DPR Soroti Bagi Utang dalam Skema Burden Sharing, Ini Penjelasan Gubernur BI

Jakarta – Sejumlah anggota komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat menyoroti rencana Bank Indonesia dan pemerintah yang akan melanjutkan skema burden sharing pada tahun 2021. Anggota parlemen meminta BI membuat terobosan kebijakan yang tidak bertumpu pada pembagian beban utang.

“Skema burden sharing itu kan skenario membagi beban antara BI dengan Pemerintah terhadap utang. Kalau dalam jangka pendek kalau masih tahun 2021, ya oke lah,” kata anggota komisi XI, Dolfie OFP dalam rapat kerja bersama Gubernur BI, Senin, 28 September 2020. “Tapi kalau 3 tahun ke depan kita masih begini skenarionya hanya membagi beban utang, kita mewariskan ke generasi berikutnya APBN yang sebagian besar diisi oleh utang.”

Lebih jauh dia mengatakan bahwa 16 persen APBN sekarang ini digunakan untuk membayar bunga utang. Oleh karena itu, Dolfie memprediksi, di tahun 2021 bisa mencapai 18 hingga 19 persen yang dimana hampir sama dengan alokasi anggaran pendidikan. “Bahkan melebihi alokasi APBN untuk anggaran kesehatan,” katanya.

Sementara itu anggota komisi XI dari fraksi Golkar, Mukhamad Misbakhun mengungkapkan kekhawatirannya mengenai kredibilitas BI. Skenario membagi beban ini dikhawatirkan memperlemah posisi kelembagaan BI.

“Kemarin saya baca bahwa penerimaan (pajak) kita masih sekitar 53 persen dari Rp 1.198,8 triliun. Artinya potensi pelebaran defisit akan makin terbuka ketika realisasi burden sharing tidak tercapai seluruhnya dan kemudian penerimaan pajak tidak optimal,” kata Misbakhun.

Menanggapi hal itu, Gubernur BI, Perry Warjiyo mengatakan burden sharing bukan hanya mengenai persoalan utang saja. Burden sharing dilakukan berawal dari dibutuhkannya tambahan anggaran untuk kesehatan, bantuan sosial dan UMKM atau insentif usaha.

Perry mencontohkan kebutuhan tambahan anggaran untuk kesehatan Rp 87,5 triliun, tambahan bantuan sosial Rp 203 triliun, dan juga untuk sektoral Pemda Rp 106 triliun. “Sehingga dalam SKB II disebutkan pemerintah dan BI telah sepakat membiayai public goods Rp 397 triliun. Semua dana dan bebannya dari BI,” kata Perry.

Adapun dana untuk non-public goods, yaitu tambahan anggaran UMKM sebesar Rp 123,4 triliun dan untuk korporasi Rp 53,5 triliun. “Ini bagaimana sama-sama untuk mendorong UMKM dan pemulihan ekonomi. Sama hal juga untuk korporasi,” ujarnya.

Oleh karena itu, Perry mengatakan SBN diterbitkan dari pasar dengan 6,8 persen suku bunga. Beban pemerintah untuk menanggung 2,8 persen dan 4 persen oleh BI. Hal itu, kata dia, tidak dilakukan sendiri oleh Bank Indonesia melainkan bersama pemerintah, justru untuk menghindari utang.

Sumber : tempo.co

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only