Sektor Industri Kimia dan Manufaktur Bangkit

JAKARTA, Keputusan tambahan anggaran Rp 405,1 triliun untuk penanganan pandemi Covid-19 dan dampaknya terhadap perekonomian menjadi salah satu pendorong indeks harga saham gabungan (IHSG) pekan lalu. Indeks sektor industri dasar dan kimia memimpin kenaikan sebesar 11,39%, disusul manufaktur 6,01%, industri barang konsumsi 5,46%, infrastruktur, utilitas, dan transportasi 3,96%, pertambangan 2,83%, serta perdagangan, servis, dan investasi 2,74%.

Dalam perdagangan saham pekan lalu di Bursa Efek Indonesia (BEI), IHSG menguat 1,71% ke level 4.623,43 seiring pemerintah mengumumkan tambahan belanja dan pembiayaan APBN 2020 Rp 405,1 triliun untuk penanganan wabah virus korona Covid-19 dan dampaknya terhadap perekonomian. Rinciannya, pertama, untuk dana kesehatan sebesar Rp 75 triliun, terutama untuk insentif tenaga medis dan belanja penanganan kesehatan. Kedua, untuk social safety net yang diperluas dengan anggaran Rp 110 triliun. Ketiga, dukungan kepada industri senilai Rp 70,1 triliun berupa insentif pajak dan bea masuk serta kredit usaha rakyat (KUR). Keempat, dukungan pembiayaan anggaran untuk program pemulihan ekonomi nasional sebesar Rp 150 triliun.

“Sejumlah saham di subsektor farmasi, telekomunikasi, dan ritel memberikan nuansa positif di tengah kecenderungan tekanan pada bursa saham akibat wabah coronavirus (Covid-19). Sementara itu, saham blue chips yang defensif masih menjadi referensi bagi para investor,” ujar Analis Binaartha Sekuritas Nafan Aji Gusta di Jakarta, pekan lalu.

Pekan lalu, Presiden Joko Widodo juga telah menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. Selain itu, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020 Tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), serta Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).

Berdasarkan PP tersebut, PSBB adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga atau terinfeksi Covid-19, guna mencegah penyebaran virus korona baru ini semakin meluas. PSBB yang selama ini sudah berjalan antara lain libur sekolah atau belajar dari rumahsecara onlinework from home (bekerja dari rumah/WFH), dan pembatasan ibadah massal atau kegiatan di fasilitas umum.

“Saham emiten telekomunikasi jadi terimbas oleh kenaikan trafik data, yang dipicu oleh meningkatnya aktivitas penggunaan internet di rumah. Karena pengguna kerja dari rumah, permintaan data bisa meningkat,” ucap Nafan.

Dari sektor infrastructure, utilities and transportation, Nafan merekomendasikan saham PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM). Selain itu, saham PT Indosat Tbk (ISAT).

“Telkom punya kemampuan memberikan layanan internet yang lengkap dan memadai. Saham Telkom diprediksi menyentuh level Rp 3.340 dalam waktu dekat,” ujar dia kepada Investor Daily, Sabtu (4/4).

Pada perdagangan Jumat (3/4), saham Telkom naik 2,24% ke Rp 3.200 per unit. Kapitalisasi pasar emiten BUMN ini Rp 317 triliun, dengan price to earnings ratio atau rasio P/E 15,65 kali dan dividend yield 5,12%. Dalam pergerakan satu tahun terakhir, harga terendah saham blue chip tersebut Rp 2.450 dan yang tertinggi Rp 4.500.

Sedangkan harga saham Indosat pada Jumat (3/4) adalah Rp 1.945, setelah melonjak 12,10% pada saat penutupan perdagangan.

Obat dan Peralatan Kesehatan
Seiring terjadinya pandemi Covid-19 di seluruh dunia, Kepala Riset Mirae Asset Sekuritas Indonesia Hariyanto Wijaya mengatakan, kondisi ini memang memperlambat kegiatan bisnis. Hal itu juga membuat aktivitas dan pola belanja masyarakat berubah.

Tim riset Mirae membuktikan kecenderungan tersebut dengan berkunjung ke sejumlah pusat perbelanjaan atau mal dengan segmen pasar yang berbeda-beda pada Maret lalu. Mal yang dikunjungi seluruhnya berlokasi di Jakarta, yakni Central Park, Mall Taman Anggrek, Grand Indonesia, serta City Plaza Jatinegara.

“Masyarakat kini cenderung lebih banyak menghabiskan uang untuk keperluan bahan-bahan pokok, ditambah vitamin dan obatan-obatan. Vitamin dan obat-obatan menjadi barang favorit sekarang, untuk meningkatkan daya tahan tubuh. Selain ke supermarket, pelanggan membeli vitamin ke apotek. Salah satu yang favorit adalah vitamin Blackmores dari PT Kalbe Farma Tbk (KLBF),” ucap Hariyanto.

Tim riset Mirae memilih saham KLBF dari subsektor farmasi dari sektor manufaktur ini sebagai salah satu top picks. Mirae memprediksi KLBF memiliki price to earnings ratio (PER) sebesar 17,4 kali dan earnings per share (EPS) growth sebesar 5,9% pada tahun ini.

Selain itu, saham PT Industri Jamu dan Farmasi Sido Muncul Tbk (SIDO) turut dijagokan. Saham SIDO diprediksi memiliki PER 16,8 kali dan EPS growth sebesar 9,3% pada 2020.

Sementara itu, anjloknya harga minyak seiring dengan menurunnya ekonomi dunia akibat pandemi Covid-19 plus perang minyak antara Arab Saudi dan Rusia sangat menguntungkan emiten produsen petrokimia, seperti PT Chandra Asri Petrochemical Tbk (TPIA). Pasalnya, harga bahan bakunya turun drastis.

Harga saham emiten sektor industri dasar dan kimia itu melonjak 19,65% pada perdagangan Jumat lalu, menjadi Rp 6.850. Emiten ini memiliki kapitalisasi pasar Rp 122,16 triliun, dengan rasio P/E 325,52 kali.

Produsen polyester di Tanah Air seperti PT Indo-Rama Synthetics Tbk juga diuntungkan dengan penurunan harga minyak yang memangkas harga bahan baku. Harga saham INDR ini melesat 13,64% menjadi Rp 2.000 pada perdagangan Jumat lalu, dengan market cap Rp 1,31 triliun, P/E ratio 3,32 kali dan yield dividend 17%. Dalam pergerakan setahun terakhir, harga terendahnya Rp 1.255 dan tertinggi Rp 5.575.

Selain itu, ada potensi tambahan permintaan polyestermisalnya untuk alat pelindung diri (APD), yang kebutuhannya melonjak drastis seiring masih meningkatnya pandemi virus Covid-19. APD ini terjadi kelangkaan di pasar, bahkan banyak rumah sakit kekurangan APD untuk keperluan tenaga medisnya.

Guna mengatasi masalah ini, tim pakar dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 mencari bahan baku alternatif untuk mendongkrak produksi APD. Tim kini menemukan bahan baku pengganti yang jumlahnya cukup melimpah di Indonesia untuk membuat APD yakni polyester dan polyurethane, yang juga telah sesuai dengan standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Mi Instan dan Snack
Adapun selama pemberlakuan pembatasan sosial dan masyarakat diminta untuk di rumah saja, konsumen diprediksi meningkatkan persediaan mi instan, minyak untuk memasak, serta kudapan atau snack. Hal ini cenderung menjadi sentimen positif bagi PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF) dan anak usahanya, PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP). Dua saham yang masuk LQ45 ini juga menjadi pilihan lantaran tergolong saham-saham defensif atau kuat terhadap tekanan fluktuasi pasar.

Menurut riset Mirae, saham INDF ditargetkan memiliki PER 10 kali dengan EPS growth sebesar 13,5% pada tahun ini. Sedangkan saham ICBP diperkirakan memiliki PER 21,9 kali, dengan EPS growth sebesar 9,5% tahun ini.

Pajak Belanja Online
Pembatasan sosial yang menekankan aktivitas di rumah — baik belajar, bekerja, maupun beribadah — juga mendongkrak tren pembelian online. “Transaksi ataupun belanja secara online yang dilakukan masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya ini ditangkap sebagai kesempatan bagus bagi para emiten ritel. Misalnya, dengan memberikan pelayanan gratis ongkos kirim atau kemudahan transaksi dalam berbelanja online,” tutur Nafan.

Nafan antara lain merekomendasikan saham PT Ace Hardware Indonesia Tbk (ACES), karena pergerakan harganya termasuk yang atraktif di antara emiten ritel yang lain. Saham ACES yang masuk kelompok LQ45 ini ditargetkan secara jangka menengah dan panjang di level Rp 1.345 dan Rp 1.535. Pada perdagangan Jumat pekan lalu, harga saham emiten yang melayani belanja online ini naik 4,07% ke Rp 1.280.

Nafan menjelaskan lebih lanjut, pandemi Covid-19 memberikan tantangan tersendiri bagi emiten ritel karena keterbatasan operasional, bahkan ada yang menutup sementara sebagian gerai fisik. Apalagi, bila emiten tersebut bergerak di bisnis nonmakanan. Namun, emiten yang memiliki strategi seperti penjualan barang-barang lewat online setidaknya masih mampu menghasilkan pendapatan yang baik.

Seiring dengan tren penjualan online yang meningkat, di sisi lain, pelaku di sektor e-commerce ini akan menghadapi rencana penerapan pajak pada perdagangan elektronik. Pada Perppu Nomor 1 Tahun 2020 dinyatakan adanya kebijakan pemberlakuan pemajakan dalam kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). Pemerintah sebelumnya juga telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 80 tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).

“Pemajakan ini memang akan menjadi tantangan bagi pelaku ritel yang juga menjalankan bisnis e-commerce. Namun selama daya beli masyarakat tetap ada dan kebutuhan (belanja online) meningkat, pelaku ritel masih bisa bertahan,” tandas Nafan.

Perbankan Cepat Rebound
Sementara itu, pergerakan indeks sektor keuangan sepekan lalu terkoreksi 1,89% ke 990,46, dibebani kekhawatiran meningkatnya kredit bermasalah di tengah tersendatnya perekonomian akibat wabah Covid-19. Namun demikian, sejumlah emiten bank tercatat menguat harga sahamnya.

Saham PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) misalnya, harganya meningkat 0,70% ke Rp 2.890 pada perdagangan Jumat (3/4). Emiten BUMN dengan kapitalisasi pasar Rp 352,90 triliun ini tercatat memiliki rasio P/E sekitar 10,29 kali dan dividend yield 5,82%. Dalam pergerakan setahun terakhir, harga terendahnya Rp 2.440 dan tertinggi Rp 4.760.

Analis Senior Phintraco Sekuritas Valdy Kurniawan mengatakan sebelumnya, pada kondisi pasar yang begitu volatile, investor akan cenderung kembali pada fundamental emiten. Besarnya dividen yang diberikan kepada pemegang saham bakal menjadi salah satu pertimbangan penting investor dalam menilai harga wajar saham tersebut.

“Para pemodal bisa mencermati saham-saham bank BUMN, seperti PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI), PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI), dan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI). Harga saham tiga bank tersebut berpeluang rebound pada kuartal II ini,” imbuh Valdy.

Valdyjuga optimistis IHSG kembali pulih pada kuartal II-2020. Rilis laporan keuangan emiten yang akan diikuti pembagian dividen bisa berdampak positif bagi pasar saham di dalam negeri. Apalagi, jika stimulus-stimulus yang disiapkan pemerintah RI segera dieksekusi.

“Selain perbankan, saham-saham yang akan cepat pulih pada kuartal II ini di antaranya saham di sektor barang konsumsi. Saham PT Indofood Sukses Makmur Tbk dan PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk adalah saham-saham yang tergolong defensif,” kata Valdy.

Sedangkan di sektor property, real estate and building construction, indeksnya turun 4,88% ke 326,08 dalam sepekan terakhir. Namun, harga saham BUMN konstruksi PT Wijaya Karya Tbk (WIKA) melesat 5,20% ke Rp 910 pada perdagangan Jumat (3/4).

WIKA yang masuk LQ45 ini memiliki rasio P/E 3,57 kali dan dividend yield 4,24%. Dalam setahun terakhir, harga terendahnya di level Rp 675 dan tertinggi Rp 2.500.

Demikian pula saham BUMN konstruksi PT PP Tbk (PTPP) pada Jumat minggu lalu melonjak 8,57% ke Rp 570. Rasio P/E tercatat sekitar 3,80 kali dan dividend yield 8,50%. Dalam setahun terakhir, harga terendahnya di level Rp 484 dan tertinggi Rp 2.550.

Harus Tepat Sasaran
Pada kesempatan terpisah, Managing Director Head of Equity Capital Market Samuel International Harry Su mengatakan, emiten yang bertumbuh pesat saat ini adalah dari subsektor telekomunikasi. “Telco sektor yang dapat benefit, karena stay home membuat kita semua lebih banyak menggunakan HP,” kata dia kepada Investor Daily, Jakarta, Sabtu (4/4).

Dia menjelaskan lebih lanjut, tidak semua emiten bisa meraih benefit. Ini terutama emiten yang memiliki utang dalam mata uang dolar AS yang besar namun pendapatannya dalam rupiah.

“Yang punya utang dolar jumlahnya besar kurang diuntungkan dengan rupiah yang melemah belakangan ini. Sedangkan untuk prospek pasar modal ke depan, tidak bisa dipungkiri bahwa volatilitas naik-turunnya masih tinggi,” ucap Harry.

Kebutuhan Dasar Tumbuh
Sedangkan pengamat ekonomi Enny Sri Hartati mengatakan, dalam setiap musibah akan ada dampak terhadap ekonomi, termasuk wabah Covid-19. Apalagi, penularan cepat penyakit yang bisa memakan korban jiwa ini bukan hanya terjadi di Indonesia, tapi juga seluruh dunia.

Namun demikian, lanjut dia, tetap ada peluang sejumlah sektor masih tumbuh. Yang masih bisa bertumbuh ini adalah sektor yang memenuhi kebutuhan dasar, yakni pangan, sandang, dan kesehatan.

“Ini ditambah telekomunikasi, menyusul adanya imbauan WFH, belajar di rumah, beribadah di rumah, dan sejenisnya. Hikmahnya adalah kalau dulu kita sangat tergantung pada barang impor atau ada yang ketergantungannya tinggi untuk mengekspor barang, maka kini saatnya shifting realokasi ke sektor dan pasar dalam negeri,” ujarnya.

Namun, kata Enny, pemangkasan impor yang signifikan baru bisa dilakukan jika ada koordinasi yang baik dari lintassektor. Pemerintah juga harus fokus pada sektor yang merupakan substitusi impor, padat karya, atau yang memiliki multiplier effect besar dalam memberikan dana stimulus maupun insentif.

“Kalau tidak fokus ke sektor tersebut, maka dana stimulus Rp 405 triliun itu tidak tepat sasaran. Bahkan, ini hanya akan menimbulkan moral hazard,” kata Enny.

Stimulus Perlu Diperbesar
Pada kesempatan terpisah, Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance Esther Sri Astuti mengatakan, stimulus fiskal yang dikucurkan pemerintah Indonesia untuk menanggulangi pandemi Covid-19 masih terlalu sedikit. “Pemerintah Indonesia semestinya menggelontorkan stimulus fiskal sebesar Rp 2.078 triliun untuk tiga bulan. Dan jika ada asumsi pandemi melebar hingga enam bulan, maka stimulus fiskal perlu digelontorkan sebesar Rp 4.157 triliun,” ucap Esther.

Stimulus fiskal yang dianggarkan pemerintah RI hanya Rp 405,1 triliun atau sekitar 2% produk domestik bruto (PDB). Itu dengan asumsi pertumbuhan ekonomi RI sekitar 2,3% tahun ini, dengan PDB diproyeksikan Rp 16.249 triliun.

Jika dibandingkan negara-negara lain, lanjut dia, stimulus yang kini disiapkan pemerintah RI masih kurang. Sebagai perbandingan, Australia mengucurkan stimulus ekonomi sebesar AUD 189 miliar atau 9,7% dari PDB. Sedangkan Amerika Serikat sebesar US$ 2 triliun atau sebesar 10% dari PDB.

“Ingat pula, Indonesia juga memiliki mortality rate sebesar 9,3%, itu paling tinggi kedua di dunia setelah Italia. Jadi, virus korona ini tidak bisa diabaikan,” kata Esther dalam diskusi Indef yang digelar secara daring, pekan lalu.

Sumber: investor.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only