Realisasi APBN

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2019 sejak awal memang didesain untuk dapat menjadi stimulus bagi perekonomian nasional, karena kondisi ekonomi global yang tidak pasti. Karena itu, APBN 2019 didorong lebih ekspansif dengan defisit yang lebih lebar.

Selain itu, APBN 2019 merupakan countercyclical untuk menjalankan peran strategis dalam menjaga stabilitas makroekonomi, mempertahankan momentum pertumbuhan perekonomian domestik, dan mendorong laju kegiatan dunia usaha, serta tetap memberikan perlindungan sosial kepada masyarakat.

Dalam perjalanannya, performa APBN 2019 ternyata lumayan bagus. Realisasi pendapatan negara mencapai Rp 1.957,2 triliun atau 90,4% dari target APBN 2019. Realisasi ini meningkat 0,7% dibandingkan dengan capaian tahun 2018. Apabila dirinci, realisasi pendapatan negara tersebut terdiri atas penerimaan perpajakan sebesar Rp 1.545,3 triliun atau 86,5% dari target APBN 2019, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp 405 triliun atau 107,1% dari target APBN, dan hibah sebesar Rp 6,8 triliun. Penerimaan perpajakan tersebut tumbuh 1,7% dari realisasi pada 2018.

Adapun realisasi belanja Negara mencapai Rp 2.310,2 triliun atau 93,9% dari target APBN 2019. Perolehan itu tumbuh 4,4% dari realisasi 2018. Hal itu terinci atas realisasi belanja Pemerintah Pusat sebesar Rp 1.498,9 triliun atau 91,7% dari target APBN 2019. Sedangkan realisasi anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) mencapai Rp 811,3 triliun atau 98,1% dari target.

Berdasarkan realisasi pendapatan dan belanja negara tersebut, defisit anggaran tahun 2019 mencapai sebesar Rp 353 triliun atau 2,2% dari produk domestik bruto (PDB). Realisasi defisit tersebut sedikit lebih lebar dari skenario awal sebesar 1,84%. Namun, pelebaran defisit APBN tetap dalam batas aman yang diamanatkan dalam Undang-Undang Keuangan Negara, dengan batas maksimum 3% dari PDB.

Selain itu, terdapat Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) sebesar Rp 46,4 triliun yang dapat dimanfaatkan untuk pengeluaran yang penting dan mendesak pada tahun anggaran berikutnya.

Aspek lain yang patut diapresiasi dari realisasi APBN 2019 adalah kebijakan pemerintah yang sama sekali tidak memotong belanja Negara seperti yang dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya. Keputusan tersebut diambil karena pemerintah sadar bahwa anggaran negara memang harus mampu memberikan stimulus untuk mendorong perekonomian yang tengah banyak mendapat tekanan dari faktor eksternal.

Meskipun banyak indikator APBN yang performanya di bawah target, secara umum realisasi APBN tidak terlalu mengecewakan. Terutama untuk penerimaan perpajakan sebesar 86,4% dari target, jelas suatu prestasi layak diapresiasi. Sebab, perolehan tersebut dicapai ketika kondisi perekonomian dalam negeri juga slow down, mengikuti irama perlemahan ekonomi global yang diwarnai dinamika perang dagang, suhu geopolitik yang menghangat, serta penurunan harga komoditas yang menjadi andalan ekspor kita.

Realisasi penerimaan pajak yang cukup tinggi juga menumbuhkan optimisme, karena selama 2019 pemerintah juga memberikan berbagai fasilitas insentif pajak. Banyaknya insentif yang sangat dibutuhkan dunia usaha secara otomatis akan mengurangi jumlah penerimaan pajak dalam jangka pendek, meski dalam jangka panjang tetap berpotensi menaikkan penerimaan.

Memang dalam pelaksanaan APBN selama ini, masalah yang paling genting adalah realisasi belanja modal APBN dan penerimaan pajak. Untuk belanja modal, selain realisasinya relatif rendah, serapannya juga lamban. Kebiasaan menumpuk serapan di akhir tahun masih terjadi.

Sedangkan untuk penerimaan pajak, selama ini pemerintah memang sangat dilematis. Di satu sisi, pemerintah harus meraih target penerimaan yang dipatok tinggi, sementara kondisi dunia usaha boleh dibilang sedang susah dan diliputi ketidakpastian. Karena itu, tahun ini pun pemerintah menghadapi tantangan berat terkait target pajak. Apalagi nilainya mencapai Rp 1.861,8 triliun, atau 13,3% di atas realisasi penerimaan perpajakan 2019. Itulah sebabnya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) harus bekerja ekstra keras untuk mengejar target tersebut. Di antaranya adalah perbaikan administrasi perpajakan dan pembenahan sistem teknologi informasi (TI), memburu dan menyisir wajib pajak (WP) yang tidak patuh, menjaga kejujuran dan integritas aparat pajak, memberi insentif pajak yang menarik bagi investor, serta mengintensifkan pajak progresif untuk kepemilikan aset dan properti.

Kita memahami bahwa mencapai target pajak bukanlah hal mudah. Target mengejar tax ratio 11,5% tahun 2020 ini juga amat tidak mudah, meskipun rata-rata Negara tetangga sudah mencapai tax ratio di atas 15%.

Pajak menjadi jantung dan urat nadi APBN setiap tahun, karena 80% penerimaan negara bergantung pada pajak. Meski demikian, pemerintah tidak boleh membabi buta dalam mengejar target pajak. Aparat pajak tidak boleh menimbulkan keresahan dan ketakutan di kalangan wajib pajak, khususnya wajib pajak badan atau pengusaha. Potensi pajak yang belum tergali masih besar, namun fiskus tidak harus menekan dan menakutnakuti dunia usaha.

Sumber: Investor.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only