Pajak Rumah Investasi

Reformasi pajak yang dikerjakan selama pemerintahan Jokowi masih belum signifikan dan lambat, jauh dari memadai. Itulah sebabnya, sisi sasaran rasio pajak tidak tercapai, demikian pula dalam perannya untuk mendorong pertumbuhan investasi yang tinggi.

Kelanjutan agenda penting ini kini ditumpukan pada omnibus law perpajakan, yang diharapkan tuntas semester ini.

Penyusunan omnibus law perpajakan tersebut di tangan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, yang masih menduduki posisi ini sejak tahun 2016. Tahun itu ia bekerja sebagai direktur pelaksana Bank Dunia, sebelum dipanggil pulang oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk kembali menjadi menkeu, posisi yang juga pernah dijabat era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebelumnya. SMI pun langsung membentuk tim reformasi perpajakan tahun 2016 itu, untuk mendongkrak rasio pajak yang sejak lama mandek di kisaran 11% dari produk domestik bruto (PDB).

Tim tersebut diisi berbagai kalangan, mulai dari pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pelaku usaha, pengamat atau ahli, hingga dari lembaga internasional seperti Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF). Tim reformasi yang bertugas selama empat tahun, mulai 2017 sampai 2020, ini salah satu tujuan utamanya adalah meningkatkan rasio pajak dari 11% menjadi 15% PDB.

Sayangnya, hingga kini pemerintahan Jokowi menginjak periode kedua, rasio pajak tetap tak beranjak jauh dari 11% PDB. SMI juga sejak awal tahun lalu mengabarkan rencana penurunan pajak penghasilan (PPh) badan atau perusahaan dari 25% menjadi 20%, namun hingga kini belum ada realisasinya. Undang-undangnya pun belum direvisi.

Sementara itu, presiden Amerika Serikat yang juga dari kalangan pengusaha seperti Donald Trump, sudah lama memangkas pajak korporasi dari 35% ke 21% dan terbukti berhasil me-recovery ekonomi besarnya.

Pengusaha kita tentu saja berkalikali menagih janji penurunan pajak ini, yang sekarang baru dijawab lewat akan dibuatnya omnibus law perpajakan yang dibahas bersama DPR. Dalam draf omnibus law perpajakan, yakni Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian, antara lain disebutkan sejumlah perubahan yang diharapkan juga mendorong peningkatan investasi.

Salah satu poin pentingnya disebut, pemerintah menetapkan ketentuan dan fasilitas perpajakan untuk meningkatkan pendanaan investasi; menjamin keberlangsungan usaha dan mendorong kepatuhan wajib pajak secara sukarela; menciptakan keadilan iklim berusaha di dalam negeri; mendorong sektor prioritas skala nasional; serta meningkatkan pengembangan dan pendalaman pasar keuangan dalam rangka penguatan perekonomian.

Ketentuan dan fasilitas perpajakan itu berupa penyesuaian tariff pajak penghasilan wajib pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap; perlakuan perpajakan atas dividen dan penghasilan lain dari luar negeri; pengaturan tarif pajak penghasilan atas bunga; pengaturan pengenaan pajak penghasilan bagi wajib pajak orang pribadi; pengaturan mengenai pengkreditan pajak masukan; serta pengaturan mengenai sanksi administratif.

Selain itu, pengaturan mengenai besarnya imbalan bunga; pengaturan mengenai pemberian fasilitas perpajakan; perlakuan perpajakan dalam kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE); serta pengaturan mengenai pajak daerah.

Penyesuaian tarif pajak penghasilan wajib pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap itu berupa penurunan tarif Pasal 17 Undang-Undang mengenai Pajak Penghasilan, yakni dari 25% yang berlaku selama ini menjadi 22% pada tahun pajak 2021 dan tahun pajak 2022. Kemudian, sebesar 20% mulai tahun pajak 2023.

Untuk wajib pajak dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka, dengan jumlah keseluruhan saham yang disetor untuk diperdagangkan pada bursa efek di Indonesia paling sedikit 40% dan memenuhi persyaratan tertentu, dapat memperoleh tarif sebesar 3% lebih rendah dari tarif normal. Ketentuan mengenai persyaratan tertentu itu selanjutnya diatur dengan peraturan pemerintah.

Klausul mengenai persyaratan tertentu yang diatur dengan peraturan pemerintah semacam itu yang selama ini menimbulkan ketidakpastian,yang menyulitkan investor untuk memperoleh fasilitas pajak yang dijanjikan.

Masalah ini antara lain yang menghambat masuknya investasi di sektor manufaktur, yang dibutuhkan untuk cita-cita transformasi ekonomi dari berbasis sumber daya alam ke manufaktur bernilai tambah tinggi.

Selama ini, insentif pajak yang dijanjikan pemerintah kurang diminati investor manufaktur, karena ketiadaan kepastian penerimaan insentif. Alhasil, dari 33 industri Tiongkok yang merelokasi pabrik tahun lalu menyusul pecahnya perang dagang Amerika Serikat dengan RRT, sebanyak 23 boyong ke kompetitor kita Vietnam. Sisanya terpencar di negara-negara tetangga Asean lain seperti Kamboja, Myanmar, Thailand, dan Malaysia, namun tak satu pun ke Indonesia. Vietnam juga menikmati limpahan pasar ekspor dan surplus neraca perdagangan.

Sedangkan ekspor RI terus merosot dan neraca dagang defisit. Dalam masalah pajak ini, tak hanya para pengusaha yang mengeluhkan rumitnya sistem perpajakan RI. Kemenko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan yang juga pernah menjadi pengusaha pun mengingatkan, persoalan pajak itu harus segera dibenahi, agar Indonesia tak kalah saing dengan negara tetangga dalam memikat investasi masuk. Lembaran formulir pajak yang harus diisi jangan terlalu panjang.

Hambatan itu yang selama ini membuat banyak perusahaan multinasional tidak mau memilih Indonesia untuk regional headquar ter, atau bahkan sekadar service center. Meski perusahaan mancanegara yang beroperasi di Asia Tenggara tersebut mengambil banyak bisnis di Indonesia, mereka tetap memilih Singapura, bukan Jakarta.

Dengan demikian, omnibus law perpajakan juga harus memastikanbahwa peraturan pajak kita dibuatsederhana. Reformasi perpajakan iniharus tuntas agar investor lebih tenanguntuk berinvestasi dan pertumbuhaninvestasi tinggi.

Hal lain yang tak kalah penting, potensi penurunan penerimaan Negara sampai Rp 80 triliun dari posisi saat ini jangan membuat pengusaha yang patuh pajak justru dikejar-kejar petugas pajak. Pemerintah tetap harus menurunkan PPh badan untuk mendorong investasi dan ekspansi guna menambah lapangan kerja dan mengakselerasi pertumbuhan ekonomi, yang bisa dikompensasi dengan terutama memperluas basis pajak lewat ekstensifikasi.

Sementara itu, PPh orang pribadi tidak perlu diturunkan plus korupsi dan kebocoran terus ditekan mendekati nol, untuk memenuhi keadilan masyarakat dan tercapainya pemerintahan kredibel.

Sumber : Investor.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only