Memperlebar Defisit biar Ekonomi Tetap Fit

Pemerintah menyiapkan banyak insentif fiskal guna meredam wabah korona terhadap perekonomian. Alhasil, defisit APBN terancam melebar.

Efek virus korona (Covid-19) begitu masif dan melemahkan perekonomian nasiona. Bukan saja menekan berbagai sektor bisnis di dalam negeri, virus mematikan asal Wuhan, China, itu turut menekan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia tahun ini.

Akibatnya, defisit anggaran diduga bakal semakin melebar. Kondisi ini hampir bisa dipastikan mengobral insentif fiskal demi menangkal efek wabah korona di sektor ekonomi.

Terbukti, dalam dua pekan terakhir pemerintah terus meracik berbagai stimulus fiskal buat menopang daya gerak ekonomi yang sedang lesu.

Maklumlah, berbagai sektor bisnis tertekan akibat keganasan virus korona. Mulai dari sektor pariwisata, perhotelan, penerbangan, farmasi, otomotif, alat berat, perkebunan, hingga pertambangan batubara.

Tekanan terhadap industri, termasuk manufaktur dan pertambangan, merupakan pukulan telak bagi perekonomian nasional. Sebab, kontribusinya cukup signifikan terhadap ekonomi dalam negeri.

Insentif pun langsung diberikan ke beberapa sektor yang terdampak langsung virus korona tersebut. Bahkan, ada juga insentif buat mendorong konsumsi masyarakat seperti kartu sembako hingga subsidi selisih bunga perumahan.

Pada tahap awal, nilai stimulus fiskal yan disiapkan pemerintah mencapai Rp 10,3 triliun. Baru sepekan insentif itu diumumkan, pemerintah kembali menyiapkan insentif lainnya buat para pelaku usaha.

Diprediksi stimulus fiskal tahap kedua ini akan melebihi stimulus tahap pertama. “Anggaran yang disiapkan untuk stimulus kedua ini akan lebih besar dari stimulus pertama. Targetnya demikian,” kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko Perekonomian) Airlangga Hartarto.

Berbeda dengan insentif pertama yang difokuskan ke sektor pariwisata, insentif kedua ini lebih diarahkan untuk mendukung kinerja sektor pariwisata, insentif kedua ini lebih diarahkan untuk mendukung kinerja sektor produksi serta konsumsi masyarakat agar tidak tertekan dan berdampak besar pada prospek pertumbuhan ekonomi dalam negeri.

Ada delapan paket kebijakan yang disiapkan dalam stimulus kedua ini. Empat paket kebijakan yang disiapkan dalam stimulus kedua ini. Empat paket kebijakan di antaranya, berkaitan dengan prosedural ekspor dan impor. Sementara empat paket lainnya berbentuk kebijakan fiskal.

Beberapa opsi kebijakan untuk memitigasi wabah virus korona itu antara lain penundaan pungutan Pajak Penghasilan (PPh) 21. Kebijakan ini pernah dilakukan pada 2008-2009 dunia sedang mengalami krisis moneter.

Kedua, opsi pemberian subsidi pajak seperti PPh Migas, PPN minyak goreng, PPN eksplorasi migas, dan aneka bea masuk industri.

Ketiga, kenaikan batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP). Kebijakan ini memang akan berdampak positif bagi pekerja dengan penghasilan pas-pasan. Sebab, dengan kenaikan PTKP maka ada sedikit tambahan penghasilan bagi buruh maupun pekerja.

Defisit APBN masih akan dominan dibiayai oleh utang, karena penerimaan pajak sedang lemah.

Defisit melebar

Harapannya penghasilan yang lebih besar karena basis pemotongan pajak lebih longgar bisa digunakan untuk menambah belanja rumahtangga. Tambahan belanja rumahtangga ini bisa menjadi pendorong konsumsi yang akan memutar pertumbuhan ekonomi 2020.

Tapi, bisa ditebak, semua kebijakan itu bakal berdampak pada pelebaran defisit APBN 2020 yang sebelumnya telah dipatok 1,76% terhadap produk domestik bruto (PDB). Maklum, penerimaan negara pun masih seret.

Dalam laporan terbarunya, Fitch Solutions Group menaksir pelebaran defisit APBN tahun ini bakal mencapai 2,5% terhadap PDB. Lembaga riset risiko negara dan industri ini sebelumnya memprediksi defisit APBN 2020 hanya sebesar 1,8% terhadap PDB.

Ada tiga pertimbangan yang melatarbelakangi proyeksi pelebaran defisit anggaran tersebut. Pertama, Fitch memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini hanya pada level 5,1% atau lebih rendah dari asumsi pemerintah yaitu 5,3%. Apalagi, risiko penurunan (downside risks) makin besar akibat epidemi covid-19 yang berkembang.

Kedua, seiring dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi yang lebih melemah itu, Fitch pesimistis Pemerintah Indonesia mampu memperluas basis penerimaan negara, terutama dari pajak. Fitch juga meragukan prospek pengenaan royalti industri sektor komoditas alam yang memegang porsi 13% dari total penerimaan.

Karena itu Fitch memperkirakan, penerimaan negara akan semakin konservatif, yaitu hanya tumbuh 3% year on year (yoy). Padahal, pemerintah dalam APBN 2020 menetapkan target pertumbuhan penerimaan negara mencapai 13% di 2020.

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengakui, defisit APBN tahun ini akan kembali melebar seiring dengan obral insentif yang dilakukan pemerintah. Namun, dia belum bisa memastikan berapa besar potensi pelebaran defisit hingga akhir tahun ini.

“Nanti kami akan lihat dari hasil ALM (asset liability management) ke depan,” tandas Sri Mulyani.

Yang jelas, defisit tak bisa dihindari sebagai bentuk antisipasi pemerintah terhadap perlambatan ekonomi dengan menggunakan APBN. Menurut dia, APBN harus tetap berperan sebagai instrumen countercyclical dengan cara memperkuat belanja pemerintah secara tepat waktu dan tepat kualitas.

Langkah serupa juga pernah ditempuh pemerintah tahun lalu. Menjelang akhir tahun 2019, pemerintah memperlebar defisit dari 1,76% menjadi 2,2%. Angka itu jauh lebih tinggi ketimbang target APBN 2019 yang sebesar 1,87% dan outlook 2019 sebesar 1,93%.


“Itu tidak perlu terlalu di khawatirkan. Karena ada pengaruh dari faktor eksternal dan salah satu yang harus dipertimbangkan tahun 2019 adalah output,” ucapnya.

Kondisi tak jauh berbeda juga dilakukan pemerintah di tahun ini. Terlebih pemerintah masih memiliki cukup ruang fiskal untuk mengeluarkan lagi anggaran buat insentif tambahan.

Tentunya defisit bakal melebar lagi seiring dengan makin banyaknya belanja negara dalam bentuk insentif fiskal guna meredam wabah korona terhadap perekonomian.

“Kita pasti mengantisipasi, ini akan meningkat sesuai kondisi yang ada, besaranya akan selalu kita update per bulannya,” ujar Mantan Direktur Pelaksanaan Bank Dunia itu.

Namun demikian, pemerintah akan terus mewaspadai risiko yang menggerus defisit APBN agar tidak terus melebar. Hal ini dilakukan guna menjaga APBN tetap sehat. “Karena adanya front loading dalam mengantisipasi kondisi pasar, jadi akan terus kita cermati,” katanya.

Sebagai informasi, defisit APBN sendiri telah membengkak di awal tahun yang sebesar Rp 36,1 triliun per Januari 2020. Hal ini terjadi akibat realisasi pendapatan yang lebih rendah ketimbang belanja negara.

Kendati defisit awal tahun cukup besar, Arif Baharudin, Plt Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, memastikan, alokasi fiskal di APBN 2020 masih memiliki ruang yang cukup, sehingga belanja insentif masih bisa diberikan.

Menurut dia, tahun 2020 ini pemerintah menargetkan defisit anggaran APBN sebesar Rp 307,2 triliun atau 1,76% terhadap PDB. Nah, target itu masih di bawah batas ketentuan dalam undang-undang yang sebesar 3% dari PDB.

Dengan demikian, pemerintah masih memiliki ruang jika seandainya defisit anggaran harus diperlebar ketika ada insentif fiskal terbaru.

Terkait insentif fiskal ini, Novri Susan, Asisten Juru Bicara Presiden, memastikan, dalam waktu dekat ada banyak insentif baru yang akan dikeluarkan pemerintah untuk kalangan dunia usaha.

Menurut dia, rencana pemberian insentif itu masih dibahas pemerintah supaya benar-benar tepat sasaran. “Yang Rp 10,3 triliun itu kan kebijakan awal, dan yang namanya kebijakan ini akan berkelanjutan. Yang jelas dana ini upayakan bisa efektif dan efisien untuk menopang perekonomian nasional,” ujarnya.

Diharapkan, berbagai tambahan insentif, baik fiskal maupun non fiskal, itu benar-benar bisa memacu pertumbuhan ekonomi domestik.

Ditutup utang

Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy memprediksi, defisit anggaran tahun ini di kisaran 2%-2,5% terhadap PDB. Menurut dia, ini terjadi sebagai konsekuensi dari penerimmaan negara yang lesu, sementara pemerintah harus mengucurkan stimulus fiskal untuk mendorong pertumbuhan.

Asal tahu saja kinerja penerimaan pajak di awal tahun 2020 merosot seiring dengan melemahnya perekonomian. Sepanjang Januari 2020, realisasi penerimaan pajak hanya Rp 80,2 triliun, atau turun 6,8% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu atau year on year (yoy).

Menurut Yusuf, besasr kemungkinan defisit tersebut nantinya akan ditutup melalui utang. Pasalnya, dengan kondisi ekonomi seperti sekarang sulit bagi pemerontah untuk memperluas basis penerimaan negara, khususnya pajak.

“Atas dasar inilah, saya prediksi memang defisit masih akan dominann dibiayai oleh utang, kemudian di akhir tahun penerbitan Surat Berharga Indonesia (SBN) kembali akan melewati pagu yang sudah ditetapkan pemerintah seperti tahun lalu,” lanjutnya.

Sutrisno Iwantono, Ketua Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), mengatakan, pelebaran defisit tak selalu berarti buruk, apalagi jika tambahan defisit tersebut ditujukan sebagai stimulus perekonomian. “Kalau bisa menyelamatkan ekonomi, mengapa tidak,” cetusnya.

Yang penting, defisit patut didesain melalui beragam insentif. Artinya, insentif tersebut tidak hanya menyasar industri dan swasta, tapi juga untuk individu. “Perlu juga insentif yang bisa mendorong konsumsi masyarakat karena selama ini juga terus-terusan melemah,” ungkapnya.

Menurut dia, tidak masalah defisit ditutup dari utang selama masih dalam batas kemampuan negara.

Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menyebut, kondisi fiskal yang terjadi sekarang mirip dengan tahun lalu. Pada 2019 tekanan global akibat perang dagang China dengan Amerika Serikat (AS) juga sangat kuat, sehingga berdampak bagi perekonomian nasional.

Saat itu pemerintah memilih tetap membelanjakan anggaran demi menjaga perekonomian nasional. Pasalnya, sebagian besar ekonomi Indonesia berasal dari konsumsi.

Akibatnya, anggaran belanja lebih besar dibandingkan dengan penerimaan. Saat itu, realisasi penerimaan negara sebesar Rp 1.957,2 triliun per 31 Desember 2019 dari target Rp 2.165,1 triliun. Sementara realisasi belanja negara mencapai Rp 2.310,2 triliun dari target Rp 2.461,1 triliun. “Maka dinaikkan utangnya supaya belanja negara tidak turun,” ujarnya.

Hal itu dilakukan guna mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi di level 5%. Bila tidak menaikkan defisit, maka sulit mencapai pertumbuhan di angka 5%.

Bisa dibilang, apa yang dilakukan pemerintah sekarang merupakan pilihan pahit demi menjaga keberlangsungan.

Sumber : Tabloid Kontan

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only