Omnibus Law Gerus Pajak Hingga Puluhan Triliun

Pemerintah berharap, ektensifikasi bisa mengompensasi potensi penerimaan pajak yang hilang

Jakarta. Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Ekonomi alias Omnibus Law Perpajakan bakal bergulir tahun depan. Harapannya, beleid sapu jagad ini bisa segera berlaku, terutama penurunan tarif pajak penghasilan (PPh) badan secara bertahap mulai 2021 mendatang.

Sebab, pemerintah berharap, terobosan perpajakan itu menggairahkan perekonomian. Khususnya, mengundang banyak investor masuk ke dalam negeri. Tetapi, pemerintah harus menanggung konsekuensi: kehilangan potensi penerimaan pajak.

Misalnya, penurunan tarif PPh badan dari saat ini 25% menjadi 22% pada 2021 nanti. Kebijakan ini bakal berdampak pada kehilangan potensi penerimaan mencapai Rp 53 triliun dalam satu tahun. Jika tarif PPh badan turun lagi menjadi 20% di 2023 mendatang, potensi penerimaan pajak yang akan hilang ditaksir mencapai Rp 87 triliun.

Tak hanya itu, relaksasi tarif PPh atas dividen wajib pajak dalam negeri dalam Omnibus Law Perpajakan juga bakal menghilangkan potensi penerimaan pajak. Sebagai gambaran, pajak atas dividen yang masuk dalam pos penerimaan PPh Pasal 23 di tahun lalu mencapai Rp 39,7 triliun.

Fokus dengan strategi tahun depan sebagai pijakan sebelum Omnibus Law.

Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menyatakan, pemerintah masih menghitung total penerimaan pajak yang hilang akibat Omnibus Law Perpajakan. “Nanti, bagaimana pembahasannya. Kami tahu dulu berapa persis tarif yang ditentukan. Yang jelas, mitigasi penurunan penerimaan pajak pasti disiapkan,” kata Suahasil kepada KONTAN, Kamis (12/12).

Langkah mitigasi atas potensi kehilangan penerimaan pajak, Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Rofyanto Kurniawan mengatakan, pemerintah akan mengoptimalkan belanja dan pendapatan negara. Pemerintah bakal merancang belanja lebih tepat sasaran, supaya penggunaan kas negara lebih efektif.

Di sisi pendapatan, Rofyanton menilai, pemungutan pajak di Indonesia belum optimal. Artinya, masih banyak sumber potensial yang bisa pemerintah gali lebih dalam sebagai upaya ekstensifikasi pajak. Salah satunya, perluasan basis pajak ke ekonomi digital.

Dalam skema Omnibus Law Perpajakan, pengetatan administrasi pajak perusahaan yang berbasis digital juga sudah diatur. Harapannya, hal tersebut bisa jadi salah satu mitigasi dari potensi kehilangan penerimaan pajak.

Selain itu, pemerintah berencana memperbaiki pelaporan basis pajak, dengan menerapkan core tax system serta relaksasi regulasi dan simplifikasi tarif juga denda pajak. “Dengan adanya perbaikan administraso prosedural, compliance akan meningkat. Sehingga, mampu mengimbangi pengurangan pajak ke depan,” imbuh Rofyanto kepada KONTAN, Jumat (13/12).

Fokus di 2020

Menurut Pengamat Pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji, pemerintah seyogyanya fokus dengan strategi tahun depan. Sebab, tahun 2020 adalah batu pijakan untuk menentukan kondisi penerimaan pajak saat penerapan Omnibus Law Perpajakan kelak.

Bawono menilai, otoritas pajak bisa mengoptimalkan pos-pos pajak lain atau sektor yang masih potensial tapi belum maksimal. Misalnya, pajak usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) serta desentralisasi pajak daerah ke pusat, seperti pajak restoran, hotel, parkir kendaraan.

“Dan pastinya, otoritas meningkatkan kepatuhan wajib pajak, penambahan Kantor Pelayanan Pajak Madya, dan utilisasi data Automatic Exchange of Information (AEoI),” ujar Bawono.

Sumber : Harian Kontan

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only