Saat sedang berusaha mendongkrak laju per tumbuhan ekonomi ke level 6%, Indonesia harus menghadapi kenyataan pahit. Kondisi ekonomi didera ketidakpastian. Di dalam negeri, daya beli masyarakat mengalami stagnasi dan investasi belum membuahkan hasil.
Ekonomi Indonesia tahun ini masih tetap bertumbuh. Pemerintah yakin dengan target pertumbuhan 5,3%. Sedang kalangan ekonom di luar pemerintahan memperkirakan laju pertumbuhan tahun ini berkisar 4,5-4,9%.
Alasan mereka, daya beli masyarakat menunjukkan pelemahan. Sedang upaya mendongkrak investasi yang dilancarkan pemerintah belum bisa memberikan dampak positif dalam waktu dekat.
Omnibus law yang digembar-gemborkan pemerintah membutuhkan waktu. Di tataran konsep, omnibus law cukup bagus dan menjanjikan. Tapi, eksekusi membutuhkan waktu. Setelah menjadi undang-undang (UU), omnibus law harus dijabarkan dalam peraturan pemerintah dan peraturan menteri agar lebih operasional.
Pekan ini, pemerintah rencana mengajukan secara resmi dua RUU omnibus law ke DPR. Didahului RUU Cipta Lapangan Kerja, tahap selanjutnya adalah RUU Perpajakan. Presiden Jokowi dua pekan lalu meminta DPR untuk menyelesaikan RUU omnibus law dalam seratus hari.
Sedang Ketua DPR RI Puan Maharani menyanggupi untuk menuntaskan pembahasan RUU omnibus law secepatnya. Omnibus Law Cipta Lapangan mengakui sebelas klaster, antara lain, penyederhaan perizinan, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, pemberdayaan UMKM, kemudahan berusaha, dan kawasan ekonomi. Sedang Omnibus Law Perpajakan mencakup pendanaan investasi, sistem teritori, subjek pajak orang pribadi, kepatuhan wajib pajak, keadilan iklim berusaha, dan fasilitas. Penerapan omnibus law tidak mudah. Pertama, masalah ketenagakerjaan membutuhkan “wisdom” dari pemerintah agar kehadiran Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja memberikan penjelasan insentif kepada dua pihak sekaligus: pemberi kerja dan pekerja.
Jika hanya kepentingan satu pihak yang lebih diperhatikan, masalah investasi akan tetap besar. Hingga saat ini, perangkat hukum ketenagakerjaan lebih berpihak pada pekerja, tidak kepada pemberi kerja.
Pekerja yang melakukan pelanggaran pun diberikan pesangon. Perusahaan yang bangkrut terbebani oleh berbagai kewajiban. Investor melihat bahwa mereka diberikan kemudahan membuka usaha, tapi tidak ada kemudahan apa pun ketika menutup perusahaan karena bangkrut.
Namun, Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja seperti pendulum yang bergerak ekstrem membela investor. Terkesan RUU ini mengabaikan kepentingan pelaku bisnis. Tidak ada tokoh buruh yang dilibatkan dalam pembahasan omnibus law. Wacana pemberian upah per jam sudah ditentang habis kalangan buruh. Konsumsi rumah tangga masih menjadi pendorong terbesar pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan kontribusi sekitar 56% terhadap produk domestic bruto (PDB).
Upaya mendongkrak belanja rumah tangga tidak mudah. Karena kenaikan konsumsi rumah tangga sangat tergantung pada kenaikan pendapatan masyarakat. Kenaikan daya beli masyarakat tergantung pada tingkat pengangguran dan tingkat upah.
Oleh karena itu, investasi menjadi sumber utama pertumbuhan. Tanpa investasi, tidak ada lapangan pekerjaan. Tanpa lapangan pekerjaan, tidak ada pendapatan. Meski kontribusi investasi terhadap PDB tak sebesar konsumsi rumah tangga, investasi memainkan peran sangat penting. Dengan kontribusi terhadap PDB sekitar 32%, investasi menjadi penentu utama sukses Indonesia mendongkrak laju pertumbuhan ekonomi.
Kondisi global belum menunjukkan indikasi kuat resesi ekonomi. Laju pertumbuhan ekonomi dunia masih positif, terutama dua negara besar yang menjadi mesin pertumbuhan ekonomi dunia. Konsumsi AS dan RRT, masing- masing, sekitar 26% dan 16% dari konsumsi dunia. AS masih bertumbuh di atas 2% dan RRT di atas 6%.
Dalam pada itu, The Federal Reserve (Fed) cenderung menurunkan suku bunga. Saat ini, FFR berada di level 1,50- 1,75%. Bank sentral AS ini pun sudah menambah likuiditas perekonomian dengan mencetak uang, kebijakan yang biasa dikenal dengan nama quantitative easing.
Sejak resesi ekonomi 2008, AS terus berada di fase recovery meski berjalan lambat kalangan ekonom sepakat, resesi ekonomi tidak terjadi dalam satu-dua tahun ke depan. Tapi, hingga sepuluh tahun ke depan, 2030, resesi ekonomi bisa saja terjadi. Salah satu faktor yang perlu diwaspadai adalah gejala “black swan”, yakni peristiwa tak terduga yang menurunkan pertumbuhan ekonomi.
Virus Korona merupakan salah satu gejala “angsa hitam”. Virus ini bisa menurunkan pertumbuhan ekonomi RTT 0,5-1,0%. Dengan laju pertumbuhan ekonomi 5% setahun, Indonesia jauh dari resesi. Tapi, dengan PDB per kapita yang baru sekitar US$ 4.000 dan ancaman “black swan” yang bisa muncul kapan saja, Indonesia harus waspada dan terus-menerus melakukan perbaikan iklim investasi.
Dalam 19 tahun terakhir, laju pertumbuhan 6% hanya terjadi lima kali, yakni tahun 2007 (6,35%), 2008 (6,01%), 2010 (6,22%), 2011 (6,17%), dan 2012 (6,03%).
Untuk mendongkrak PDB per kapita, laju pertumbuhan ekonomi Indonesia harus di atas 7%, minimal 6%. Oleh karena itu, langkah konkret kemudahan investasi sangat penting. RUU Omnibus Law perlu secepatnya diundangkan dan dijabarkan dalam petunjuk pelaksanaan lewat keputusan menteri di berbagai sektor. Sikronisasi semua peraturan dan perundangan di bidang investasi, ketenagakerjaan, dan perpajakan harus segera menjadi kenyataan.
Selain itu, koordinasi antarinstansi, kerja sama lembaga keuangan, Indonesia, dan Kementerian Keuangan, serta pusat dan daerah harus bisa berjalan dengan mulus.
Sumber: investor.id

WA only
Leave a Reply