianggap terlalu rumit, sehingga dirancang suatu UU Omnibus Law yang menggabungkan beberapa aturan dengan substansi pengaturan yang berbeda menjadi suatu peraturan besar yang berfungsi sebagai payung hukum.

Sebagaimana dinyatakan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani, RUU ini akan mengumpulkan seluruh fasilitas perpajakan dalam satu bagian. Termasuk di dalamnya adalah pengurangan dan pembebasan pajak penghasilan, tax holiday, super deduction untuk vokasi dan research and development, dan untuk perusahaan yang melakukan penanaman modal untuk kegiatan padat karya. Terdapat beberapa poin penting mengenai strategi pajak yang diatur di dalam RUU Omnibus Law ini.

Pertama, tarif PPh Badan akan diturunkan dari 25% menjadi 20%. Penurunan akan dilakukan secara bertahap dimana akan diturunkan 3% menjadi 22% untuk tahun 2021-2022, kemudian diturunkan lagi menjadi 20% pada 2023.

Selain itu, insentif diberikan bagi perusahaan yang baru go public, di mana tarif PPh Badan akan diturunkan lagi 3% dari tarif normal. Sehingga, perusahaan yang baru go public akan dikenakan tarif 19% pada 2021-2022. Sedangkan untuk perusahaan yang go public pada 2023 dan selanjutnya, akan dikenakan tarif PPh Badan sebesar 17%. Penurunan tarif ini berlaku selama 5 tahun setelah perusahaan tersebut go public.

Kedua, pengenaan PPh atas Dividen di dalam negeri dibebaskan dari pengenaan pajak. Ketiga, penyesuaian tarif PPh Pasal 26 atas penghasilan dari bunga dari dalam negeri yang diterima oleh SPLN yang dapat diturunkan dari tarif normal 20%. Keempat, pengaturan sistem teritori dalam rangka penentuan penghasilan yang diperoleh dari luar negeri. Wajib Pajak yang penghasilannya berasal dari luar negeri, baik berupa dividen ataupun penghasilan setelah pajak dari BUT di luar negeri, tidak dikenakan pajak di Indonesia apabila penghasilan tersebut diinvestasikan di Indonesia dan berasal dari perusahaan listed atau non listed.

Lebih lanjut, sistem teritori mengatur pengenaan pajak atas penghasilan tertentu dari luar negeri, yaitu dari Warga Negara Asing yang merupakan Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN) setelah melewati time test, atau Wajib Pajak yang berstatus dual residence. Objek pajak hanya PPh yang berasal dari penghasilan dari Indonesia. Sehingga, atas penghasilan dari luar Indonesia tidak dikenakan mekanisme pengenaan pajak PPh Pasal 26.

Kelima, penentuan subjek pajak orang pribadi akan disesuaikan. Warga Negara Indonesia yang tinggal di luar Indonesia lebih dari 183 hari dalam satu tahun, sebelumnya masih dianggap SPDN karena merupakan Warga Negara Indonesia, sehingga time test tidak berlaku dan masih dikenakan PPh atas penghasilan mereka dari Indonesia.

Omnibus law akan mengatur mengenai penentuan SPDN ini, di mana SPDN yang memenuhi persyaratan tersebut akan dikecualikan dan diperlakukan sama dengan SPLN. Sehingga PPh atas penghasilan yang diterima dari Indonesia akan dikenakan mekanisme pemotongan PPh Pasal 26. Sedangkan penghasilan yang diterima dari luar Indonesia menjadi objek pajak luar negeri dan tidak dikenakan pajak di Indonesia.

Keenam, hak atas pengkreditan pajak masukan. Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang memperoleh bahan baku atau yang melakukan pembelian terkait usaha dari pihak bukan PKP dapat mengkreditkan pajak masukannya maksimal 80%. Termasuk pajak masukan dari SPT yang ditemukan dari hasil pemeriksaan yang tidak dapat diidentifikasi perusahaan asal pajak masukan tersebut/ pembelian tersebut dari perusahaan mana.

Ketujuh, pengubahan tarif sanksi administrasi dari yang semula flat rate 2% tiap bulan menjadi tarif bunga saat bulan berjalan. Sanksi ini dianggap adil karena disesuaikan dengan tingkat bunga yang berlaku. Kedelapan, pengaturan ulang terkait imbalan bunga yang dibayarkan pemerintah. Tarif imbalan bunga tidak lagi flat rate 2% tiap bulan, tetapi juga mengikuti tingkat bunga yang berlaku untuk bulan berlangsung.

Jelas kebijakan tersebut merupakan upaya yang diambil untuk mewujudkan iklim yang kondusif bagi investor. Penurunan tarif PPh Badan menjadi insentif bagi investor. Karena tentunya penghasilan yang didapat oleh perusahaan akan meningkat, menyebabkan lebih banyak lagi dana yang dimiliki perusahaan untuk dapat diinvestasi kembali, ataupun untuk dibagikan kepada investor dalam bentuk dividen.

Peningkatan dividen ini diiringi oleh kebijakan untuk membebaskan pengenaan pajak atas dividen, selama dividen tersebut direpatriasi kembali ke Indonesia. Sehingga, uang yang kembali masuk dan berputar di Indonesia diharapkan akan membantu pergerakan roda perekonomian Indonesia.

Selain itu, Wajib Pajak Badan didorong untuk segera go public atau IPO. Insentif berupa penurunan tarif PPh Badan sebesar 3% selama 5 tahun menjadi strategi pemerintah. Dengan mengubah status perusahaan menjadi perusahaan terbuka, maka diharapkan banyak investor tertarik dengan perusahaan tersebut. Perusahaan pun diharapkan menjadi lebih profesional, mampu bersaing dengan perusahaan asing, dan mampu memberikan kontribusi lebih kepada Indonesia.

Salah satu isu yang diutamakan dalam perancangan UU ini adalah mengenai fairness. Penerapan sistem teritori dianggap mampu untuk mengatasi masalah keadilan yang dialami Wajib Pajak. Hal utama dalam mengatasi isu ini adalah perubahan penentuan Subjek Pajak.

Warga Negara Asing yang telah tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari, atau telah melebihi time test, dianggap sebagai Subjek Pajak Dalam Negeri. Untuk itu, diberikan pengecualian oleh pemerintah, bahwa Warga Negara Asing yang juga merupakan Subjek Pajak Dalam Negeri, hanya dikenakan pajak atas penghasilan yang diterima dari Indonesia. Sehingga penghasilan yang didapat dari luar Indonesia tidak dikenakan pajak di Indonesia. hal ini dianggap lebih adil, karena atas penghasilan yang di dapat Warga Negara Asing yang merupakan SPDN ini sudah dikenakan pajak dari negara sumber.

Perubahan dalam pengenaan pajak bagi Warga Negara Asing SPDN ini dapat menjadi insentif bagi investor asing yang berusaha menjalankan bisnis di Indonesia. Karena pajak yang dikenakan pada mereka hanya sebatas penghasilan dari Indonesia. Sehingga mereka tidak perlu mengkhawatirkan penghasilan mereka dari luar Indonesia.

Sedangkan untuk warga negara Indonesia yang berada di luar Indonesia lebih dari 183 hari, akan dianggap sebagai subjek pajak luar negeri dimana atas penghasilan yang didapat dari Indonesia akan dikenakan PPh Pasal 26. Sementara penghasilan yang diperoleh dari luar Indonesia tidak lagi dikenakan pajak di Indonesia.

Perubahan lain yang diberikan adalah pengkreditan pajak masukan. Sebelumnya pengusaha kena pajak (PKP) tidak bisa mengkreditkan pajak masukan atas pembelian dari wajib pajak yang belum/tidak PKP atau mengkreditkan pajak masukan atas temuan hasil pemeriksaan. Dengan diizinkannya perusahaan mengkreditkan pajak masukan atas kondisi tersebut, meskipun maksimal hanya 80%, tentunya menjadi angin segar bagi perusahaan karena mereka dapat mengkreditkan pajak masukan mereka, sekaligus dapat mendorong penjualan dari Wajib Pajak yang belum PKP.

Isu fairness yang juga berusaha diatasi oleh pemerintah adalah mengenai sanksi bunga. Misalnya, selama ini pengenaan sanksi bunga atas keterlambatan pembayaran STP adalah sebesar 2% setiap bulan. Hal ini dianggap tidak adil bagi wajib pajak. Oleh karena itu, tarif sanksi bunga disesuaikan dengan tingkat bunga yang berlaku pada saat sanksi tersebut dikenakan. Sehingga sanksi akan relatif sesuai dengan kondisi dan dianggap lebih adil bagi wajib pajak. Hal ini sebagai upaya dalam meningkatkan tax compliance dari wajib pajak, karena tarif dapat lebih kecil dari 2%.

Atas perubahan tarif sanksi bunga ini, pemerintah juga merasa perlu untuk menyesuaikan tarif atas imbalan bunga dari yang sebelumnya 2% tiap bulan menjadi sesuai dengan tarif bunga yang berlaku saat imbalan tersebut seharusnya diberikan. Sehingga lebih adil bagi pemerintah dan bagi Wajib Pajak.

Beberapa poin di atas merupakan strategi pemerintah untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi investor dan calon investor, dengan memberikan beberapa kemudahan dan menawarkan tarif pajak yang bersaing dengan negara lain. Sehingga diharapkan pertumbuhan ekonomi Indonesia meningkat dan diikuti dengan pertumbuhan compliance Wajib Pajak, serta peningkatan penerimaan pajak dari Indonesia.

Sumber : Detik.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only