Denda Ringan Kepabeanan dan Pajak

Pemerintah akan merelaksasi UU Kepabeanan dan UU Cukai lewat Omnibus Law Perpajakan

Jakarta, Undang-Undang (UU) Kepabeanan menjadi salah satu materi baru dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk penguatan Ekonomi atau Omnibus Law Perpajakan. Penerimaan dari kepabeanan diharapkan mampu berkontribusi lebih terhadap penerimaan negara.

Kementerian Keuangan (Kemkeu) menyampaikan batas atas denda kepabeanan akan direlaksasi dari 1.000% menjadi 400%. Hal ini disampaikan pada saat Kemkeu menggelar public hearing sosialisasi Omnibus Law Perpajakan dengan pengusaha dan konsultan pajak, Rabu (5/12).

Kasubdit Komunikasi Dan Publikasi Bea Cukai Kemkeu Deni Surjantoro menyampaikan, pengaturan denda kepabeanan menjadi penyempurna aturan sebelumnya yang di anggap kurang efektif. Alasannya, denda kepebeanan yang berlaku bagi eksportir maupun importir kurang bayar baik dari sisi bea masuk maupun bea keluar terlalu tinggi. Alih-alih membayar, pengusaha yang kena dende malah banyak menunggak.

Sebelumnya pemerintah sudah memberikan relaksasi denda kepabeanan. Beleid ini tertuang di Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas PP No 28/2008 terkait Pengenaan Sanksi Administrasi Berupa Denda di Bidang Kepabeanan. Aturan yang terbit awal Juli ini telah memperluas layer sanksi dari semula 5 layer menjadi 10 layer.

Beleid mengatur kekurangn sampai dengan 50%, didenda 100%, di atas 50%-100% didenda 125%, lalu diatas 100%-150% dendanya 150%, diatas 150%-200% dikenai denda sebesar 175%, dan di atas 200%-250% dikenakan denda 200%.

Adapun eksportir dan importir yang kurang bayar 250%-300% dikenai denda 225%, di atas 300%-350% dikenai denda 250%, di atas 350%-400% dikenai denda 300%, lebih dari 400%-450% dikenai denda sebesar 600%, dan yang terakhir di atas 450% dari total bea masuk atau bea keluar yang telah dibayar yang dikenai denda 1.000%.

Deni bilang untuk mengatur jumlah layer denda, akan dijabarkan dalam PP maupun Peraturan Menteri Keuangan (PMK) setelah Omnibus Law Perpajakan lolos diundangkan tahun depan.

Asal tahu saja, pengusaha yang kurang bayar bea masuk dan/atau bea keluar tersebut berasal dari berbagai sektor, mulai dari industri pengolahan sampai otomotif. “Biasanya dari pemeriksaan di pelabuhan kami temukan ada yang kurang bayar,” ujar Deni.

Kendati demikian, Deni belum bisa menyampaikan berapa jumlah tunggakan atas denda kepabeanan sampai saat ini. Yang jelas, Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) akan terus menagih denda tersebut dengan pendekatan yang lebih bersahabat.

Selain bidang pabean, kelonggaran sanksi juga diberikan atas keterlambatan pelaporan Surat Pemberitahuan Pajak Tahunan (SPT) baik yang dilakukan secara self assessement maupun saat pemeriksaan.

Tidak hanya sanksi, pemerintah ingin fair jika terjadi keterlambatan pencairan restitusi maka akan memberikan imbalan bungan dengan hitungan tarif bunga per bulan sebesar suku bungan acuan + 10% di bagi 12 bulan.

Ketua Bidang Tax Center Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Ajib Hamdani mengingatkan, prinsip omnnibus law Perpajakan adalah penguatan ekonomi. Dengan adanya relaksasi denda kepabeanan dan pajak menunjukan adanya bagian dari insentif agar wajib pajak terdorong lebih tunduk terhadap ketentuan perpajakan.

Ajib menyampaikan Omnibus Law Perpajakan bukan hanya soal intensif bagi pengusaha tapi juga untuk meningkatkan penerimaan negara. Caranya dengan mendorong kepatuhan pembayaran pajak secara sukarela. “Dari peserta public hearing secara prinsip mendukung. Karena aturan yang ada sekarang, denda pabean bisa 1.000%,” kata Ajib, (5/12).

Termasuk UU Cukai

Selain kepabeanan, UU Cukai juga akan masuk dalam pembahasan omnibus law perpajakan. Jadi RUU yang akan diserahkan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 12 Desember 2019 itu akan mengubah enam UU.

UU yang menjadi materi omnibus law adalah UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan(KUP), UU Pajak Penghasilan (PPh), UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN), UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), serta UU Kepabeanan dan UU Cukai.

Menurut Kepala Bidang Kepabeanan dan Cukai Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemkeu Nasruddin Djoko Surjono, ke depan pemerintah sudah merancang ekstensifikasi barang kena cukai. Salah satu nya pengenaan cukai pada produk pangan yang berisiko tinggi terhadap kesehatan dan pengaturan produk makanan dengan kandungan gula, garam dan lemak. “Ini masuk dalam rencana teknokratik Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 dengan tema meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas dan berdaya saing,” kata Nasruddin.

Adapun selain ekstensifikasi barang kena cukai, pemerintah beberapa kali merencanakan melakukan simplifikasi tarif cukai.

Hanya saja penyederhanaan tarif cukai ini belum terlihat saat Menteri Keuangan mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 152 Tahun 2019 silam.

Sumber : Harian Kontan

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only