Potongan PPh Badan 3% bagi Emiten Disambut Positif

JAKARTA — Pemerintah resmi memberikan potongan tarif pajak penghasilan (PPh) badan sebesar 3% kepada wajib pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka (emiten). Ketentuan mengenai diskon tarif ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 30 Tahun 2020 tentang Penurunan Tarif Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri yang Berbentuk Perseroan Terbuka yang mulai diundangkan pada 19 Juni 2020.

Direktur Eksekutif Asosiasi Emiten Indonesia (AEI) Samsul Hidayat menyambut baik atas kebijakan pemerintah yang menurunkan tarif pajak penghasilan (PPh) badan menjadi 3% dalam negeri untuk perusahaan terbuka. Dia mengungkapkan, kebijakan tersebut akan memberikan dampak positif bagi kemampuan emiten untuk bersaing.

“Saya kira, kebijakan ini sangat baik untuk memperkuat daya saing dunia usaha,” ujar Samsul kepada Investor Daily, Jumat (26/6).

Kalbe Farma Vidjongtius juga menyatakan pendapat yang sama, bahwa kebijakan penurunan PPh badan akan membawa dampak yang positif bagi emiten. Pasalnya, sebelum adanya kebijakan tersebut tarif pajak yang dikenakan kepada perusahaan terbuka sebesar 22%, maka dengan turun 3% lagi, tarif pajak PPh badan menjadi sebesar 19%.

“Bagi perusahaan Tbk yang kepemilikan publik di atas 40% adalah penurunan, karena sebelumnya adalah 5% (25%-5% menjadi 20%) sekarang jadi 3% (22%-3% menjadi 19%) jadi netonya turun 1%, dampak positif ke perusahaan ada, tapi relatif kecil,” jelas Vidjongtius.

Vidjongtius menambahkan, dengan tarif pajak yang lebih rendah, dapat mendorong bertambahnya laba bersih perseroan untuk ke depannya.

“Karena tarif lebih rendah maka net profit akan bertambah,” ujarnya.

PT Ciputra Development Tbk (CTRA) memiliki jumlah keseluruhan saham yang diperdagangkan atau dimiliki oleh masyarakat sejumlah 47,1%. Meskipun demikian, perseroan tidak bisa menikmati insentif yang diberikan oleh pemerintah tersebut.

“Kita di perusahaan properti ini terkena pajak final, sehingga kami tidak menikmati insentif yang diberikan dari pemerintah tersebut,” ujar Direktur Ciputra Development Tulus Santoso kepada Investor Daily di Jakarta, Jumat (26/6).

Dengan demikian, Tulus Santoso berpendapat bahwa PP 30/2020 tersebut tidak mempengaruhi sama sekali terhadap emiten yang bergerak di bidang usaha utama developer dan pembangunan real estate ini.

Sementara itu, Kepala Riset MNC Sekuritas Edwin Sebayang menilai, secara ideal penurunan tarif PPh bagi wajib pajak badan perusahaan terbuka atau emiten sebesar 3% yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 30 Tahun 2020 tersebut sangat bagus.

“Kalau tanggapan dari beberapa emiten, secara ideal insentif tersebut bagus, karena insentif ini akan membuat ada uang lebih bagi investor untuk dialihkan misalnya ke capex (capital expenditure) atau lainnya. Namun, kalau menurut saya pribadi, pemotongan sebesar 3% itu masih kurang greget, paling tidak minimal 5% untuk tahun 2020 dan 2021, lalu tahun 2022 diskon hingga 8%. Itu baru kelihatan nendang,” kata dia kepada Investor Daily, Jumat (26/6).

Pasalnya, kata dia, ada tanggapan dari beberapa emiten, karena tidak semua emiten mau membagi kepemilikan saham mereka kepada publik.

Ada emiten yang hanya mau strategic partnership, misalnya Sampoerna yang untung terus, sehingga pemegang saham tidak mau berbagi.

“Itu mungkin juga terjadi pada perusahaan-perusahaan yang berkinerja bagus, kemampuan mencetak labanya tinggi sehingga nanti bisa mendapat dividen. Sebab, ini kan persyaratan minimalnya harus 40% saham disetor dan diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia. Saya bisa melihat kenapa harus 40%, karena sebetulnya ini bisa membuat pasar menjadi likuid, jadi itu diutamakan kepada perusahaan/emiten yang likuid. Semakin likuid, dampaknya bisa menarik investor lokal dan luar untuk masuk,” kata dia.

Edwin juga mengatakan, pemotongan PPh badan emiten ini juga dapat mendorong perusahaan yang mau go public untuk segera melakukan initial public offering (IPO). “Jadi ini bukan hanya bermanfaat bagi perusahaan terbuka atau emiten, tetapi juga buat perusahaan yang mau go public,” jelas dia.

Dengan demikian, dia menilai cakupan dari pemotongan pajak ini cukup luas. Tapi, ini juga harus tetap diimbangi dengan dorongan dari otoritas bursa ke perusahaan yang mau IPO. Misalnya mempermudah administrasi bagi yang mau IPO.

“Jadi kebijakan insentif pajak ini harus dilakukan dalam satu paket, tidak hanya pemotongan pajak saja. Perlu ada kolaborasi pemerintah dengan otoritas bursa,” tambah dia.

Meski demikian, menurut Edwin, paling tidak sudah ada willingness dari pemerintah untuk membuat market semakin likuid dan berpotensi mendorong pertumbuhan ekonomi.

“Kalau mau nendang memang seperti kebijakan Donald Trump di Amerika Serikat, yang memberi diskon hingga 15%. Kalau seperti itu, maka akan money inflow yang besar, dan penyerapan tenaga kerja tinggi,” kata Edwin.

Sementara itu, pengamat pajak Darussalam menjelaskan, penurunan tarif pada perusahaan terbuka atau emiten tersebut tentu tidak bisa dilepaskan dari upaya pemerintah untuk memberikan keringanan serta menjaga stabilitas keuangan di masa pandemi dan ke depan.

“Mengenai efektivitasnya, kita juga perlu melihatnya dalam bingkai yang lebih luas yaitu dilakukan bersamaan dengan insentif pajak lainnya semisal pengurangan angsuran PPh Pasal 25, PPh Pasal 21 DTP, dan sebagainya. Saya pikir dalam pemberian insentif, termasuk penurunan tarif, sangat mengurangi struktur biaya sekaligus meningkatkan cash flow perusahaan,” jela dia.

Di sisi lain, kata Darussalam, hal yang lebih penting adalah memberikan sentimen positif bagi pasar modal, dan ini merupakan hal yang baik.

“Dengan kinerja pasar keuangan yang stabil, akan memberikan alternatif untuk perilaku masyarakat untuk mengakumulasi investasi. Secara tidak langsung hal ini juga turut membantu pemulihan ekonomi,” jelas dia. (ts/th)

Sumber : InvestorDaily.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only