Antisipasi Risiko Kehilangan Pajak

Pemberian stimulus akan memperlebar kekurangan penerimaan pajak, sehingga perlu diantisipasi. Waspadai pula pemberhentian pekerja untuk sementara waktu.

JAKARTA, Kebijakan pemerintah menerbitkan paket kebijakan stimulus kedua berbentuk pelonggaran pajak bagi industri manufaktur berpotensi memperlebar kekurangan penerimaan atau shortfall pajak. Pemerintah diingatkan agar mengantisipasi potensi kehilangan pendapatan pajak itu dengan merevisi belanja negara pada tahun anggaran ini.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis Yustinus Prastowo, Kamis (12/3/2020), di Jakarta, mengatakan, kebijakan stimulus pada industri manufaktur sudah pasti akan menambah shortfall pajak. Shortfall pajak  berpotensi lebih lebar dari tahun lalu yang sebesar Rp 245,5 triliun.

Untuk menghindari pelebaran kekurangan penerimaan pajak itu, belanja negara harus direvisi. Salah satunya, dengan mengerem belanja infrastruktur yang belum prioritas dan bisa ditunda tahun depan. Langkah itu akan membuka ruang fiskal angaran agar bisa dipakai untuk memberi subsidi ke rakyat dan pelaku usaha di tengah ekonomi yang lesu akibat wabah Covid-19.

“Memang harus memikirkan skema lain, karena stimulus ini sudah pasti akan menambah shortfall pajak. Dengan kondisi normal saja, realisasi penerimaan pajak tahun ini diproyeksikan tidak akan banyak bertambah dibandingkan tahun lalu, apalagi dengan kondisi darurat seperti saat ini,” katanya.

Kebijakan stimulus pada industri manufaktur sudah pasti akan menambah shortfall pajak. Shortfall pajak  berpotensi lebih lebar dari tahun lalu yang sebesar Rp 245,5 triliun.

Dalam paket stimulus itu, pemerintah akan menanggung Pajak Penghasilan (PPh) 21 untuk karyawan sehingga mereka menerima gaji penuh tanpa potongan pajak. Pemerintah juga akan menangguhkan PPh Pasal 22 yang berkaitan dengan pajak kegiatan impor bagi 500 importir bereputasi tinggi dan PPh Pasal 25 bagi badan usaha. Kebijakan ini berlaku untuk enam bulan dari April sampai September 2020.

Sementara pada tahun ini, pemerintah menargetkan penerimaan pajak tumbuh menjadi Rp 1.642,5 triliun. Untuk mencapainya, pemerintah membutuhkan kenaikan penerimaan pajak  sebesar 23,31 persen  dari realisasi 2019 yang sebesar Rp 1.332,1 triliun.

Sektor manufaktur yang saat ini sumber pajaknya direlaksasi menjadi penyumbang utama penerimaan pajak dengan kontribusi sebesar 29,4 persen. Pada 2019, penerimaan pajak dari sektor manufaktur sebesar Rp 365,39 triliun.

Menurut Yustinus, stimulus pajak itu tetap dibutuhkan pelaku usaha di tengah lesunya ekonomi sebagai upaya antisipasi. “Saat ini, aliran kas semua industri macet. Mereka menggunakan modalnya dan jika tidak kuat, akan berdampak pada pemberhentian sementara tenaga kerja” ujarnya.

Stimulus dibutuhkan

Sementara, pelaku usaha menyambut baik pemberian stimulus itu di tengah kondisi arus kas yang meradang. Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia Firman Bakrie mengemukakan, stimulus yang paling dibutuhkan saat ini adalah penangguhan PPh 22 yang berkaitan dengan pajak kegiatan impor.

“Stimulus itu dapat mengurangi beban pelaku industri dalam memenuhi kebutuhan pasokan bahan baku industri yang 60 persen diimpor dari China,” kata dia.

Menurut Firman, bahan baku yang diimpor dari China itu antara lain kulit, tekstil, dan pernak-pernik berupa zat kimia untuk produksi sol. “Kalau Maret ini tidak ada solusi bahan baku, maka potensi penurunan produksi bisa sampai 50 persen. Jika itu terjadi bisa saja pelaku usaha merumahkan karyawan,” ujarnya.

Ketua Umum Badan Pengurus Harian Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ade Sudrajat mengatakan, kebijakan pelonggaran pajak serta kemudahan impor bahan baku memberi angin segar bagi manufaktur untuk tetap berproduksi dan menghindari terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) massal.

Ade mengingatkan, persoalan lain ada di daya beli masyarakat, sehingga perlu ada kebijakan stimulus dari pemerintah yang bisa membantu meningkatkan daya beli masyarakat.

“Rencana pemerintah memberlakukan kartu prakerja juga perlu dipercepat untuk membantu daya beli karyawan serta mempersiapkan karyawan yang berpotensi menjadi korban PHK,” ujarnya.

Terkait kebutuhan bahan baku, ia mengatakan, pasokan bahan baku yang terhenti dari China karena wabah Covid-19 membuat industri tekstil sulit memproduksi. Saat ini, perusahaan-perusahaan banyak yang mencari negara lain untuk impor bahan baku, sehingga stimulus dan kebijakan pelonggaran untuk mempermudah impor sangat dibutuhkan.

Sumber : Harian Kompas

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only