Deregulasi Tak Tuntas, Omnibus Law Naik Pentas

JAKARTA – Lima tahun pertama masa kepemimpinan Joko Widodo, pemerintah menerbitkan 16 Paket Kebijakan Ekonomi (PKE). Setelah diimplementasikan, PKE yang digadang-gadang dapat memperbaiki perekonomian nasional itu ternyata belum terasa betul dampaknya. Setidaknya bagi orang awam.

Secara singkat, ke-16 paket kebijakan ini menargetkan peningkatan pada enam area. Mulai dari iklim investasi, daya saing industri, efisiensi logistik, promosi pariwisata, stimulasi ekspor, hingga memperkuat daya beli masyarakat.

PKE perdana dibuat pada 2015, saat itu pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat mencapai 4,79%, ini adalah capaian terendah dalam enam tahun terakhir. Kemudian pada 2016, pertumbuhan ekonomi meningkat sedikit menjadi 5,02%.

Tiga tahun setelah PKE berjalan, atau pada 2017, pertumbuhan ekonomi meningkat 0,05% menjadi 5,07%. Kemudian naik menjadi 5,17% setahun berikutnya dan pada kuartal III/2019 turun menjadi 5,02%. Bank Indonesia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi pada kuartal IV akan menguat, tapi hampir dipastikan secara umum di 2019, pertumbuhan ekonomi tak akan banyak bergerak di level tersebut.

Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Hidayat Amir mengatakan, PKE yang dibuat pemerintah bertujuan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi nasional. Namun, dia mengakui, memang tak semua penerapan PKE berjalan mulus di lapangan.

“Tapi secara keseluruhan, kalau dilakukan evaluasi satu persatu saya yakin memang tidak semuanya berjalan efektif sesuai harapan. Wajar, lah. Saya melihat dalam perspektif positif, bayangkan kalau tanpa paket, jadi kita (pemerintah) enggak nyentuh sama sekali. Kita sudah sentuh pun belum semuanya sukses,” katanya kepada Validnews, Selasa (21/1).

Meski tidak semuanya berjalan secara efektif, PKE dianggap mampu meningkatkan indeks kemudahan berbisnis (ease of doing business index) di Indonesia. Dalam laporan Doing Business 2019 ‘Training for Reform A World Bank Group Flagship Report’, Indonesia berada di urutan 73.

Keberhasilan itu patut diapresiasi. Sebab pada 2016, Indonesia menempati peringkat ke-106. Kemudian merangkak naik pada urutan ke-91 pada 2017 dan urutan ke-72 pada 2018.

Hidayat berpendapat PKE yang dibuat sebetulnya lebih bertujuan utama untuk pemangkasan regulasi dalam investasi. Pemangkasan tersebut diharap dapat meningkatkan produktivitas industri dalam negeri. Selama ini, investor yang datang kerap dihadapkan dengan peraturan yang berbelit-belit.

“Sekarang orang datang ke Indonesia mau investasi. Sudah datang ke kementerian ini, ke kementerian ini. Eh, ternyata ada aturan kementerian lain,” ujarnya.

Dengan kemudahan investasi, produktivitas dalam negeri diharapkan meningkat. Sehingga, ekonomi terus bertumbuh dan daya beli masyarakat pun kian tinggi.

“Jadi kalau mengatakan berhasil atau tidak, saya tidak naif untuk mengatakan semuanya sukses, enggak,” serunya.

Hanya saja, ia menegaskan, tujuan utama dari reformasi aturan adalah eskalasi produktivitas. Salah satu caranya dengan mengundang investor dan memberikan kemudahan berinvestasi.

“Begitu ease of doing business-nya naik, artinya orang mudah melakukan bisnis di Indonesia. Kalau orang mudah melakukan bisnis di Indonesia, ini sumber pertumbuhannya,” cetusnya.

Belum Maksimal
Meski pemerintah mengklaim ‘sukses’, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Johhny Darmawan mengatakan, ke-16 PKE yang ada dijalankan dengan tidak optimal. Buktinya, masih saja ada tumpang tindih peraturan di kementerian dan lembaga. Belakangan, Omnibus Law dijadikan senjata lain pemerintah.

“Dulukan sudah dibuat yang namanya deregulasi atau paket ekonomi. Nah, paket ekonominya sudah berjalan, tapi belum maksimal. Salah satu masalahnya karena peraturan tumpang tindih. Maka itu diperlukan omnibus law,” katanya kepada Validnews, Senin (22/1).

Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Hubungan Internasional Shinta Widjaja Kamdani mengatakan, ke-16 PKE tidak berdampak positif bagi dunia industri. Sebab, iklim usaha dan investasi saat ini tak berubah secara signifikan seperti yang diharapkan para pelaku usaha.

Dia mengungkapkan, dampak PKE yang tak signifikan itu disebabkan bukan karena isi paket kebijakan yang bermasalah, melainkan karena tata pelaksanaannya di lapangan tak selaras satu sama lain. Bahkan tidak sesuai dengan kebijakan yang diimplementasikan.

“Misalnya, keputusan Mahkamah Konstitusi terkait kewenangan pemerintah pusat untuk mencabut atau mengubah aturan pemda. Itu menyebabkan seluruh paket kebijakan yang tujuannya menyelaraskan aturan pusat-daerah tidak berjalan,” ujarnya kepada Validnews, Rabu (22/1).

Selain ketidakselarasan antara pemerintah pusat dan daerah, ada juga peraturan soal insentif bagi pelaku usaha yang dianggap justru menyulitkan investor. Jadi, kata Shinta, dampak positif dari 16 PKE semakin tidak terasa dampaknya.

Ia melanjutkan, saat ini pemerintah berupaya memperbaiki reformasi paket-paket kebijakan periode lalu melalui omnibus law. Karenanya, dia mewanti, kebijakan tidak boleh hanya menargetkan dampak positif bagi iklim usaha nasional, tetapi juga memperbaiki proses pelaksanaannya di lapangan.

“Juga diharapkan bisa menjadi tools yang efektif untuk mendobrak deadlock pelaksanaan di lapangan yang terbentur oleh mandat UU atau aturan lain yang lebih tinggi, dari aturan-aturan eksekutif yang dikeluarkan oleh presiden,” ujarnya.

Reaktif
Peneliti Center of Reform On Economic (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet berpendapat, enam belas PKE yang diluncurkan pemerintah lima tahun terakhir dinilai sebagai kebijakan reaktif dari sebuah masalah yang timbul. Padahal, seharusnya ada telaah dan kajian yang mendalam sebelum kebijakan berjilid-jilid tersebut dibuat.

“Ya, memang kalau kita melihat poin besar utamanya terkait evaluasi paket kebijakan itu salah satunya adalah paket kebijakan relatif disusun dalam waktu yang relatif dekat,” kata kepada Validnews, Selasa (21/1).

Pada PKE Jilid 1 dan 2 yang berfokus untuk deregulasi dan debirokratisasi urusan bisnis, juga masih dianggap belum berjalan secara optimal. Pasalnya, masih ada tumpang tindih peraturan dan masalah koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah.

Tidak hanya itu, tujuan peluncuran PKE yang diklaim untuk membangun industrialisasi juga masih belum terlihat hasilnya. Yusuf justru menilai keberadaan PKE malah memicu deindustrialisasi.

“Indikatornya apa? Itu bisa dilihat dari perlambatan pertumbuhan industri manufaktur. Sumbangan industri manufaktur terhadap produk domestik bruto Indonesia itu semakin mengecil. Padahal kita tahu sendiri, industri manufaktur ini penting untuk Indonesia karena dapat menyerap tenaga kerja sehingga mutlak harus dimajukan,” ujarnya.

Sekadar catatan, pada November 2019, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan kinerja produksi industri manufaktur besar dan sedang (IBS) Indonesia, terus melambat dalam tiga tahun terakhir. Pada kuartal III/2019, pertumbuhan produksi IBS hanya 4,35%. Angka ini, jauh lebih rendah ketimbang produksi IBS pada kuartal III 2018 yang mencapai 5,04%, maupun kuartal III/2017 yang mencapai 5,46%.

Sebagaimana diketahui, industri manufaktur merupakan salah satu penyumbang Produk Domestik Bruto (PDB) terbesar. Pada 2018, sektor ini menyumbang 19,86% terhadap PDB. Namun, pada 2019 industri ini hanya tumbuh 4,68%, lajunya lebih lambat dibanding pertumbuhan setahun sebelumnya yang mencapai 5,02%.

Pada kuartal III 2019 saja, sektor industri dengan penurunan produksi tertinggi adalah industri barang logam, bukan mesin dan peralatannya sebesar 22,95%. Disusul industri karet, barang dari karet, dan plastik yang turun 16,63%, industri mesin dan perlengkapan turun 12,75%, dan industri pengolahan tembakau 12,73%.

Menurut data BKPM, investasi sektor manufaktur pun menurun dalam tiga tahun terakhir. Pada 2017, investasi sektor tersebut mencapai Rp274,7 triliun, turun 18% dari tahun sebelumnya yang mencapai Rp335,8 triliun. Pada 2018 kembali menurun sekitar 19% dari tahun sebelumnya menjadi Rp222,3 triliun.

Nah, sampai dengan kuartal III/2019, investasi industri manufaktur malah baru mencapai Rp147,3 triliun. Secara umum, dalam lima tahun terakhir penerimaan investasi—baik Penerimaan Modal Dalam Negeri (PMDN) maupun (PMA)—yang masuk ke Indonesia mencapai Rp3.173,6 triliun, atau rata-rata Rp634,72 triliun tiap tahun.

Pajak Meleset
Dengan segala strategi dan kemudahan layanan investasi yang diklaim bisa dilakukan dalam 3 jam, termasuk percepatan pengurusan tax allowance dan tax holiday, sejatinya memang belum berbanding lurus dengan realisasi penerimaan pajak beberapa tahun terakhir.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengungkapkan, target penerimaan pajak yang tak tercapai tahun lalu dikarenakan tantangan pemungutan pajak yang kelewat berat. “(Salah satunya) insentif pajak yang cukup banyak digelontorkan, antara lain tax holiday, tax allowance, kenaikan PTKP, kenaikan threeshold hunian mewah dan restitusi dipercepat,” katanya.

Seperti diketahui, pada 2019 penerimaan pajak lagi-lagi tidak mencapai target, hanya terealisasi Rp1.332 triliun. Jumlah itu sekitar 84,4% dari target. Dengan kata lain, terjadi shortfall Rp245 triliun dari target yang ditetapkan dalam APBN 2019 sebesar Rp1.577,6 triliun.

Realisasi penerimaan pajak dalam lima tahun terakhir, memang tidak pernah mencapai target yang ditetapkan. Persentase penerimaannya pun rata-rata hanya 86,2%. Realisasi penerimaan pajak tertinggi dalam lima tahun hanya terjadi pada 2018, saat itu persentase realisasi penerimaan pajak mencapai 92,41%.

CITA menganalisis, insentif tax holiday memang dapat mendatangkan investasi lebih dari Rp500 triliun. Namun imbasnya, pemerintah harus mencari sumber pajak lain, mengingat kebijakan yang diiringi oleh penerapan tax holiday, terbukti mengurangi penerimaan Pajak Penghasilan (PPh). 

“Tinggal dicari multiplier-nya, dalam waktu berapa lama lagi mereka akan bayar pajak dan pertumbuhan bisnis itu berapa, pertumbuhan pajak lain seperti PPN, PPh, pemotongan dan lain sebagainya,” kata Yustinus kepada Validnews, Selasa (21/1).

Asal tahu saja, karena dianggap membingungkan pelaku usaha, peraturan mengenai tax holiday sempat direvisi. Regulasi baru tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 150/PMK.010/2018 Tentang Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan (PPh Badan).

Beleid itu merevisi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 35/PMK.010/2018 tentang Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan. Nah, lagi-lagi, patut diingat, revisi aturan tax holiday ini merupakan satu dari tiga kebijakan pemerintah dalam PKE ke-16 yang isinya merelaksasi Daftar Negatif Investasi (DNI) dan pengaturan Devisa Hasil Ekspor (DHE) sumber daya alam.

Sumber: Validnews.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only