Korona Mulai Gerogoti Pertumbuhan Ekonomi

Pemerintah perlu mewaspadai dampak virus korona terhadap perekonomian. Dampaknya sudah mulai terlihat di beberapa sektor. Bagaimana mitigasinya ?

Jalannya perekonomian kita seperti bunyi pepatah: sudah jatuh tertimpa tangga pula. Belum reda efek perang dagang China vs Amerika Serikat, kini muncul petaka baru yang bersumber dari wabah virus korona, Covid-19.

Menghantui dunia sejak Desember 2019, wabah virus yang berpusat di Wuhan, China, itu kini turut menjangkit sektor perdagangan dunia. Tak pelak, kinerja perdagangan Indonesia pun ikut terdampak.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru mencatat, ekspor Indonesia ke China turun US$ 211,9 juta ketimbang bulan sebelumnya. Beberapa komoditas yang mengalami penurunan adalah bijih, terak, abu logam, lemak hewan nabati, dan bahan kimia organik.

Sementara impor dari China juga menyusut US$ 125,2 juta dibanding dengan buah sebelumnya. Nah, yang harus di waspadai, penurunan impor terbesar terjadi pada golongan barang mesin dan peralatan mekanis serta besi dan baja yang notabene menjadi bahan baku dan barang modal bagi industri manufaktur nasional.

Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, penurunan impor bahan baku dan barang modal itu masing-masing sebesar 7,35% year on year (yoy) dan 5,26% yoy. Tentu penurunan impor itu bakal memengaruhi industri pengolahan dan manufaktur. Pada akhirnya juga bakal berimbas pada pertumbuhan ekonomi Indonesia.

“Saat ini bahan baku belum ada subtansi. Padahal sangat diperlukan untuk produksi. Maka harus waspada agar ini tidak memengaruhi industri pengolahan karena kalau dilihat, sektor manufaktur sudah ada perlambatan,” tandasnya.

Suhariyanto mengakui, pengaruh wabah korona terhadap pelemahan kinerja ekspor Indonesia baru terasa di akhir Januari 2020. Besar kemungkinan dampak negatif korona terhadap perdagangan semakin besar di bulan Februari 2020. “Kita semua perlu waspada,” ujarnya.

Apa yang disampaikan Suhariyanto tidak berlebihan. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun menghitung, setiap penurunan pertumbuhan ekonomi China sebesar 1% berdampak pada turunnya perekonomian Indonesia sebesar 0,3%-0,6%. Penurunan konsumsi dan mobilitas masyarakat maupun perekonomian China akan berdampak pada turunnya permintaan terhadap barang-barang dari Indonesia,” ujar Sri Mulyani (19/2).

Pariwisata termasuk sektor yang paling terdampak wabah virus korona.

Tak pelak, bayang-bayang resesi yang sempat muncul di 2019, dan menghilang di awal 2020, kini datang kembali. Itu sebabnya sejumlah lembaga keuangan dunia kompak memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun ini.

International Monetary Fund (IMF), misalnya, belum lama ini kembali memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global 2020 jadi 3,3%. Angka yang terendah dalam satu dekade. Proyeksi itu seiring dengan risiko perlambatan ekonomi di beberapa negara raksasa ekonomi dunia, seperti China, AS dan Jepang akibat wabah korona.

Bahkan wabah virus korona juga menyengat ekonomi negara tetangga kita: Singapura. Proyeksi Moody’s menyebut ekonomi Singapura tahun ini hanya akan tumbuh sekitar 0,5%-0,5% di bawah prediksi sebelumnya 0,5%-2,5%.

Penurunan terbesar dialami China sebagai pusat penyebaran Covid-19. Ekonomi China yang semula diprediksi hanya 5,8% kini diprediksi hanya 5,2%. Setali tiga uang, Jepang juga diprediksi melanjutkan pertumbuhan ekonomi negatif. Jika semula prediksi ekonomi Jepang 0,7% tahun ini, maka di kuartal pertama tahun ini diprediksi susut 3,7%.

Lesunya perekonomian raksasa dunia itu tentu menjadi pukulan bagi sejumlah negara yang berhubungan dagang. Tak terkecuali Indonesia.

Selama ini, ketiga negara itu menjadi negara tujuan ekspor produk non-migas Indonesia terbesar, dengan kontribusi mencapai 38,41% dari total ekspor. Khusus ekspor ke China saja menyumbang sekitar 15% dari total ekspor ke China saja menyumbang sekitar 15% dari total ekspor. Sementara porsi ekspor ke AS dan Jepang berkisar 10%.

Ikut terkoreksi

Tak heran, bila guncangan ekonomi di tiga negara itu turut dirasakan Indonesia. Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri punya hitungan lebih ringan dari Sri Mulyani: penurunan pertumbuhan ekonomi China sebesar 1% akan berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia sekitar 0,1%-0,3%.

Dengan asumsi itu, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa di bawah 5%. “Pertumbuhan ekonomi kita bisa turun di menjadi 4,7%-4,9%” katanya.

Hal itu juga terjadi saat virus SARS mewabah pada 2003 lalu di China. Virus tersebut membuat ekonomi China mengalami koreksi 1%. Nah, di saat yang sama, Indonesia juga turut merasakan dampaknya.

Belajar dari pengalaman itu, Indonesia seharusnya sudah bisa melakukan langkah mitigasi guna mengantisipasi dampak perlambatan tersebut.

Menteri Perdagangan Agus Suparmanto mengakui, wabah korona turut mempengaruhi kinerja ekspor Indonesia. “Memang ada dampaknya, ekspor impor ada sedikit perlambatan,” ujar Agus.

Menurut Agus, kinerja ekspor terganggu lantaran Pemerintah China membatasi pergerakan orang guna mengantisipasi penyebaran virus. Hal itu berdampak terhadap aktivitas produksi dan juga perdagangan. “Akibat pembatasan pergerakan orang, otomatis konsumsinya juga ikut berkurang,” jelasnya.

Pembatasan pergerakan orang di Tiongkok itu, misalnya, berimbas terhadap konsumsi energi seperti bahan bakar minyak. Selain itu, pengeluaran belanja masyarakat di sana juga terganggu, sehingga membuat konsumsi melemah.

Tidak hanya Indonesia, kondisi itu membuat perdagangan semua negara dengan Tiongkok turut melemah. “Ya, otomatis kita akan buka keran ekspor ke pasar lain. Tetapi, yang khusus bahan baku tetap dari sana,” lanjutnya.

Impor tetap berjalan

Agus menyebutkan, pembatasan impor bahan baku dari Tiongkok belum dilakukan. Saat ini, pemerintah baru membatasi impor yang berkaitan dengan impor hewan. Namun demikian, impor bahan baku juga ikut terganggu akibat pembatasan pergerakan orang disana. Belum lagi, Januari lalu bertepatan dengan libur tahun baru China.

“Impor bahan baku dari Tiongkok ini tetap berjalan sebagaimana mestinya. Misalnya, bawang putih juga tidak kami rem, kok. Yang jelas bahan baku kami pastikan tidak terganggu,” tambahnya.

Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Iskandar Simorangkir mengatakan, pemerintah terus memantau dampak wabah korona terhadap perekonomian.

Ia tidak menampik, dampak yang ditimbulkan cukup besar, karena di saat bersamaan permintaan global juga sedang melemah, sehingga makin memukul perekonomian dunia. Namun demikian, ia tetap optimistis pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini masih bisa di level 5%.

Nah, untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi, pemerintah akan mendorong permintaan domestik sebagai penopang pertumbuhan.

Sementara dari sisi pariwisata, pemerintah akan menggenjot turis domestik dengan menyediakan diskon tiket penerbangan ke beberapa destinasi wisata di dalam negeri. “Ini termasuk pengalihan dari yang membatalkan penerbangan ke China itu. Kita alihkan ke domestik saja,” kata Iskandar.

Yusuf Rendy Manilet, ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, menilai, pariwisata termasuk sektor yang paling terdampak virus korona. Pasalnya, porsi turis China ke Indonesia sendiri mencapai 13% atau terbesar kedua setelah Malaysia. Jumlahnya hampir 2 juta orang.

Namun demikian, ia melihat sumbangan pariwisata terhadap neraca transaksi berjalan masih relatif kecil jika dibandingkan dengan neraca dagang. Menurut dia, dampak ke ekonomi Indonesia tetap didominasi disrupsi dagang dan rantai pasokan. Pasalnya, 27% impor non migas Indonesia berasal dari China, sedangkan 16,7% pangsa pasar ekspor Indonesia adalah ke China.

Apalagi, China merupakan konsumen besar komoditas Indonesia, yaitu importir terbesar kedua CPO dan importir terbesar ketiga untuk batubara.

Karena itu, ia melihat defisit transaksi berjalan akan kembali membesar dengan pertumbuhan ekonomi di rentang 4,9%-5,1%.

Sementara itu, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhina Yudhistira Adhinegara memprediksi, defisit neraca dagang di bulan Februari bakal melebar di kisaran US$ 1 miliar hingga US$ 1,3 miliar. Jauh lebih tinggi ketimbang defisit bulan Januari 2020 yan sebesar US$ 870 juta.

Belajar dari pengalaman wabah SARS tahun 2003 yang bertahan hingga sembilan bulan, nampaknya gangguan ke sektor perdagangan akan berlangsung cukup lama. Celakanya, di saat ekspor loyo, laju impor diperkirakan bakal naik menjelang bulan suci Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri nanti. “Defisit dagang nampaknya bakal terus melebar,” ujarnya.

Sumber : Tabloid Kontan

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only