Untung dan Rugi Jika Harga Minyak Mentah Dunia Anjlok

JAKARTA — Eks wakil menteri ESDM era Presiden ke-6 SBY, Rudi Rubiandini, mengatakan penurunan harga minyak mentah dunia tak melulu menguntungkan. Ada juga kerugian yang dipikul bersamaan dampak yang timbul di industri hulu dan hilir.

Pada prinsipnya, kejatuhan harga minyak dunia memberi untung dan rugi bagi negara, termasuk pemangku kepentingan lainnya, seperti Bank Indonesia (BI), dunia usaha, hingga masyarakat umum.

Dari sisi hulu, penurunan harga minyak mentah dunia hingga menyentuh kisaran US$20 per barel hanya memberikan kerugian bagi sektor ini, baik kepada negara maupun dunia usaha. Sebab, negara akan kehilangan penerimaan pajak dari kelangsungan bisnis hulu minyak.

“Secara ekuivalen (nilai), terjadi pengurangan pendapatan APBN migas sebesar US$8,2 miliar per tahun atau sekitar Rp130 triliun berkurang dari (pendapatan) migas setahun lalu,” ujar Rudi, Senin (27/4).

Proyeksi itu muncul dari estimasi awal penerimaan pajak migas mencapai US$30 juta per hari dikurangi estimasi setelah penurunan harga minyak mentah sekitar US$7,5 juta per hari. Kedua estimasi merujuk pada penurunan harga minyak dari US$60 menjadi US$20 per barel dan produksi dari 750 ribu menjadi 550 ribu barel per hari.

Sementara bagi industri, penurunan harga minyak dunia jelas akan menurunkan tingkat pendapatan dunia usaha. Namun, penurunannya berbeda-beda masing-masing perusahaan, bergantung besaran produksi dan tingkat keefisienan biaya produksi.

Sedangkan dari sisi hilir, penurunan harga minyak mentah dunia akan memberi keuntungan bagi Bank Indonesia (BI). Pasalnya, Indonesia merupakan negara net importir minyak.

Harga minyak yang tinggi dan volume yang tidak sedikit membuat BI perlu menyediakan devisa untuk kebutuhan impor berkisar US$60 juta per hari dengan asumsi harga US$60 per barel dan volume impor 1 juta barel.

Namun, dengan penurunan harga minyak dan kebutuhan impor, Rudi memperkirakan BI hanya perlu menyediakan devisa sekitar US$14 juta per hari.

“Ini memberikan keuntungan bagi BI, sehingga kebutuhan devisa bisa berkurang sekitar US$46 juta per hari. Ekuivalennya bisa berkurang hampir US$17 miliar per tahun kalau harga minyak stabil rendah terus,” terang Rudi.

Keuntungan juga akan dirasakan oleh negara. Sebab, anggaran subsidi BBM yang mencapai US$20,8 triliun dari asumsi ICP US$63 per barel akan merosot jauh.

“Yang pasti anggaran subsidi jadi lebih murah. Ini seharusnya bisa membuat rakyat mendapat BBM lebih murah juga,” ucapnya.

Sayangnya, Rudi belum bisa memperkirakan seberapa jauh potensi penurunan anggaran subsidi BBM pada tahun ini. Namun, menurut hitung-hitungannya, harga BBM seharusnya lebih rendah dari rata-rata saat ini yang sekitar Rp9.000 per liter.

“Mulai 1 Mei ini, seharusnya Pertamina, Total, Shell, dan badan usaha lainnya seharusnya jual (BBM) sekitar Rp7.100 dan di Juni nanti jadi Rp5.650 per liter,” ucapnya.

Kendati begitu, negara juga harus menelan kerugian karena kehilangan potensi penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari penjualan BBM. Namun, belum ada proyeksi seberapa jauh potensi penurunan penerimaan dari PPN BBM.

Sementara dunia usaha akan tergerus pendapatannya karena nantinya harus menjual BBM dengan harga lebih murah. “Dampaknya memberi penurunan oplah,” tekannya.

Lebih lanjut Rudi memperkirakan gejolak harga minyak mentah dunia akan terus bergulir hingga beberapa bulan ke depan. Proyeksinya, harga minyak dunia baru stabil sekitar tiga sampai empat bulan ke depan.

“Itu pun harganya baru bisa balik ke US$30 sampai US$40 per barel. Baru nanti naik lagi di 2021 dan seterusnya hingga kembali ke kisaran US$50 sampai US$60 per barel,” tandasnya.

Sumber: CNNIndonesia.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only