PPh Final Bukan Jenis Pajak, Lalu Apa?

 Pajak penghasilan (PPh) final hanya merupakan salah satu cara pengenaan pajak dalam sistem PPh yang memiliki ciri khusus. PPh final bukanlah suatu jenis pajak.

Hal ini diungkapkan Expert Consultant DDTC Khisi Armaya Dhora dalam webinar ‘Peluncuran dan Kupas Buku Konsep dan Aplikasi Pajak Penghasilan’. Acara peluncuran buku ke-10 terbitan DDTC ini diadakan bersamaan dengan momentum HUT ke-75 Kemerdekaan Republik Indonesia dan HUT ke-13 DDTC.

Khisi mengatakan secara praktik, skema PPh final merupakan implikasi dari penerapan sistem pengenaan pajak terpisah atau yang dikenal dengan sistem schedular taxation. 

“Dalam sistem ini, atas suatu jenis penghasilan, sumber penghasilan, atau karakteristik wajib pajak tertentu, pengenaan pajaknya berbeda dan diisolasikan dari pengenaan PPh yang berlaku secara umum (ring fencing),” katanya, Senin (31/8/2020).

Penerapan PPh final memunculkan pro dan kontra. Hal ini dibahas pula dalam Bab 9 buku Konsep dan Aplikasi Pajak Penghasilan. Dari sisi pro, sifat pengenaan PPh final dinilai sederhana. Hal inilah yang menyebabkan PPh final digunakan sebagai bagian dari upaya pemberian kemudahan administratif.

Sementara dari sisi kontra, PPh final dianggap menyampingkan asas pajak yang ideal dan menyalahi “roh” PPh sebagai pajak yang subjektif. Penerapan PPh final juga dinilai dapat menimbulkan beban administrasi bagi wajib pajak yang diberi kewajiban untuk melakukan pemotongan pajak.

Selain PPh final, dalam webinar tersebut, Khisi juga mengupas Bab 7 mengenai objek PPh. Pasalnya, diskusi terpanjang dalam teori perpajakan adalah mengenai konsep dan desain pajak PPh. Salah satunya ketika menyusun dan menetapkan hal-hal yang menjadi objek PPh.

Umumnya, objek PPh dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu pertama, penghasilan dari hubungan pekerjaan (employment income). Kedua, penghasilan dari kegiatan usaha (business income). Ketiga, penghasilan modal (capital income). Keempat, penghasilan lain-lain.

Kemudian, Khisi juga mengupas Bab 8 mengenai biaya pengurang dan bukan pengurang penghasilan bruto. Pada dasarnya, biaya pengurang penghasilan bruto sering kali dianggap sebagai biaya yang dibebankan oleh wajib pajak sebagai upaya untuk memperoleh penghasilan.

Secara konsep, biaya pengurang penghasilan bruto adalah biaya yang mempunyai hubungan dengan penghasilan yang diterima oleh wajib pajak dan biaya yang memiliki hubungan dengan kegiatan yang dikenai pajak.

Dari konsep tersebut, ada tiga kategori biaya pengurang penghasilan bruto. Pertama, biaya pengurang penghasilan bruto terkait kegiatan usaha. Kedua, biaya pengurang penghasilan bruto untuk karyawan. Ketiga, biaya pengurang penghasilan bruto yang bersifat pribadi.

Dalam buku setebal 570 halaman tersebut, lanjut Khisi, juga dibahas pula mengenai permasalahan dalam penerapan biaya penghasilan bruto. Pasalnya, terdapat jenis biaya yang menimbulkan permasalahan dalam penentuannya. Jenis biaya itu, termasuk biaya pengurang penghasilan bruto atau bukan.

Selanjutnya, dibahas pula mengenai biaya yang tidak dapat dikurangkan penghasilan bruto. Biaya yang dimaksud adalah biaya yang dirancang semata-mata sebagai bentuk pembatasan biaya pengurang penghasilan bruto.

“Setiap negara mempunyai kebijakan masing-masing dalam menetapkan biaya apa saja yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto,” imbuh Khisi dalam webinar dengan jumlah pendaftar sebanyak 2.250 orang tersebut.

Seperti diketahui, terbitnya buku yang ditulis bersama Managing Partner DDTC Darussalam dan Managing Partner DDTC Darussalam ini juga menjadi wujud konkret dari misi menghilangkan informasi asimetris di dalam masyarakat pajak Indonesia serta berkontribusi dalam perumusan kebijakan pajak demi menjamin transformasi sistem pajak yang seimbang.

Sumber :ddtc.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only