Persoalan Berat Industri Baja Nasional

Jakarta –

Sesuai profil yang ditetapkan Kementerian Perindustrian, “Industri baja, salah satu bagian dari industri logam dasar yang termasuk dalam industri hulu, merupakan salah satu industri strategis Indonesia. Sektor ini memainkan peran utama dalam memasok bahan baku vital untuk pembangunan di berbagai bidang, mulai dari penyediaan infrastruktur (gedung, jalan, jembatan, jaringan listrik dan telekomunikasi), produksi barang modal (mesin pabrik dan material pendukung serta suku cadangnya), alat transportasi (kapal laut, kereta api beserta relnya dan otomotif), hingga persenjataan.”

Pertumbuhan kebutuhan baja Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun, walaupun dibanding negara ASEAN lainnya konsumsi baja Indonesia (per kapita) masih yang terendah. Konsumsi baja Indonesia 13,6 juta ton (2017) naik sekitar 22.5 % per tahun, tidak linear dengan produksi baja nasional yang hanya sekitar 5.2 juta ton (2017) walaupun dibanding lima tahun sebelumnya produksi baja nasional naik sekitar 65% per tahun. Namun masih kalah jauh, misalnya dengan Vietnam dengan konsumsi baja 21.6 juta ton (2017) dan produksi bajanya mencapai 11.5 juta ton (2017) dengan kenaikan 150% setahun.

Gap antara konsumsi baja dengan produksi nasional cukup besar, dan gap ini diisi oleh produk impor dari China (sekitar 55% dari kebutuhan nasional). Sementara itu utilisasi kapasitas produksi baja nasional hanya sekitar 48%, sehingga banyak industri baja domestik yang menganggur karena produknya tidak terserap pasar. Selain karena gempuran baja impor, pertumbuhan industri baja kita juga terhalang oleh kesulitan mendapatkan bahan baku besi baja bekas impor yang dikatagorikan sebagai limbah B3 sementara bijih besi lokal diekspor, mahalnya energi primer yang digunakan, dan masih rendahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

Masalah UtamaBesarnya importasi baja relatif dapat dipahami apabila memang terjadi kompetisi harga yang sehat antara produksi nasional dengan impor, namun pada kenyataannya terjadi persaingan yang tidak fair. Antara lain, baja impor mendapat keringanan pajak (tax rebate) dari negaranya karena untuk ekspor, sementara untuk bea masuk ke Indonesia, sebagai negara ASEAN, tidak ada hambatan dari sisi fiskal berkat adanya perjanjian China ASEAN Free Trade Agreement (CAFTA).

Situasi perbajaan Indonesia bertambah buruk lagi karena adanya importasi baja dengan pengalihan nomor HS (HS Code) demi mendapatkan pembayaran bea masuk nol dengan cara mengubah unsur material produksinya, misalnya menambahkan senyawa Boron/Borax. Sehingga besi baja karbon menjadi besi alloy yang bebas bea masuk.

Kedua, masalah importasi baja dan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) yang diterapkan di Pulau Batam. Untuk menciptakan iklim kompetisi yang fair, pemerintah telah menetapkan BMAD atas produk baja hot rolled plate (HRP) dari Singapura, RRC, dan Ukraina. Namun demikian ketentuan tersebut tidak berlaku di Free Trade Zone (FTZ) Pulau Batam karena sesuai dengan PP No 10 Tahun 2012, FTZ tidak dikenakan bea masuk. Hal ini sangat memperberat kompetisi dengan baja nasional karena Pulau Batam merupakan wilayah dengan konsumsi HRP yang besar.

Ketiga, munculnya Peraturan Pemerintah No 101 tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) menambah persoalan di industri baja nasional, sehingga daya saing produk Indonesia rendah. Pelarangan masuknya limbah baja impor (slack dan slab) ke Indonesia membuat kesempatan industri baja nasional untuk memperoleh bahan baku recycled yang murah menjadi hilang. Demikian pula dengan limbah baja lokal. Sementara di negara lain, limbah baja tidak masuk dalam katagori B3.

Keempat, untuk melindungi industri baja nasional, pemerintah mewajibkan importir baja harus memiliki Sertifikat SNI, namun kebijakan ini kurang efektif karena di lapangan mudah sekali importir memperoleh SNI melalui Lembaga Sertifikasi (LS)-Pro. Selain itu ada juga kecurangan lain yang dilakukan oleh importir dalam penggunaan Angka Pengenal Importir Produsen (API-P), namun nyatanya baja impor tidak digunakan untuk bahan produksi baja, tetapi diperdagangkan langsung di pasar. Kebijakan ini bukannya melindungi industri baja nasional, melainkan justru menghalangi perkembangan industri, misalnya dihapusnya pertimbangan teknis atas impor baja oleh API-P.

Baja impor dikenakan persyaratan atau kewajiban yang sama dengan baja dalam negeri, yaitu wajib untuk mendapatkan Sertifikasi Produk Penggunaan Tanda Standar Nasional Indonesia (SPPT-SNI). Namun pada kenyataannya, SPPT-SNI importir dapat diperoleh begitu mudah melalui LS-Pro, bahkan lebih mudah dari produk domestik. Sementara untuk mendapatkan sertifikat sebagai LS-Pro dari Komite Akreditasi Nasional (KAN) juga tidak terlampau sulit. Sehingga, hal yang semula ditujukan sebagai non fiscal barrier importasi baja, tidak signifikan berpengaruh terhadap pengendalian importasi baja ke pasar dalam negeri. Terdapat 57 SNI yang terkait dengan baja, 13 di antaranya merupakan SNI yang diberlakukan secara wajib.

Pemerintah sebenarnya telah berkehendak untuk meningkatkan daya saing industri baja nasional. Untuk itu pemerintah telah mengeluarkan beberapa peraturan, antara lain Peraturan Menteri Perdagangan No 08/M-DAG/PER/2/2009 tentang Ketentuan Impor Besi atau Baja yang kemudian diperbarui lagi dengan Permendag No 21/M-DAG/PER/6/2009 (atau disebut juga dengan Permendag No 21/2009) tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan No 08/M-DAG/PER/2/2009 tentang Ketentuan Impor Besi Atau Baja. Permendag No 110 Tahun 2018 tentang Ketentuan Impor Besi Baja, Baja Paduan dan Produk turunannya. Namun sayang kebijakan-kebijakan tersebut terbukti belum efektif untuk melindungi industri baja nasional.

Walaupun telah ditetapkan berbagai kebijakan dan peraturan namun pelaksanaannya belum sesuai dengan hasilnya. Peraturan yang disebut di atas adalah peraturan-peraturan untuk “melindungi” industri baja nasional dari serbuan baja impor terutama RRC. Namun kenyataannya, dari sisi kompetisi (revenue side ) perlindungan itu tidak efektif karena muncul berbagai cara dari pedagang, makelar, importir besi untuk mengelabuhi peraturan-peraturan tersebut di atas.

Sementara dari sisi produksi baja nasional juga menghadapi berbagai tantangan, antara lain harga bahan baku yang mahal, harga energi yang mahal, besarnya idle capacity, teknologi yang kurang efisien dan sebagainya yang pada akhirnya mengakibatkan ongkos produksi yang mahal. Akibatnya harga jual besi baja domestik menjadi mahal, sulit berkompetisi dan tidak dapat melakukan investasi.

Rendahnya konsumsi baja per kapita di Indonesia menunjukkan bahwa pada dasarnya produksi baja nasional masih sangat rendah dibanding negara lain. Industri baja sebagai industri dasar ,terlalu penting untuk diabaikan karena perannya yang sangat besar di dalam mendukung perekonomian negara. Sudah selayaknya pemerintah menetapkan kebijakan untuk mendukung perkembangan industri baja nasional tanpa merugikan industri hilirnya dan menguntungkan perekonomian nasional.

Langkah Pemerintah

Diperlukan kebijakan yang menyeluruh untuk mendukung industri baja sebagaimana negara-negara lainnya. Adanya dukungan kebijakan, baik fiskal maupun non fiskal, jangan sampai mengurangi pendapatan negara maupun kompetisi yang adil dengan produk impor.

Kebijakan yang dimaksud harus efektif menguntungkan industri baja domestik, dan menguntungkan perekonomian nasional dari berbagai segi terutama karena multiplier effect yang cukup besar dari industri baja. Misalnya Peraturan Menteri KLHK yang mengecualikan bahwa baja bekas impor dikecualikan bukan limbah B3, Peraturan Menteri ESDM supaya industri baja mendapatkan harga khusus untuk energi primer, dan sebagainya.

Sumber : KONTAN.CO.ID

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only