Menyoal Pengenaan Cukai Kantong Plastik

Pertumbuhan ekonomi tidak hanya bertujuan mengurangi kemiskinan atau kesenjangan sosial, tetapi sudah mempertimbangkan keberlanjutan pembangunan antar generasi. Salah satunya adalah isu lingkungan hidup. Kesepakatan seluruh negara tercantum dalam aksi global Sustainable Development Goals (SDGs) yang diharapkan tercapai tahun 2030. Aktivitas ekonomi dapat memunculkan dampak yang merugikan pihak lain atau dikenal dengan eksternalitas negatif atau merugikan. Aktivitas ekonomi bisa berupa produksi maupun aktivitas konsumsi.

Salah satu eksternalitas negatif yang dianggap sudah mengganggu lingkungan adalah penggunaan plastik. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebutkan, bahka konsumsi kantong plastik di Indonesia mencapai lebih dari 100.000 kilogram (kg) per tahun. Indonesia pun menjadi salah satu negara yang memiliki sampah plastik terbesar kedua di dunia.

Karena sifat penggunaannya yang didominasi sekali pakai dan tidak bisa didaur ulang, plastik merusak lingkungan, bahkan hingga mengancam kehidupan satwa. Tetapi, terdapat kesulitan untuk menuntut siapa yang secara moral bertanggungjawab. Produsen tidak bisa dianggap pihak yang bersalah, sementara mengaharapkan kesadaran konsumen cenderung sia-sia. Dalam hal ini terjadi kegagalan pasar (market failure), sehingga harapan terakhir adalah tindakan pemerintah. Pemerintah bisa melakukan tindakan dengan memengaruhi pasar melalui pengenaan pajak (corrective taxation) atau tanpa mekanisme pasar dengan mengeluarkan regulasi.

Mekanisme pasar lewat cukai

Untuk mengurangi konsumsi suatu produk yang mengakibatkan eksternalitas negatif, pengenaan pajak diharapkan akan menambah harga jual. Pajak jenis ini dikenal dengan cukai sesuai sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 2007. Pengenaan cukai harus memenuhi sifat dan karakteristik barang-barang yang konsumsinya harus dibatasi; barang-barang yang konsumsinya berdampak pada rusaknya lingkungan hidup; serta sebagai sarana untuk memenuhi rasa kebersamaan dan keadilan di masyarakat.

Kementerian Keuangan (Kemkeu) telah mengusulkan pengenaan cukai atas plastik untuk ketebalan tertentu sebesar Rp 30.000 per kg atau setara Rp 200 per lembar. Tarif yang diusulkan masih rendah dibandingkan dengan beberapa negara yang sudah menerapkan cukai plastik. Langkah ini diharapkan membuat konsumsi plastik berkurang hingga 50% dan dapat memunculkan potensi penerimaan cukai sebesar Rp 1,6 triliun. Terlepas dari potensi pendapatan yang ada, seharusnya kita fokus ke tujuan awal yakni untuk mengurangi eksternalitas negatif.

Masyarakat Indonesia masih belum banyak mengenal cukai. Karena, cukai saat ini hanya diberlakukan hanya untuk tiga produk yaitu hasil tembakau (terutama rokok), etil alkohol, dan minuman yang mengandung etil alkohol. Mendengar perluasan pengenaan pajak, masyarakat masih menganggap hanya sebagai perluasan basis data pemajakan, sehingga mereka cenderung bersikap skeptis.

Cukai hanyalah salah satu instrumen fiskal yang memanfaatkan mekanisme pasar. Instrumen, kita inget sejumlah kota (Bogor, Denpasar, Balikpapan, Samarinda, dan Jakarta) pernah memberlakukan pengurangan penggunaan kantong plastik. Namun, kebijakan tersebut tiba-tiba berhenti tanpa alasannya adalah tidak ada regulasi yang kuat (dalam hal ini peraturan pemerintah pusat). Penggunaan kantong plastik masih meluas dan salah satu fenomenanya adalah beberapa toko ritel modern tidak menggratiskan kantong plastik.

Pengenaan cukai sebesar Rp 200 per lembar juga diperkirakan tidak dapat mengurangi sampah plastik dalam jumlah yang signifikan. Kantong plastik hanya sebagian kecil dari sampah plastik di Indonesia. Sampah plastik terutama berasal dari kemasan makanan dan minuman, sehingga lebih bersifat eksternalitas negatif konsumsi.

Sementara negara-negara maju sudah menerapkan kebijakan yang lebih komprehensif, yang bertujuan menghambat konsumsi makanan dan minuman yang memiliki kemasan yang berpotensi menghasilkan sampah plastik. Kebijakan tersebut mulai dari yang bersifat regulasi, misalnya, pelarangan penggunaan kemasan plastik atau kantong plastik sampai dengan pengenaan pajak yang sangat ekstensif. Contohnya, harga minuman air mineral dalam kemasan plastik atau berkisar AU$ 3 di Australia atau € 3 di Prancis atau sekitar lebih dari Rp 30.000 untuk ukuran 600 ml.

Ekstensifikasi cukai

Meskipun memungkinkan dalam UU, tapi pemerintah masih terlihat sangat berhati-hati terhadap pengenaan cukai. Beberapa jenis eksternalitas negatif konsumsi masih sekadar wacana untuk dikenakan cukai, mulai emisi kendaraan bermotor, minuman berpemanis (termasuk dalam bentuk bubuk), hingga industri semen. Namun, pengenaan cukai terhadap jenis barang-barang tersebut tidak semudah menetapkan tujuannya.

Pertama, segala jenis penambahan barang kena cukai harus sesuai dengan amanat Pasal 23 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang berbunyi: “Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang”. Maknanya adalah, segala bentuk pemajakan harus berdasarkan persetujuan rakyat sesuai dengan kesepakatan seluruh dunia sebagaimana termaktub dalam Magna Charta.

Kedua, menambah distorsi bagi perekonomian, apalagi di tengah industri nasional yang masih belum matang serta masih dalam masa menikmati peningkatan daya beli masyarakat seiring peningkatan penghasilan.

Ketiga, kesulitan secara administratif. Selama ini, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai hanya mengawasi industri rokok dan minuman beralkohol, sementara penambahan barang kena cukai dipastikan membutuhkan kesiapan yang sangat baik. Berbeda dengan pajak penjualan atau pajak pertambahan nilai (PPN) yang mengenakan pajak saat terjadi penjualan, maka pengenaan cukai akan berpusat ke produsen saat mereka berproduksi.

Pengenaan pajak yang lebih bersifat pajak sebagai fungsi reguler akan jauh lebih efektif dengan menekan ke jumlah produksi, bukan jumlah penjualan. Bagaimanapun juga, perluasan cukai sangat dibutuhkan di masa mendatang, mengingat kesadaran masyarakat harus ditumbuhkan sejak dini.

Sumber : Harian Kontan

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only