JAKARTA, Perekonomian nasional pada kuartal II-2020 diperkirakan sulit bangkit sebab penerimaan pajak pada kuartal I-2020 hanya 376,7 triliun rupiah atau mengalami penurunan hingga 3 persen dibandingkan kuartal I-2019. Anjloknya kinerja penerimaan ini merupakan efek dari pelemahan aktivitas ekonomi yang tertekan akibat pandemi Covid-19.
Direktur Lembaga Riset dan Strategi Pemerintahan, Sri Mulyono mengatakan salah satu indikator yang dapat mengukur kinerja ekonomi adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang pada kuartal I-2020 hanya tumbuh 1,8 persen. Padahal, PPN merupakan jenis pajak tak langsung yang bebannya ditanggung oleh konsumen.
“Kalau PPN anjlok, berarti daya beli anjlok. Nah, kalau penurunan PPN ini terus terjadi, berarti tidak ada aktivitas ekonomi. Pendapatan negara pun makin berkurang dan akhirnya pertumbuhan ekonomi kuartal depan sulit bangkit,” katanya saat dihubungi, Kamis (21/5).
Menurut Sri Mulyono, apabila pertumbuhan ekonomi kuartal II-2020 sama dengan kuartal I-2020, yakni sekitar 2,97 persen, berarti peran stimulus berfungsi. “Tapi, kalau pertumbuhan sampai minus, agak sulit membangunkannya. Perlu strategi pemulihan ekonomi yang jitu, tidak boros, dan fokus pada peningkatan daya beli,” ujarnya.
Selain PPN yang tumbuh hanya 1,8 persen, Pajak Penghasilan (PPh) tercatat turun 5,69 persen dibandingkan kuartal I-2019 menjadi 241,53 triliun rupiah. Penurunan PPh ini disumbangkan oleh pajak sektor nonminyak dan migas (nonmigas) yang anjlok 3,17 persen atau 226,52 triliun rupiah dan migas anjlok 32,30 persen menjadi 15,01 triliun rupiah (lihat infografis).
Sebelumnya, Wakil Menteri Keuangan, Suahasil Nazara, mengatakan pertumbuhan penerimaan PPN yang hanya 1,8 persen merupakan cerminan dari anjloknya sektor perdagangan yang selama kuartal I-2020 mengalami tekanan yang cukup berat. “Pantauan kita soal transaksi, ada penurunan transaksi pada April sehingga Mei ini kemungkinan akan ada kontraksi PPN Mei,” katanya dalam keterangan pemerintah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 di Jakarta, Rabu (20/5).
Revisi APBN
Pada kesempatan itu, Suahasil Nazara menambahkan bahwa pemerintah sedang menyiapkan revisi Peraturan Presiden (Perpres) tentang Perubahan Postur APBN 2020 menyangkut pelebaran defisit menjadi 6,27 persen setelah pembahasan dengan Komisi XI DPR yang dijadwalkan pada Selasa (26/5).
“Kita sedang menyiapkan detail perubahan tentang belanja kementerian, lembaga, dan nonkementerian lembaga serta transfer ke daerah. Perubahan itu berdasarkan kondisi ekonomi terkini, termasuk potensi penerimaan perpajakan dan belanja negara, defisit melebar jadi 1.028,5 triliun rupiah atau 6,27 persen dari PDB. Angka tersebut lebih besar dari defisit APBN 2020 yang ditetapkan sebesar 5,07 persen atau 852,9 triliun rupiah,” ujarnya.
Di tempat berbeda, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu, Febrio Kacaribu, mengatakan terdapat sejumlah kebijakan untuk pemulihan ekonomi Indonesia dengan tiga fokus. Pertama, perluasan bantuan perlindungan sosial atau social safety net untuk masyarakat Indonesia yang rentan terhadap kemiskinan atau terkena pemutusan hubungan kerja. “Hal ini dilakukan untuk memastikan pemenuhan kebutuhan dasar rakyat Indonesia,” kata Febrio.
Kemudian, subsisdi pembayaran bunga dan penundaan pembayaran utang dalam rangka mendukung arus kas usaha kecil dan menengah. Terakhir, pemerintah juga memastikan ketersediaan bahan pokok dengan harga terjangkau.
Sumber: koran-jakarta.com
Leave a Reply