Mengukur dampak diskon PPh 3% terhadap kinerja emiten

JAKARTA — Pemerintah kembali memberi angin segar bagi perusahaan terbuka (emiten) di tanah air. Melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 30 Tahun 2020, pemerintah akan memberi pemotongan tarif Pajak Penghasilan (PPh) wajib pajak (WP) Badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka.

PPh Badan akan diturunkan menjadi 22% pada 2020 dan 2021, dan menjadi 20% pada 2022. Pemerintah juga memotong tarif PPh Badan untuk emiten menjadi 3% lebih rendah dari tarif umum

Salah satu syaratnya yakni saham suatu emiten yang dimiliki oleh masyarakat (free float) paling sedikit 40% dan memenuhi persyaratan tertentu.

Meski demikian, Analis Senior CSA Research Institute Reza Priyambada menilai beleid ini tidak begitu berdampak pada kinerja emiten. Sebab, persentase beban pajak terhadap pendapatan suatu emiten tidak terlalu besar bila dibandingkan dengan komponen biaya pokok penjualan atau cost of goods sold atau COGS.

“Beban pajak itu paling berapa persentasenya dari pendapatan, sekitar 8%-10% dari pendapatan. Bandingkan dengan COGS yang bisa memakan 50%-70% dari pendapatan,” ujar Reza kepada Kontan.co.id, Senin (29/6).

Menurut hemat dia, meskipun insentif PPh dinaikkan jadi 10%, mungkin bisa berpengaruh terhadap kinerja emiten tetapi tidak cukup kuat untuk membuat pertumbuhan laba naik signifikan.

Oleh karena itu,Reza menilai kinerja emiten masih bergantung pada strategi efisiensi yang dilakukan oleh masing-masing emiten. Karena, komponen COGS berhubungan dengan bahan baku, sewa, upah tenaga kerja, dan biaya-biaya lain yang terkait langsung dengan operasional perusahaan.

Namun, bukan berarti insentif pajak ini tidak sama sekali berdampak kepada kinerja emiten. Hanya saja, masalah utamanya bukan berada di beban pajak, tetapi penanganan bahan baku dan sebagainya.

Jika bahan baku emiten tidak bergantung pada pasar impor serta memiliki harga yang kompetitif, maka tentunya hal ini tidak memberatkan emiten.

Termasuk juga apabila ada penghematan pada biaya-biaya yang terkait langsung dengan operasional, maka hal ini bisa membuat laba kotor bisa naik sehingga dapat meng-cover biaya-biaya yang di bawahnya

“Namun, bukan berarti efek dari insentif pajak ini dikatakan tidak ada. Tetap ada, namun tidak cukup signifikan,” sambung Reza.

Hal ini diamini oleh PT Indocement Tunggal Prakrsa Tbk (INTP). Sekretaris Perusahaan Indocement Tunggal Prakarsa Antonius Marcos menilai beleid ini tidak terlalu berdampak signifikan bagi INTP.

Marcos berharap, pemerintah dapat memberikan kebijakan yang lebih dapat berdampak signifikan terhadap pengurangan biaya produksi untuk industri secara umum yaitu pengurangan harga minyak industri dan juga biaya listrik.

“Karena kedua komponen tersebut merupakan unsur biaya yang signifikan bagi industri manufaktur seperti kami,” ujar Marcos kepada Kontan.co.id, Senin (29/6). Meski demikian, Marcos tetap mengapresiasi insentif yang diberikan oleh pemerintah tersebut.

Mengutip laporan keuangan INTP per Desember 2019, emiten semen ini mencatatkan beban bakar dan listrik senilai Rp 4,29 triliun. Jumlah ini setara dengan 41,1% dari total beban pokok pendapatan dan setara dengan 27,1% dari pendapatan bersih INTP yang sebesar Rp 15,93 triliun.

Sementara itu, INTP menanggung beban pajak penghasilan neto senilai Rp 439,12 miliar. Beban ini hanya setara 2,75% dari pendapatan total INTP pada 2019.

Sumber: Kontan.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only