Babak Belur, KKKS Migas RI Minta Tax Holiday ke Sri Mulyani

JAKARTA — Dampak pandemi corona (Covid-19) membuat sektor hulu migas sangat tertekan, tidak hanya karena harga minyak yang anjlok, namun pembatasan sosial juga membuat proyek terancam mundur.

Menyikapi kondisi ini Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mengusulkan beberapa kebijakan menghadapi Covid-19 dan anjloknya harga minyak.


Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengusulkan tax holiday untuk pajak penghasilan karena semua wilayah kerja (WK) terdampak pandemi ini. Dwi menjelaskan untuk estimasi dampak corporate and dividend tax rate 40% – 48% untuk PSC cost recovery. Lalu Corporate and dividend tax 25% untuk PSC gross split dan Pertamina.


Untuk menjalankan tax holiday ini SKK Migas membutuhkan dukungan dari Kementerian Keuangan. Dwi mengatakan saat ini sudah dibahas bersama dengan IPA atau Indonesia Petrolium Association terkait usulan pembebasan BPT selama laba setelah pajak diinvestasikan kembali ke Indonesia.


”Tax holiday untuk pajak penghasilan. Kami membutuhkan dukungan Kemenkeu saat ini telah dibahas dengan IPA atas pembebasan BPT,” ungkapnya dalam RDP virtual dengan Komisi VII DPR RI, Selasa, (28/04/2020).


Selain mengusulkan tax holiday, ada beberapa usulan lain yang disampaikan SKK Migas. Di antaranya penundaan pencadangan biaya Abandonment and Site Restoration (ASR) bagi semua WK. Diharapkan akan berdampak pada perbaikan cashflow kontraktor, progressnya saat ini sudah masuk finalisasi.


Ketiga, penundaan atau penghapusan PPN LNG melalui penerbitan revisi PP 8, tujuannya untuk perbaikan cashflow kontraktor. Revisi PP terkait menurutnya sudah dilakukan harmonisasi dan tinggal ditandatangani Menteri Keuangan.


Keempat, barang milik negara hulu minyak tidak dikenakan biaya sewa. Berlaku untuk semua WK yang baru menandatangani kontrak kerjasama di WK eksploitasi. Dampak dari insentif ini adalah pengurangan 1% dari gross revenue. Menurutnya saat ini pembahasan insentif ini sudah dilakukan SKK Migas bersama dengan Kementerian ESDM dan DJKN 9 April 2020 lalu.


Ke-lima, penghapusan biaya pemanfaatan kilang LNG badak sebesar US$ 0,22 per mmbtu. Ia menjelaskan bisnis LNG terdampak cukup besar dengan kondisi ini. Penghapusan biaya ini berdampak 3,6% dari gross revenue untuk harga gas US$ 6 per mmbtu.


”Statusnya sekarang telah ada diskusi dengan LMAN dan akan dilakukan pembahasan lebih lanjut,” papar Dwi.



Ke-enam, penundaan atau pengurangan hingga 100% dari pajak-pajak tidak langsung. Untuk blok eksploitasi dengan estimasi dampak 4%-12% dari gross revenue untuk gross split dan 4% dari cost untuk cost recovery. Dwi menyampaikan butuh dukungan dari Kemenkeu untuk menerbitkan PMK penundaan pajak.


Ke-tujuh, gas dapat dijual dengan harga diskon untuk volume antara Take or Pay (TOP) dan Daily Contract Quantity (DCQ). Ke-delapan memberikan insentif (untuk batas waktu tertentu) seperti depresiasi dipercepat, perubahan split sementara (misalnya sliding scale), Domestic Market Obligation (DMO) full price. “Perbaikan keekonomian pengembangan lapangan,” kata Dwi.

Terakhir, dukungan dari kementerian yang membina industri pendukung hulu migas (industry baja, rig, jasa dan service, dll) terhadap pembebasan pajak bagi usaha penunjang kegiatan hulu migas (pemboran dll) untuk menjaga keekonomian usaha penunjang.

Sumber: CNBCIndonesia.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only