Jika Covid-19 Berakhir, Seberapa Siap Indonesia Pulihkan Ekonomi?

JAKARTA – Tahun 2020 merupakan tahun yang menantang bagi Indonesia. Sempat ditargetkan mencapai angka di atas 5% hingga awal tahun ini, pertumbuhan ekonomi terhambat akibat pandemi Covid-19 yang melanda pada awal Maret lalu.

Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah menuturkan bahwa Covid-19 memiliki risiko yang relatif tinggi dan harus segera dimitigasi. Dia menjelaskan bahwa Indonesia harus bersiap akan adanya tantangan yang lebih besar bagi perekonomian nasional.

“Ini adalah kenormalan baru di tengah pandemi. Sehingga, meski besar tantangan yang dihadapi, perlu dipastikan bahwa Indonesia tidak terjerembab ke jurang krisis,” katanya di Jakarta, Senin (14/9/2020).

Oleh karenanya, perlu penanganan yang tepat untuk memulihkan kembali ekonomi nasional. Kementerian Keuangan menerangkan bahwa perekonomian nasional akan ditentukan seluruhnya oleh pemulihan di kuartal ketiga dan keempat. Pemerintah saat ini masih akan menggunakan skenario pertumbuhan ekonomi 2020 di level minus 0,4% hingga 2,3%.

Agar terhindar dari krisis, pemerintah sudah menyiapkan beberapa strategi guna memulihkan perekonomian dan daya beli masyarakat di tengah ketidakpastian. Pemerintah memberikan insentif kepada masyarakat berupa penundaan pemungutan pajak selama enam bulan bagi pajak penghasilan (PPh) pasal 21, 22, dan 25. Selain itu, relaksasi bea masuk ekspor untuk dunia industri juga diberikan keringanan.

Staf Khusus Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Masyita Crystallin menyatakan bahwa pemerintah menggandeng bank sentral untuk mengatasi pemulihan ekonomi akibat pandemi.

“Yang kami lakukan bukanlah printing money atau helicopter money. Skema yang kami lakukan tetap sesuai pasar dan tetap jadi instrumen moneter. Ketika Bank Indonesia perlu, instrumen itu bisa langsung ditarik,” ungkap dia.

Langkah yang dilakukan Kemenkeu untuk menghindari kontraksi ekonomi dan keterbatasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ialah dengan menerbitkan sukuk global dengan yield yang baik.

Masyita menegaskan bahwa prioritas utama pemerintah saat ini adalah barang publik berupa jaminan sosial dan kesehatan yang alokasinya mencapai Rp300 triliun.

Dia pun setuju bahwa perlu memprioritaskan mitigasi kontraksi ekonomi, agar dampaknya tidak besar di masyarakat. Maka, pemerintah terus mengalkulasi strategi anggaran untuk lebih fleksibel dalam menghadapi kontraksi. “APBN sendiri mengalami tekanan kiri dan kanan,” ucap Masyita.

Meski dibandingkan negara lain defisit fiskal nasional cenderung sedang dan akses pasar internasional cukup baik, Indonesia tetap perlu mewaspadai tekanan APBN ke depannya. Sehingga, pemerintah melakukan pelebaran defisit 3% selama 3 tahun pada postur APBN 2020.

“Kenapa butuh 3 tahun? Jika kita berhenti pada periode recovery, akan muncul economic shock mendadak. Kalau sudah recovery tahun depan, masyarakat dan dunia usaha sudah siap pick up lagi,” ucap Masyita.

Sumber : okezone.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only