Obral Diskon Pajak dalam Omnibus Law dan Risiko Utang Negara

Indonesia dalam lima tahun ke depan membutuhkan investasi mencapai Rp 35 ribu triliun demi mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 6%. Berbagai insentif, terutama di bidang perpajakan disiapkan untuk mengejar target tersebut.

Teranyar, pemerintah telah membuat Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakkan dan Penguatan Perekonomian atau yang dikenal dengan omnibus law perpajakan. Aturan tersebut menganulir sejumlah pasal dalam tujuh undang-undang perpajakan.

Saat ini, draf aturan itu sudah ditangan DPR untuk kemudian dibahas dengan pemerintah sebelum disahkan sebagai undang-undang.

Dalam RUU tersebut, tarif pajak penghasilan atau PPh wajib pajak badan dalam negeri akan dipangkas secara bertahap dari saat ini sebesar 25% menjadi 22% pada tahun pajak 2021 dan 2022. Kemudian diturunkan lagi menjadi 20% pada tahun pajak 2023.

Adapun untuk wajib pajak yang menjadi perusahaan terbuka dengan kepemilikan saham publik mencapai 40% akan memperoleh tarif lebih rendah 3%.

Wajib pajak juga dapat memperoleh pengecualian tarif PPh atas dividen yang diperoleh dari dalam negeri jika kembali diinvestasikan di Indonesia dalam jangka waktu tertentu. Kalonggaran tarif PPh juga diberikan atas dividen yang diperoleh dari kegiatan usaha di luar negeri. Adapun tarif PPh dividen saat ini berkisar antara 10% hingga 20%.

Berbagai fasilitas pajak seperti tax holiday, tax allowance, super deduction tax, fasilitas PPh untuk kawasan ekonomi khusus, PPh untuk surat berharga negara, dan keringanan atau pembebasan pajak daerah oleh kepala daerah juga diatur dalam RUU tersebut.

Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut RUU omnibus law merupakan insentif yang diberikan pemerintah terhadap pengusaha. Dengan harapan, para pengusaha dapat mengembangkan bisnisnya sehingga membantu peningkatan ekonomi Indonesia melalui penciptaan nilai tambah yang kompetitif.

“Ini semua juga sinyal kepada pengusaha jangan terlalu banyak pikiran untuk lobi dengan membayar birokrat untuk simplify pajak. Jadi gunakan semua pikiran dan hati untuk menciptakan nilai tambah yang kompetitif,” ujar Sri Mulyani di depan para pengusaha di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Para pengusaha juga diharapkan dapat meningkatkan investasi di dalam negeri. Dengan demikian, perekonomian diyakini dapat tumbuh lebih kencang.

Berdasarkan perhitungan Badan Kebijakan Fiskal dalam naskah akademik RUU omnibus law, pemangkasan tarif PPh badan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 1% pada 2030. Namun untuk jangka pendek, dampaknya dapat bersifat negatif yakni minus 0,09% pada 2021.

Adapun pada akhir tahun periode pemerintahan Jokowi atau 2024, tambahan pertumbuhan ekonomi atas penurunan PPh badan baru mencapai 0,49%. Padahal, pada tahun tersebut, pemerintah dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional atau RPJMN menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,2% hingga 6,5% seperti terlihat dalam databoks di bawah ini.

Sementara itu, potensi penerimaan negara yang hilang dari penurunan tarif PPh menjadi 22% diperkirakan mencapai Rp 53 triliun dan Rp 50,13 triliun pada 2021 dan 2022. Sedangkan pada 2023 hingga 2030, potensi penerimaan negara yang hilang mencapai Rp 99 triliun hingga Rp 150,2 triliun.

Risiko Penerimaan dan Utang
Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri menilai ada salah kaprah dalam tujuan pembentukan omnibus law, termasuk terkait perpajakan. Pemerintah seolah berupaya memperbaiki kinerja investasi yang buruk melalui deregulasi dan berbagai diskon pajak.

“Banyak sekali yang akan dinikmati oleh korporasi demi untuk menggenjot investasi. Padahal selama ini kinerja investasi tidak jelek-jelek amat,” ujar Faisal dalam situs pribadinya, dikutip Jumat (14/2).

Penurunan tarif PPh badan sudah lama diwacanakan Presiden Joko Widodo. Jokowi sering kali membandingkan tarif pajak Indonesia dengan Singapura maupun negara ASEAN lainnya dan menilai perbedaan tarif menjadi hambatan investasi.

Padahal, menurut Faisal, membandingkan daya tarik Indonesia dengan Singapura hanya menggunakan indikator tarif pajak tidak tepat. Tak ada satu pun kajian yang sangat meyakinkan tentang dampak penurunan tarif pajak terhadap peningkatan investasi asing langsung.

Ia menyebut Tiongkok yang memiliki tarif PPh badan sebesar 25% dan India sebesar 25,17% terus diburu oleh investor asing. Padahal, tarif PPh mereka juga jauh berada di atas Singapura sebesar 17% atau sama dengan Indonesia saat ini.

Guyuran diskon pajak yang diberikan pemerintah pun menimbulkan kekhawtiran terhadap risiko penerimaan pajak. Apalagi, data penerimaan pajak pada tahun lalu tak menggembirakan.

Faisal Basri menghitung nisbah pajak atau tax ratio pada 2019 hanya mencapai 9,8%, level terendah dalam setengah abad terakhir.

Ia menggunakan perhitungan data Produk Domestik Bruto (PDB) 2019 yang dirilis BPS dan data penerimaan pajak dalam APBN Kita terbitan Kementerian Keuangan edisi Januari 2020. Tax rasio adalah perbandingan antara penerimaan pajak dan total PDB.

Adapun perhitungan tax ratio yang digunakan adalah versi yang lazim digunakan di dunia bukan versi pemerintah yang memasukkan penerimaan negara bukan pajak dari sumber daya alam.

Jika penerimaan pajak lebih rendah, pemerintah otomatis harus menambah utang untuk membiayai belanja negara yang terus meningkat.

Berdasarkan data APBN Kita, penerimaan pajak pada tahun lalu mencapai Rp 1.332,06 triliun. Adapun shortfall atau kekurangan penerimaan dari target mencapai Rp 245,5 triliun.

Akibatnya, realisasi pembiayaan utang pemerintah hingga akhir tahun lalu membengkak dari target Rp 359,3 triliun menjadi Rp 435,4 triliun. Adapun total utang pemerintah hingga akhir tahun lalu menembus Rp 4.778 triliun, menanjak dari posisi akhir 2018, seperti terlihat dalam databoks di bawah ini.

“Perkembangan yang kurang menggembirakan tersebut seharusnya menjadi warning bagi pemerintah yang akan mengobral pajak sebagaimana tertera dalam rancangan omnibus Law perpajakan,” ucap Faisal.

Cari Strategi Tambal Penerimaan
Selain insentif, omnibus law sebenarnya juga memuat upaya untuk meningkatkan penerimaan pajak, antara lain melalui pengaturan pajak digital. Namun, Pengamat Perpajakan Yustinus Prastowo menilai dampaknya terhadap penerimaan belum akan mampu menutup dampak penurunan tarif PPh.

“Sebenarnya di RUU itu ada konsep ekstensifikasi, tetapi tidak akan sebesar kehilangan dari PPh dalam jangka pendek. Hanya saja saya belum dapat menghitung kekurangannya,” jelas dia.

Oleh karena itu, ia menilai Ditjen Pajak harus memanfaatkan dengan baik sisa waktu sebelum penerapan tarif PPh menyiapkan strategi guna menambal kekurangan penerimaan pajak.

“Harus dipikirkan matang karena tahun ini saja pemerintah sepertinya akan kesulitan mencapai target penerimaan karena kondisi global, target pajak harus direvisi melalui APBNP,” kata dia.

Adapun menurut dia, terdapat sejumlah masalah krusial yang belum ditampung dalam omnibus law perpajakan. Pertama, pengaturan tarif PPh final. Kedua, kepastian penyelesaian sengketa pajak. Ketika, penyederhanaan prosedur pajak. Keempat, penggunaan nomor induk kependudukan sebagai nomor identitas tunggal guna mempermudah perpajakan.

Sementara itu, Pengamat pajak dari DDTC Fiscal Research Bawono Kristiaji menilai omnibus law dalam jangka menengah panjang akan mampu mendorong penerimaan pajak. Sebab, RUU tersebut juga memuat upaya untuk meningkatkan kepatuhan sukarela, pajak digital, serta memperluas basis cukai yang diharapkan mendatangkan penerimaan.

“Relaksasi tarif dalam jangka menengah-panjang juga dapat meningkatkan basis pajak yang pada akhirnya akan berkontribusi bagi penerimaan pajak di masa mendatang,” kata dia.

Bawono pun menilai menu relaksasi dalam omnibus law pajak untuk mendorong investasi sudah cukup lengkap. Namun, ia mengingatkan pajak hanyalah salah satu dari sekian faktor yang berpengaruh bagi perilaku usaha. Masih banyak komponen lain, seperti infrastruktur, birokrasi, ketenagakerjaan, dan sebagainya yang turut berpengaruh.

“Dengan kata lain, adanya omnibus law perpajakan juga harus diiringi dengan pembenahan di area lain,” jelas dia.

Sumber: Katadata.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only