Pajak Digital Potensial Tambal Defisit APBN

Jakarta – Lembaga kajian perpajakan Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) menilai pajak digital sangat potensial untuk membantu menambal defisit anggaran yang meningkat karena pandemi. Namun, penggaliannya tetap perlu dilakukan secara hati-hati.

Menurut Manajer Riset CITA Fajry Akbar, kooperasi antar-negara perlu ditempuh demi menghindari perselisihan antar negara yang berujung pada aksi perang dagang. “Kalau perang dagang sampai terjadi, pemulihan ekonomi justru akan terhambat. Penerimaan pajak dari sektor lain pun pada akhirnya akan turut tersendat. Atas pertimbangan itu, Pemerintah Indonesia sebaiknya mengambil langkah multilateral,” ujar Fajry dalam seminar virtual di Jakarta, Rabu (10/6).

Saat ini, sudah ada tiga instrumen pajak sektor digital yang tertuang dalam UU Nomor 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Sistem Keuangan terkait Covid-19 antara lain PPN atas transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), PPh Badan melalui pendefinisian ulang Bentuk Usaha Tetap/BUT, dan Pajak Transaksi Elektronik (PTE) yang merupakan pajak tambahan apabila PPh Badan melalui pendefinisian ulang BUT tidak dapat dikenakan pada perusahaan digital karena adanya Tax Treaty.

Dua instrumen terakhir tergolong sebagai langkah unilateral karena diberlakukan secara sepihak oleh suatu negara, dalam hal ini Indonesia, untuk mengenakan pajak berdasarkan kriteria tertentu. Untuk menempuh jalan multilateral, pemerintah Indonesia harus melakukan komunikasi dan koordinasi dengan seluruh negara asal perusahaan digital, termasuk salah satunya Amerika Serikat.

Hindari Unilateral

Dalam hal ini, pajak digital bukan hanya isu antara pemerintah dengan bisnis (Government to Business), melainkan juga isu pemerintah dengan pemerintah (Government to Government). Dengan demikian pajak digital juga bukan hanya soal penerimaan, melainkan juga terkait erat dengan dampak-dampaknya, misalnya perdagangan internasional.

“Sedapat mungkin, pemerintah hendaknya menghindari langkah unilateral. Dalam kenyataan, langkah unilateral bukanlah langkah yang bijak untuk mencapai keadilan. Biasanya, langkah unilateral dilakukan demi tujuan sempit meningkatkan penerimaan saja, yang pada gilirannya berpotensi menimbulkan berbagai risiko,” ujar Fajry.

Bagi Indonesia, keuntungannya yaitu penerimaan pajak, namun tak sebanding dengan biaya yang harus dikeluarkan. Jika sampai terjadi perang dagang antara Indonesia dengan Amerika Serikat, misalnya, sektor manufaktur Indonesia akan sangat terpukul, mengingat Amerika Serikat adalah pasar terbesar dari hasil manufaktur Indonesia.

Sementara itu, opsi multilateral optimistis akan keluar paling lambat pada 2021. Karena itu, sesungguhnya tak ada cukup alasan bagi Indonesia untuk melanjutkan langkah unilateral dalam bentuk Pajak Transaksi Elektronik (PTE) dan redefinisi BUT yang terlalu dini.

Sumber : Koran-Jakarta.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only