Pemerintah Belum Berani Bersikap

JAKARTA, Memasuki 2020, pemerintah masih belum memastikan langkah apa yang diterapkan dan revisi peraturan yang dibutuhkan dalam rangka memajaki penghasilan atas transaksi digital, terutama terkait dengan pajak penghasilan (PPh) yang harus dibayarkan.

Dalam Omnibus Law Perpajakan yang saat ini disusun, pemerintah baru mengusulkan klausul terkait dengan pemungutan dan penyetoran pajak pertambahan nilai (PPN) atas impor barang kena pajak (BKP) tidak berwujud dan jasa kena pajak (JKP).

Lebih lanjut, pemerintah juga dapat menunjuk platform marketplace dan platform luar negeri dalam rangka memungut dan menyetor PPN.

Ketentuan mengenai tarif dan tata cara pengenaan PPN serta tata cara pendaftaran, pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN pun diatur lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK).

Terkait dengan PPh, hanya disebutkan bahwa pemerintah akan melakukan redefinisi atas badan usaha tetap (BUT) yang tidak hanya berlandaskan pada kehadiran fisik, tetapi juga berdasarkan pada kehadiran ekonomi signifi kan atau significant economic presence. Adapun tarif dan dasar pengenaan PPh-nya masih sesuai dengan ketetuan PPh yang berlaku.

Namun, sumber Bisnis mengungkapkan bahwa klausul significant economic presence terpenuhi ketika pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, atau penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik (PPMSE) luar negeri memiliki omzet usaha, penjualan, dan/atau pengguna aktif pada media digital yang mencapai jumlah tertentu.

Lebih lanjut, apabila penetapan BUT berdasarkan pada significant economic presence tidak dapat dilakukan akibat adanya tax treaty dengan negara lain, pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, atau PPMSE luar negeri tersebut dapat dikenai Pajak Transaksi Elektronik.

Sebagaimana PPN atas transaksi digital, ketentuan lebih lanjut mengenai PPh dan pajak transaksi digital seperti tarif, dasar pengenaan, tata cara penghitungan, hingga pembayaran akan diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK).

Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama mengatakan bahwa pihaknya memang sudah mulai mempersiapkan aturan-aturan turunan dari Omnibus Law Perpajakan, termasuk mengenai perlakuan pajak atas transaksi digital.

Terkait dengan pajak atas transaksi digital tersebut, Yoga mengatakan bahwa pihaknya masih terus memantau diskusi dan negosiasi antarnegara di OECD serta pertemuan antara AS dan Prancis terkait aksi unilateral yang dilakukan Prancis.

“Pertemuan antara dua negara diharapkan bisa menghasilkan titik temu sehingga mengarah pada kesepakatan internasional melalui OECD nanti,” ujar Yoga pekan lalu.

RESPONS NEGATIF

Tak lama menjelang rencana disepakatinya konsensus global atas transaksi digital yang akan disepakati pada Juni 2020, sudah terdapat beberapa negara yang telah melakukan aksi unilateral dan mendapatkan respons negatif dari negara lain.

Sebagai contoh, aksi unilateral yang dilakukan oleh Prancis yang memutuskan untuk mengenakan pajak sebesar 3% atas penghasilan dari transaksi digital mendapatkan respons dari AS.

AS mengancam untuk mengenakan bea masuk sebesar 100% atas produk-produk Prancis seperti champagne, tas, dan produk-produk lain. Pemerintah AS berkilah bahwa langkah Prancis yang membebani pajak sebesar 3% atas transaksi digital telah merugikan perusahaan-perusahaan teknologi dari AS.

Berdasarkan catatan Bisnis , Wakil Direktur Pusat Kebijakan dan Administrasi Pajak OECD Grace Perez Navaro mengakui upaya menciptakan konsensus global terkait pemajakan digital memang bukan perkara yang mudah, apalagi dengan komposisi negara yang memiliki posisi yang berbeda-beda.

Partner DDTC Fiscal Research Bawono Kristiaji mengatakan bahwa konsensus global layak ditunggu karena dengan adanya nexus baru maka hak pemajakan suatu negara tidak hanya terbatas pada kehadiran fisik. Alokasi laba juga akan lebih mencerminkan peran negara pasar dalam pembentukan nilai.

“Persoalannya, belum tentu seluruh negara anggota BEPS Inclusive Framework setuju atas hal tersebut. Pesimisme itulah juga yang menjadi alasan berbagai negara untuk secara sepihak menerapkan aturan domestik dalam memungut PPh atas transaksi digital,” ujar Bawono, akhir pekan lalu.

Untuk saat ini, tidak ada salahnya bagi Indonesia untuk menentukan PPN sekaligus PPh atas transaksi digital. Hal ini karena pemerintah dihadapkan dengan perubahan bisnis digital yang pesat.

Lebih lanjut, pemerintah bisa saja memasukkan klausul yang memungkinkan adanya pencabutan ketentuan dalam Omnibus Law Perpajakan apabila memang ada ketentuan-ketentuan yang bertentangan dengan konsensus global.

Sumber : Harian Bisnis Indonesia

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only